“Hai orang-orang yang berselimut. Bangkitlah, dan berikan peringatan. Tuhanmu agungkanlah. Pakaianmu, bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah”. (QS. Al-Muddatstsir: 1-5).
Makna Kata Pakaian
Berkaitan dengan ayat di atas, kata pakaian diuraikan dengan pengertian tsiyab dan tahhir. Kata tsiyab merupakan bentuk plural dari kata tsaub yang berarti pakaian. Dalam pengertian kiasannya, kata ini juga diartikan dengan hati, jiwa, budi pekerti, keluarga dan istri. Kata tsiyab ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak delapan kali. Tiga diantaranya berbicara tentang pakaian di hari kemudian sebagaimana yang terdapat dalam surah Al-Hajj ayat 19; “Inilah dua golongan (mukmin dan kafir) yang bertengkar, mereka bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka bagi orang kafir akan dibuatkan pakaian-pakaian dari api (neraka) untuk mereka. Ke atas kepala mereka akan disiramkan air yang mendidih”.
Sedangkan lima yang lainnya berbicara mengenai pakaian dalam pengertian yang hakiki sebagaimana yang dipakai di dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian kata tahhir merupakan bentuk kata perintah dari kata tahhara yang berarti membersihkan dari kotoran. Sebagaimana kata tsaub yang memiliki pengertian kiasan, kata ini juga berarti ‘membersihkan dari dosa atau pelanggaran’. Dari pengertian tersebut, Ibnu Abbas sendiri menjelaskan makna ayat tersebut dengan dua ungkapannya, yakni; 1). ‘janganlah kamu busanai dirimu dengan kemaksiatan dan pengkhianatan’, 2). ‘membersihkan pakaian dalam arti hakiki, yakni membersihkan pakaian dari segala macam kotoran, dan tidak mengenakannya kecuali apabila bersih’ (Ghafur, 2005).
Munasabah Ayat Surah Al-Muddatstsir
Al-Muddatstsir adalah surah ke-74, diturunkan di Mekkah pada periode sangat awal, pada urutan ke-4 sesudah surah al-Muzammil dan sebelum surah al-Fatihah. Seperti saat menerima wahyu-wahyu sebelumnya, Nabi Saw selalu meminta diselimuti setelah menerima wahyu. Surah ini tampaknya mengingatkan Nabi Saw agar beliau justru segera berdakwah setelah wahyu diturunkan kepada beliau.
Kondisi batin yang kaget akibat pengalaman menerima wahyu pertama kali tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Nabi Saw harus memulihkan kondisi batinnya dan segera mulai menjalani misi kerasulan yang diembannya, mengajak kaumnya ke jalan yang benar. Seperti diketahui bersama bahwa perjuangan untuk berdakwah bukanlah perkara yang mudah. Banyak tantangan yang harus dilalui. Oleh karena itu, dibutuhkan persiapan yang matang dan menyeluruh baik secara mental, spiritual dan lain sebagainya (Effendi, 2012).
Kandungan Ayat Surah Al-Muddatstsir
Surah Al-Muddatstsir merupakan ayat-ayat awal yang dipahami sebagai ayat yang memerintahkan Nabi Saw untuk berdakwah secara terang-terangan baik kepada keluarga atau kepada masyarakat luas. Tentu saja perintah ini hadir ketika Nabi Saw dirasa telah siap untuk memulai dakwah. Di dalam kerangka itu ayat ini mengajarkan kepada Nabi Saw agar sukses dalam misi kenabiannya. Persiapan pertama, Nabi Saw diingatkan untuk tidak lupa mengagungkan Tuhan sehingga beliau sadar akan kekecilan dirinya sebagai makhluk Tuhan lalu tidak bersikap congkak terhadap orang yang dia dakwahi.
Persiapan kedua, bila menggunakan makna hakikinya penampilan lahiriah yang menarik, agar muncul simpati dari orang yang diperingati. Penampilan lahiriah ini sangat penting, agar tidak terdapat kesan bahwa seorang penyebar agama itu kotor dan tidak terhormat. Selain diingatkan untuk berpakaian yang bersih dan berbicara yang sopan. Namun, bila digunakan makna kiasannya, maka seorang pembawa agama mesti membersihkan diri terlebih dahulu dari dosa dan maksiat (Ghafur, 2005).
Salah satu yang diajarkan oleh al-Qur’an untuk menyucikan diri sendiri adalah wara. Al-Waro menurut pengertian bahasa berasal dari wari’a yari’as diambil dari materi waro’a yang mengandung makna mencegah diri. Al-Waro menurut pengertian bahasa juga berarti memelihara dan mencegah diri terhadap hal-hal yang tidak layak. Pengertian wara menurut istilah syariat artinya meninggalkan sesuatu yang meragukan anda, membuang hal-hal yang membuat diri tercela, memaksa diri untuk melakukan setiap hal dengan hati-hati (Munajjid, 2021).
Tahap-Tahap Wara: Meraih Kesehatan Jiwa
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam karyanya berjudul Madarijus Salikin menjelaskan mengenai tahap-tahap wara, tahap pertama memiliki tiga fungsi, yakni perlindungan atau pemeliharaan diri, peningkatan kebaikan, dan pemeliharaan iman. Fungsi ini akan terlihat bahwa setiap kejelekan yang dilakukan seorang manusia akan berbekas di dalam hati. Ia akan menjadi noda hitam yang mengotori hati. Karena itu menjauhi perbuatan jelek atau tidak baik pada hakekatnya menjaga diri dari kerusakan fisik dan psikologis.
Upaya menjauhi kejelekan juga akan membantu peningkatan kebaikan. Dosa yang dilakukan dapat menghapus kebaikan. Selain itu dosa juga dapat merusak keimanan. Secara psikologis, setiap kali orang melakukan dosa, maka akan mengalami kegelisahan dan perasaan berdosa. Gejalannya akan terus-menerus merasa tertekan, tidak mudah mengalami kesulitan, merasa tegang terus-menerus, sulit mengambil keputusan, merasa sangat lelah dan cemas (Ghafur, 2005).
Ciri-Ciri Sikap Wara
Setidaknya ada sepuluh hal ciri-ciri orang yang wara, yakni: 1). Menjaga lisan dari menggunjing (ghibah), 2). Menjauhi berburuk sangka (su’udzan), 3). Menjauhi perilaku menghina dan meremehkan orang lain, 4). Menutup mata dari yang diharamkan (ghadlul bashar), 5). Selalu mengucapkan yang benar adanya (jujur), 6). Mengerti bahwa nikmat yang didapatkannya adalah karunia Allah, 7). Menginfakkan hartanya pada sesuatu yang benar, 8). Tidak mencari popularitas diri, 9). Selalu istiqomah dalam ibadah dan kebaikan, 10). Menjalin pergaulan dengan baik (Ghafur, 2005).
Editor: Soleh