Tafsir

QS Al-Baqarah 183: Cara Meraih Predikat Takwa

3 Mins read

Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an. Bulan yang penuh keberkahan dan limpahan rahmat serta maghfirah-Nya. Bulan Ramadhan menjadi momen re-charghing bagi umat Islam. Menegaskan kembali tentang keislamannya dengan menjalankan syariat-Nya, dan meningkatkan keimanan untuk meraih ketakwaan di sisi-Nya. Ketakwaan inilah yang menjadi tujuan sekaligus natiijah dari ibadah, wa bil khusus puasa Ramadhan. Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah 183:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman. Diwajibkan atas kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa pada dasarnya makna puasa selain imsak; menahan lapar dan dahaga, juga menjadi sarana penyucian diri (tazkiyatun nafs). Tentunya dari hal-hal yang berpotensi mengotori diri khususnya dalam aspek ruhani. Kesucian jiwa termasuk menjadi faktor penting bagi seorang mukmin dalam meraih predikat muttaqqin.

Makna Takwa

Diriwayatkan dari Ibnu Abid Dunya, seorang pernah bertanya kepada sahabat Rasulullah: Abu Hurairah. Apa itu takwa? Ia pun berkata: Pernakah engkau bertemu jalan yang banyak duri dan bagaimana tindakanmu waktu itu? Orang tersebut menjawab: Apabila aku melihat duri, aku menghindar ke tempat yang tidak ada durinya atau aku mundur. Abu Harairah berkata: Itulah ‘takwa’.

Makna takwa secara istilah; Imtitsalu awamirillahi wa ijtinabu nawahihi. Sederhananya, mentaati perintah Allah dan menjauh apa yang dilarang atau diharamkan oleh-Nya.

Bentuk takwa tentu tidak terbatas oleh amalan yang bersifat ritual seperti shalat, dzikir, puasa, haji, membaca Qur’an, I’tikaf dan lain semacamnya. Akan tetapi juga amalan yang bersifat sosial. Takwa yang sifatnya ritual haruslah memiliki natiijah—takwa sosial yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga  Ketika Allah Melarang Manusia untuk Berputus Asa

Membumikan nilai ritual-ibadah menjadi nilai sosial-muamalah adalah tugas seorang muttaqin. Keduanya tidak terpisah dan saling jalin berkelindan. Maka ketakwaaan seseorang tidak hanya dinilai dari intensitas bersama Allah Swt, akan tetapi juga muamalah ma’annas; Bagaimana interaksi sosialnya (akhlaq dan adab) dengan sesama manusia.

اِتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَاَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

Bertakwalah kepada Allah dimana dan kapan saja kalian berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan yang akan menghapusnya dan pergauilah manusia dengan adab yang baik.

Islam-Iman-Ihsan = Takwa

Komposisi takwa itu sendiri ialah Islam, Iman dan Ihsan. Artinya, ketakwaan seorang mukmin dibangun atas tiga hal tersebut.

Pertama, Islam yang secara bahasa berasal dari kata ‘aslama’ berarti berserah. Sedangkan ditinjau secara istilah; menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt dengan sepenuh jiwa. Dalam surat An-Nisa’ 125 Allah berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَٱتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبْرَٰهِيمَ خَلِيلًا

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.

Kedua, Iman adalah asas fundamental ketauhidan seorang mukmin kepada Allah Swt, baik di rububiyah maupun uluhiyah-Nya. Singkatnya, makna iman: Tashdiqu bil qalbi wa ikrar bil lisani wal amalu bil arkani: Pembenaran dengan hati, pengakuan (ikrar) dengan lisan dan pengamalan dengan seluruh anggota tubuh.

Artinya, iman tidak hanya di hati dan lisan, akan tetapi ada buahnya yaitu; amalan yang baik dalam kehidupan sosial. Dalam salah satu hadits dikatakan:

Baca Juga  Sidang Isbat dan Gerhana Matahari Hibrida

مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَو لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَومِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، ومَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat maka hendaknya dia berbicara yang baik atau (jika tidak bisa) hendaknya diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat hendaknya ia memuliakan tamunya.

Terakhir, Ihsan menjadi perwujudan dari keislaman dan keimanan seseorang. Ihsan secara bahasa artinya ‘baik’, sedangkan secara istilah:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Engkau beribadah—menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka yakinlah Dia melihat engkau.

Singkatnya, menjalankan amalan atau pekerjaan apapun harus dengan terbaik, seolah Allah ada di depan mata. Perpaduan ketiga anasir di atas inilah yang menjadi basis dari sebuah ketakwaan paripurna.  

Makna La’allakum Tattaqun

Jika sebuah besi berkarat bisa menjadi pedang yang tajam berkilau dengan dibakar dan ditempa. Maka sama halnya dengan seorang mukmin yang ingin menuju pada tingkatan (maqam) takwa. Ia harus ‘dibakar’ dan ditempa di masa tertentu, yakni Ramadhan. Kata ‘Ramadhan’ itu sendiri berasal dari kata ramdhun atau ramadh yang artinya panas, membakar, atau menyengat.

Bulan Ramadhan merupakan mazra’ah sekaligus madrasah bagi orang-orang mukmin. Di dalamnya terdapat pendidikan (tarbiyah) menjadi hamba Allah yang bertakwa. Kata takwa sendiri dalam Al-Qur’an disebutkan 258 kali dengan berbagai derivasinya. Salah satunya di Al-Baqarah 183 sebagai penutup ayat tentang perintah puasa: La’allakum tattaqun.

Potongan terakhir ayat di atas cukup menarik untuk ditelaah. La’alla artinya ‘agar atau supaya’, dan secara gramatika Arab kata tersebut mengandung harapan (raja’). Yakni dari sebulan berpuasa, memperoleh pendidikan akal, jiwa dan raga, harapannya agar menjadi orang yang bertakwa. Menurut Ibnu Sina, visi misi pendidikan (tarbiyah) yaitu menuju pada pembentukan pibadi yang sempurna (insan kaamil), itulah muttaqin.

Kata ‘tattaqun’ dalam ayat di atas menggunakan fi’il mudhari’. Penggunaan fi’il tersebut dalam gramatika Arab berorientasi pada waktu kini (present) dan masa depan (future), atau bisa diartikan lil mudhaawamah. Impilkasi maknanya ialah bahwa bertakwa itu tidak hanya berlaku di bulan Ramadhan, akan tetapi sepanjang umur melekat dalam diri.

Baca Juga  Keunikan Puasa Ramadan Menurut Para Sufi

Untuk itu, momen bulan Ramadhan bukanlah bulan ‘perayaan’ seremonial tahunan, yang disambut dengan euphoria semata. Termasuk hal ihwal hari raya, bukan momen berlomba-lomba untuk bersaing menghiasi diri dengan pakaian yang bagus nan ‘mahal’. Akan tetapi, itu adalah momen sekaligus kesempatan meraih takwa karena sebaik-baik pakaian adalah takwa.

Editor: Soleh

Shafnee Ulwan Tansiqi
3 posts

About author
Guru Abdi di Ponpes Al-Ishlah/Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *