Profil Puthut EA
Jika Anda suka baca artikel-artikel Mojok, maka tentunya nama sekaliber Puthut EA tidak asing lagi di telinga Anda. Karena selain sebagai penulis di Mojok, ia juga merupakan salah satu kru Mojok dengan jabatan sebagai kepala suku.
Puthut EA merupakan salah seorang penulis Indonesia kelahiran Rembang, Jawa Tengah, 28 Maret 1977. Selain sebagai penulis, ia juga meniti karier sebagai peneliti. Bahkan sejak masih SMP ia sudah mulai rajin menulis.
Lebih dari 40 judul buku sudah berhasil ia lahirkan melalui tangan dinginnya, baik yang fiksi maupun non fiksi. Mulai dari cerpen, novel, naskah drama, hingga naskah film pendek, semuanya sudah pernah ditulis olehnya.
Puthut EA dan Motivasi untuk Menulis
Namun Puthut bukanlah tipe penulis yang kikir. Ia tidak ingin hanya dirinya sendiri yang bisa merasakan betapa nikmatnya bergelut dengan kata, merangkai kalimat, membangun karakter tokoh, dan sebagainya. Ia mau banyak orang lain yang juga merasakannya.
Dengan kata lain ia menginginkan mayoritas masyarakat Indonesia bisa jadi seorang penulis, bahkan kalau bisa semuanya berprofesi sebagai penulis yang melahirkan karya-karya yang berkualitas.
Nampaknya, ia juga mengimani pernyataan Pramoedya Ananta Toer “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Puthut berkeinginan agar seluruh masyarakat Indonesia namanya bisa terukir dalam lembaran-lembaran sejarah dengan melalui menulis.
Hal tersebut bisa dilihat dari dua bukunya yang semuanya berisikan tentang kepenulisan. Buku yang pertama diberi judul Buku Latihan untuk Calon Penulis. Dan yang kedua buku dengan judul Menjadi Penulis. Keduanya oleh Puthut dengan sengaja ia tujukan bagi mereka yang benar-benar berniat ingin jadi penulis, sembari berharap agar seluruh masyarakat Indonesia membacanya sehingga cita-cita mulianya tersebut pun bisa terwujud.
Karenanya sebagai orang yang (alhamdulilah) sudah memiliki dua buku Puthut tersebut, di mana keduanya juga berhasil menginspirasi saya untuk menjadi (calon) penulis, pada kesempatan kali ini saya akan mencoba menghadirkan beberapa petuah singkat Puthut EA khususnya tentang kepenulisan.
#1 Meniru
Semenjak kita masih kecil kecenderungan untuk meniru bahkan sudah mengakar kuat dalam diri kita. Anehnya, kecenderungan tersebut kemudian kita anggap buruk saat kita beranjak dewasa. Kita bahkan merasa malu untuk melakukannya.
Bagi seorang penulis, malu untuk meniru gaya penulis lain tentu saja tidak diperbolehkan. Apalagi kalau sampai diketahui oleh Puthut, sebab ia sendiri saat masih dalam fase awal-awal menggeluti dunia kepenulisan tidak sedikit dari penulis lain yang ia tiru gaya penulisannya.
Bagi Puthut, mencontoh, mencontek, menduplikasi merupakan bagian terpenting dalam dunia kreativitas. Tanpa meniru kreativitas, inovasi tidak akan bisa lahir. Sebab, meniru merupakan nalar yang paling fundamental.
Yang dilarang bagi seorang penulis adalah plagiasi, bukan meniru. Meniru berbeda dengan plagiasi. Plagiasi adalah saat kita mengakui karya orang lain sebagai milik kita, dan itulah yang dilarang.
Maka jika Anda seorang penulis atau baru belajar menulis, perbanyaklah baca karya-karya penulis yang lain dan tirulah gaya penulisannya, jangan sungkan-sungkan, jangan malu-malu, kata Puthut. Sebab karakter seorang penulis hanya lahir dari ratusan kali percobaan, bukan puluhan apalagi belasan.
#2 Bosan
Bosan merupakan perasaan yang alamiah. Bahkan bisa dibilang semua orang pernah mengalaminya. Rasa bosan sejatinya timbul dari suatu aktivitas yang kita lakukan secara monoton. Karenanya, untuk menghindari perasaan tersebut, seseorang biasanya mengakalinya dengan cara memvariasikan aktivitas yang dirasanya sudah membosankan tersebut.
Namun, tidak sedikit pula orang meninggalkan aktivitas yang sudah dianggapnya sebagai profesi karena sudah tidak tahan dengan rasa bosan yang menggerogotinya. Seperti penulis banyak yang berhenti berkarya karena bosan menulis itu-itu saja.
Namun, perasaan bosan menulis itu wajar, kata Puthut EA. Tinggal dia sendiri bagaimana mengelola kebosanannya menjadi sesuatu yang menghasilkan. Bagi Puthut, kebosanan merupakan sesuatu yang tidak semestinya dimusuhi oleh seorang penulis, melainkan lebih tepat untuk dianggap sebagai teman akrab.
***
Karena Puthut yakin tulisan yang berkualitas, yang bagus, yang berbobot salah satunya lahir dari kebosanan. Seorang penulis hanya akan terdorong untuk menulis sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya lantaran ia sudah bosan dengan tulisannya yang sebelumnya dianggap hanya biasa-biasa saja.
Utamanya bagi mereka yang baru memulai menulis. Biasanya mereka lebih rentan dengan kebosanan. Baru satu dua bulan menulis sudah berhenti untuk melanjutkan karena merasa sudah bosan. Bosan karena merasa sudah bisa.
Maka apabila sudah begitu, apa yang sebaiknya dilakukan? Ya nikmati saja kebosanan itu. Jangan dilawan, dan berkariblah dengannya. Justru yang harus dilawan adalah keinginan untuk memerangi kebosanan itu sendiri.
“Kebosanan itu bukan musuh kreativitas, melainkan teman akrab. Dari sana muncul rekreasi, inovasi, dan rekayasa.” Ujar Puthut.
Jadi, menulislah sampai kebosanan itu sendiri yang sudah bosan denganmu.
#3 Beban
Selain kebosanan yang jadi beban bagi seorang penulis untuk berkarya, keinginan untuk memiliki tulisan yang bagus, disukai banyak orang, bahkan jadi best seller juga termasuk salah satunya.
Utamanya bagi mereka yang masih terkungkung dalam rumpun penulis pemula. Keinginan yang menjulang itu begitu mengakar kuat dalam diri mereka. Mereka sangat terobsesi dengan ketenaran. Mereka ingin agar para pembaca “memperebutkan” tulisan mereka. Mereka ingin langsung berdiri di anak tangga yang paling atas, tanpa peduli dengan anak tangga yang di bawahnya.
Akibatnya bukan hanya makin berat dalam berkarya, bahkan justru malah tak jadi berkarya, kata Puthut. Baik penulis pemula ataupun yang sudah senior semuanya sama-sama berkeinginan untuk melahirkan tulisan yang berkualitas. Bagi Puthut yang demikian memang baik dan wajar, tapi jangan juga jadi beban berlebihan.
Puthut menyarankan agar para penulis melepaskan segala beban yang mengikatnya, termasuk keinginan-keinginan yang seperti disebutkan di atas. Tak perlu berpusing-pusing memikirkan bagaimana nantinya nasib tulisan kita di tangan pembaca.
Pembaca adalah sesuatu yang apa yang kemudian disebut oleh Puthut sebagai labirin yang tak mudah dicerna, termasuk kepuasan mereka. Sebagaimana kata salah seorang sastrawan Afrizal Malna “Pembaca adalah orang yang tak suci lagi.” Mereka punya selera tersendiri, sesuatu yang tak mungkin bisa kita ubah coraknya.
Jadi ketimbang pusing memikirkan pembaca, mending kita sibuk memikirkan kepuasan kita sendiri sebagai seorang penulis. “Menulis, menulis saja. Nikmati prosesnya. Hadapi tantangannya dengan rasa gembira. Karena itu kesempatan istimewa.” Jelas Puthut.
Sejatinya aktivitas menulis bagi Puthut EA bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan, melainkan lebih tepat untuk disebut sebagai rumit. Rumit karena ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan, dan mau tidak mau kita harus mempelajarinya.
Editor: Yahya FR