Qoriah Disawer I Kalau kalian pernah melewati acara dangdutan di kampung-kampung atau di kota sekalipun maka sudah pasti kalian tak asing dengan perilaku sawer-menyawer. Tak jarang juga kita lihat di sosial media adegan para penyawer yang disamperin istrinya dalam kondisi terbakar api cemburu. Kedatangannya membawa sapu dan perkakas dapur dan ia menghampiri sang suami yang tengah berjoget di atas panggung sambil menggenggam beberapa uang.
Mungkin kejadian itu sering dilihat sehingga menjadi hal yang wajar dan lucu. Ya, walaupun saya juga agak nyesek melihat fenomena itu. Betapa sakit hatinya seorang istri melihat kelakuan suaminya yang seakan tak puas pesona istrinya hingga pelampiasan lain. Belum lagi ketika melihat suami lebih bahagia dan tertawa saat menyawer pendangdut, tentu saja menyakiti hatinya.
Tapi ada satu fenomena aneh dan menggeramkan menurut saya. Baru-baru ini viral seorang qariah yang disawer saat membaca Al-Qur’an. Mungkin beberapa dari pembaca juga merasa geram ketika mendengar berita tersebut. Menurut penuturan Nadia Hawasyi (sang Qoriah) dirinya juga merasa kesal dan direndahkan karena posisinya sedang membaca Al-Qur’an terpaksa ia merendam amarahnya.
Nahasnya lagi kejadian seperti ini bukan sekali dua kali terjadi, melainkan berulang kali terjadi pada dirinya dan qoriah lainnya. Sawer menyawer yang biasanya dilakukan pada biduan berpakaian seksi dan menggoda, sekarang malah diterapkan pada seorang qoriah yang sedang melantunkan Al-Qur’an.
Sawer Menyawer dalam Islam
Jika kita lihat substansi dari sawer adalah memberikan upah pada orang yang sedang mempertunjukkan suatu. Kita memberi uang dalam rangka mengapresiasi pertunjukannya yang telah membuat kita terpana. Namun, hal itu sangat tidak pantas kita lakukan pada seorang qoriah dengan sawer sebagaimana kita melakukannya ketika ada seorang biduan.
Dalam Islam, hukum memberikan uang kepada orang lain boleh saja karena hal itu tidak menyentuh ranah ibadah. Namun, dalam konteks dangdut jelas saja hukumnya haram, ada banyak alasan mengapa menyawer seorang biduan haram. Salah satunya karena kegiatan dangdutan adalah kegiatan yang dilarang sebab berpotensi menimbulkan banyak mudharat. Mulai dari bercampurnya wanita dengan pria, membuang waktu, membuang uang, serta yang terakhir seperti saya jelaskan di atas, yakni merusak hubungan rumah tangga.
Sekarang kita beralih pada masalah diatas, dalam konteks masalah ini dipertunjukkan adalah pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Tentu kita tahu tidak ada satupun larangannya dalam Al-Qur’an maupun dalil lainnya, bahkan justru hal itu dianjurkan. Apakah lantas hukum menyawer layaknya seorang biduan itu diperbolehkan? Jelas tidak, jika penyaweran dilakukan sebagaimana menyawer biduan jelas tidak boleh. Saya juga masih heran dimana titik kesamaan antara biduan dan qoriah sehingga saya tidak habis piker karena ini.
Sebenarnya banyak cara untuk menyawer (dalam arti mengapresiasi) salah satunya cara dengan memberikan berikan pada akhir sesi. Pemberian ini dilakukan dengan cara sopan sebagaimana kita memberi sedekah, hadiah, dan pemberian uang lainnya. Lebih baik dengan cara sopan daripada menyawer.
Tradisi menyawer Qori atau Qoriah ini memang ada dibeberapa daerah di Indonesia, yang tentu saja bertentangan dengan nilai adab yang Al-Qur’an perintahkan ketika kitab itu diperdengarkan. (Suparyanto Dan Rosad, 2020: 248–53)
Menurut KH Cholil Nafis, jelas sekali tindakan ini sangat mencoreng sakralitas Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Al-Qur’an seharusnya didengarkan dengan penuh penghayatan saat diperdengarkan. Walaupun, kita belum mampu memahami makna Al-Qur’an setidaknya kita mendengarkan dengan seksama dan sesuai dengan adab-adab islami.
Al-Qur’an itu Terhormat
Dalam pandangan saya, membaca Al-Qur’an dengan berbagai nada dan lagunya tidak lebih penting dari mendalami makna yang terkandung didalamnya. Seringkali orang Indonesia belum memahami ini, orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara merdu seringkali dicap saleh bahkan mendapatkan label ustadz.
Padahal belum seperti itu, sedangkan orang yang benar-benar mengkaji Al-Qur’an dengan seksama sehingga memunculkan tafsiran baru yang berbeda dengan pemahaman mereka. Dalam hal ini sering dicap liberal dan menyesatkan padahal belum tentu menyesatkan juga.
Bagaimana bisa Al-Qur’an yang merupakan pedoman dengan kemukjizatan kalimat-kalimatnya dijadikan bahan saweran? Ayat yang dijadikan basis keilmuan cendekiawan muslim abad ke-8 hijriah kini dijadikan bahan saweran, seperti sudah tidak ada keagungannya.
Al-Quran yang dahulu telah memompa Islam menjadi puncak peradaban di Timur Tengah. Kini beralih menjadi lagu-lagu layaknya biduan yang sedang bernyanyi sehingga terjadi tindakan sawer menyawer. Ayat Al-Quran yang telah menjadi latar belakang Ahmad Dahlan mendirikan rumah sakit dan sekolah kini dihargai tak lebih layaknya alunan musik yang tak substantif dan bernilai.
Akhir kata saya mengajak kaum muslimin kembali memaknai Al-Qur’an sebagai sumber pedoman hidup dan worldview yang nantinya akan menghasilkan banyak nilai-nilai dalam kehidupan. Al-Qur’an terlalu sempurna untuk hanya sekedar dinyanyikan dengan beragam lagu dan nadanya.
Wallahu Alam bi Shawab.
Editor: Dae Alifia