Tahapan proses memahami ajaran agama berawal dari “keraguan” (doubt). Seiring kematangan jiwa, pemahaman terhadap ajaran agama semakin kokoh. Tetapi tidak jarang persepsi publik muncul secara negatif bahwa seseorang yang tengah dalam proses pematangan cara beragamanya dianggap sebagai sikap atau perilaku menyimpang. Seolah-olah dia dianggap sebagai anti-agama. Perjalanan Kartini dalam memahami agamanya tidak lepas dari keragu-raguan, apalagi ketika dihadapkan pada realitas budaya feodal Jawa.
Dalam surat Kartini kepada Ny Van Kol, tertanggal 21 Juli 1902, ia menulis bahwa: “agama dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih atau coklat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa yang Satu itu, Tuhan Yang Maha Esa.”
Dari tulisan tersebut tampak pemikiran Kartini tentang agama yang bersifat universal. Agama mengajarkan kebaikan, membawa berkat bagi seluruh manusia, tanpa membedakan warna kulit, seks, status sosial, ras maupun bangsa. Aktualisasi agama mestinya tampak dalam sikap toleransi, saling menolong dan membantu, saling mengasihi; demikian juga kerjasama antar bangsa atas dasar kemanusiaan universal tanpa memendang perbedaan agama mestinya dapat diwujudkan.
Bagi Kartini, universalitas agama bukan berarti bahwa mereka dapat saling mempengaruhi keyakinan agamanya. Dalam hal ini, ia mengkritisi praktek misi Zending yang ingin mengkristenkan orang Jawa dengan dalih bakti sosial. Kepada EC Abendanon, Kartini menulis: “bagaimana pendapatmu, kalau Zending tidak bertujuan mengkristenkan melainkan semata-mata berdasar kasih hanya melakukan kebajikan bagi rakyat Jawa? Kalau orang mau mengajarkan agama pada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Yang Maha Pengasih, Bapak semua ummat baik Kristen maupun Islam, Budha maupun Yahudi dll.”
Kartini juga merisaukan realitas kehidupan masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia yang dengan mengatasnamakan agama, mereka justru saling menghina, membenci, dan bahkan saling memusuhi. Karena kebimbangan itu, terkadang muncul keraguan terhadap eksistensi agama.
Dalam surat yang ditujukan kepada Stalla tertanggal 6 November 1899, Kartini menulis: “Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal pertumpahan darah yang sangat mengerikan. Orang-orang seibu-sebapa ancam-mengancam berhadap-hadapan karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Esa dan Tuhan yang sama.”
Dalam konteks Ilmu Jiwa Agama, keraguan Kartini ini dapat dinilai wajar. Adalah sebuah gejala yang sangat wajar dalam perkembangan jiwa keagamaan manakala seseorang mencapai titik keragu-raguan dalam agamanya. Bahkan gejala tersebut merupakan perkembangan kesadaran agama menuju kemandirian dalam beragama.
Menurut Zakiah Daradjat, keraguan itu muncul karena adanya perbedaan antara nilai-nilai moral dan kelakuan orang-orang dalam kenyataan hidup. Pertentangan antara nilai-nilai agama yang mereka pelajari dengan sikap dan tindakan orang tua, guru-guru, pemimpin-pemimpin, atau penganjur-penganjur agama, sangat menggelisahkan remaja. Mungkin menyebabkan mereka menjadi benci kepada guru-guru dan pemimpin-pemimpin tersebut; bahkan dapat menyebabkan mereka acuh tak acuh atau benci kepada agama.
Bagi Kartini, pertentangan antara nilai-nilai moral agama dalam idealitas–ajaran-ajaran agama—dan agama dalam realitas–praktek-praktek keagamaan telah mengundang kerisauan dalam dirinya sekaligus daya kritisnya.
Sumber: diadaptasi dari buku Pemikiran Keagamaan RA Kartini karya Dra Siti Aisyah, MAg
Editor: Arif