Tafsir

QS al-Baqarah Ayat 256: Tak Ada Paksaan dalam Beragama

4 Mins read

Kebebasan beragama dan berkeyakinan mendapat jaminan yang jelas dan pasti dalam Islam. Islam melarang secara tegas bentuk-bentuk pemaksaan untuk menganut agama tertentu. Kebebasan manusia dalam memilih agama dan keimanan merupakan prinsip paling fundamental dari ajaran akidah Islam. Penegasan Al-Qur’an tentang kebebasan manusia untuk beriman atau kufur tanpa paksaan merupakan prinsip yang tidak lagi dapat ditawar.

Ajaran Islam sendiri merupakan kumpulan dari berbagai prinsip-prinsip kehidupan. Ajaran mengenai bagaimana seharusnya manusia dapat menjalankan kehidupannya di dunia yang fana ini, satu prinsip dengan yang lainnya saling terkait, sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.

Agama sebagai salah satu sumber kebaikan yang bersifat absolut karena bersumber dari wahyu Allah, semestinya meletakkan rambu-rambu yang dapat menuntun para penganutnya pada kebaikan. Di antara rambu tersebut, yaitu keniscayaan tidak diperkenankannya tindakan pemaksaan dalam beragama. Artinya, praktik memaksa orang lain agar mengikuti agamanya merupakan praktik yang tidak diperbolehkan.

Tidak ada ayat Al-Qur’an yang paling sering dikutip ketika bicara tentang kebebasan beragama dalam Islam selain ayat dalam QS al-Baqarah [2]: 256,

لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 

Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama Islam, sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Makna dan Penafsiran QS al-Baqarah Ayat 256

Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut (QS al-Baqarah: 256), yakni maksud lafaz la ikraha fi al-din adalah la tukrihu ahadan ‘ala al-dukhul fi din al-Islam (Jangan kalian memaksa seseorang memasuki/menganut Islam!). Karena semua dalil kebenaran Islam sudah jelas, sehingga tidak perlu ada pemaksaan.

Baca Juga  Benarkah Rasul Dibangunkan Ayam Jago untuk Bangun Malam?

Maksud “tidak ada paksaan”, berarti kita sama sekali tidak boleh memaksa orang lain untuk menganut kepercayaan seperti yang kita Yakini. Allah Swt. menghendaki agama-Nya dianut secara sukarela dan Ikhlas tanpa paksaan. Tugas kita hanyalah menyampaikan, bukan memaksa, karena hidayah dalam pengertian taufiq itu semata urusan dan hak Allah Swt. 

Sebenar-benar ajaran adalah ajaran agama. Tapi, agama pun dilarang untuk dipaksakan kepada orang lain. Nabi Muhammad Saw selalu diingatkan bahwa tugas beliau hanyalah menyampaikan berita (al-balagh) dari Allah, dan beliau tidak berhak, bahkan tidak bisa memaksa orang lain untuk percaya dan mengikuti beliau, betapapun benarnya beliau dan ajarannya itu. Ketika Rasulullah Saw sebagai manusia, tergoda untuk memaksakan ajarannya itu kepada orang lain, turun peringatan dari Allah Swt.,

“Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua orang di muka bumi, tanpa terkecuali. Apakah engkau (Muhammad) akan memaksa umat manusia sehingga mereka menjadi beriman?” (QS. Yunus [10]: 99).

Dalam buku “Islam Mengasihi Bukan Membenci”, Nurul H. Maarif menjelaskan bahwa ayat tersebut yaitu QS al-Baqarah ayat 256 memberikan jaminan kepada seluruh manusia perihal kebebasan menganut agama/keyakinan yang dipercayainya. Berikut hikmah luhur dibalik kebebasan tersebut:

Pertama, Allah Swt ingin memuliakan dan menghormati kehendak, pikiran, dan perasaan manusia. Ia menyerahkan segala urusan manusia kepada dirinya sendiri, terutama terkait petunjuk dan kesesatan. Hal ini menyangkut persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), yang semestinya tidak perlu adanya paksaan, apalagi melalui ancaman kekerasan.

Kedua, Allah Swt menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaiannya. Agama-Nya dinamakan Islam yang bermakna damai. Kedamaian tidak dapat diraih andaikan jiwa manusia berada dalam paksaan atau intimidasi. Karenanya, ayat itu menjadi visi besar Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi keramahan dan kedamaian.

Baca Juga  Bercadar atau Berkerudung: Mana yang Lebih Syar’i?

Ketiga, Allah Swt menghendaki (dan ingin disembah) ketulusan. Perbuatan dan berbagai aktivitas apapun tidak akan memiliki makna luhur, bila dikerjakan dengan terpaksa dan mengabaikan ketulusan. Pemberian kebebasan dan bukan pemaksaan akan menjadikan pelakunya aman tenteram menunaikan ajaran agamanya. Sesungguhnya inilah poin utama dalam beragama.

Kajian Teori Referensial Pada QS al-Baqarah Ayat 256

Teori referensi merupakan salah satu teori dalam ilmu semantik. Teori ini sebagai teori semantik yang kemunculannya paling awal dalam menjelaskan dan mengurai makna. Dalam teori ini, makna diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk merujuk (menunjuk) dunia luar. Makna hadir karena adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang keseluruhannya berlangsung, baik secara objektif maupun subjektif.  Dengan demikian, teori ini mengaitkan makna dengan masalah nilai serta proses berpikir manusia dalam memahami realitas melalui bahasa dengan benar.

Surah al-Baqarah ayat 256 ini seringkali menjadi landasan bagi wacana kebebasan di Indonesia, namun demikian ayat ini sering disalahpahamkan sebagai dasar untuk dinyatakan bahwa ada kebebasan mutlak baik kebebasan beragama atau tidak kebebasan beragama, kebebasan memeluk agama baik pindah agama atau tidak pindah agama. Dan dipahami secara berbeda oleh para pemikir progresif dan jumhur ulama pada umumnya. Kelompok progresif memahami bahwa dasar kebebasan agama itu semutlak-mutlaknya.

Salah satu jumhur ulama berpendapat, yakni Ibnu Ashur bahwa ayat la ikraha fi al-din ini turun setelah teerjadinya penaklukan kota Makkah, setelah orang-orang Arab berduyun-duyun masuk Islam dan setelah Ka’bah bersih dari simbol-simbol kemusyrikan. Setelah semua itu terjadi, Allah membatalkan peperangan atas dasar agama. Dengan perkataan lain, ayat la ikra ha fi al-din telah membatalkan ayat-ayat perang dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, masuknya seseorang ke dalam Islam harus didasarkan pada pilihan bebas tanpa paksaan (dun jabr wa la ikrah).

Baca Juga  Khalifatullah fil Ardh: Manusia sebagai Aktor Peradaban

Sedangkan menurut pendapat pemikir progresif, di antaranya yaitu Jawdat Sa’id. Menurut beliau yang dimaksud dengan pemaksaan (al-ikrah) adalah al-ghayy dan ini adalah jalan salah. Sedangkan yang dimaksud dengan tanpa paksaan (la ikrah) adalah al-rushd dan ini adalah jalan yang benar. Pengertian ayat ini adalah “tidak ada paksaan dalam agama”. “Sungguh sudah jelas perbedaan antara tanpa paksaan dan pemaksaan”. Maka dapat dipahami, Sa’id berpendapat bahwa ayat itu turun untuk melarang pemaksaan dalam soal agama. Satu tarikan nafas dengan itu, ayat ini dengan sendirinya melarang membunuh orang yang pindah agama (murtad).

Penutup

Dari beberapa pembahasan yang telah dipaparkan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Allah Swt tidak memaksakan umatnya untuk menganut ajaran-Nya. Allah menghendaki agar seseorang merasakan kedamaian, karena ajaran-Nya – agama Islam bermakna damai.

Dalam Al-Qur’an yang termaktub pada QS Al-Baqarah ayat 256 mengandung makna kebebasan dalam beragama atau Allah tidak memaksa hamba-Nya untuk memeluk suatu agama. Selain itu, alasan tidak adanya paksaan dalam Islam itu karena sudah cukup jelas perbedaan antara jalan keselamatan dan jalan kebinasaan.

Editor: Soleh

Izzat Ibrahim Imammudin Mohtar
5 posts

About author
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI) Lamongan
Articles
Related posts
Tafsir

Ayat-Ayat Al-Qur'an tentang Kebodohan

6 Mins read
Di antara kita kadang berbuat bodoh di dunia ini. Kebodohan ini sering kali terjadi bukan karena kita tidak berilmu, namun karena karakter…
Tafsir

Makna Ummi: Benarkah Nabi Muhammad Buta Huruf?

3 Mins read
Nabi Muhammad adalah sosok yang membawa perubahan besar dalam sejarah peradaban manusia. Sebagai seorang Rasul terakhir, beliau menyampaikan wahyu yang kemudian menjadi…
Tafsir

Tafsir wa Al-Bayan li Ahkam Al-Qur’an al-Tarifi, Tafsir Bercorak Fiqih

4 Mins read
Biografi Imam Al-Tarifi ‘Abdul ‘Aziz al-Tarifi memiliki nama lengkap ‘Abd al-‘Aziz ibn Marzuq al-Tarifi, atau lebih dikenal dengan dengan sebutan al-Tarifi. Beliau…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *