Nama lengkap dari Rabi’ah Al’Adawiyah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Sang tokoh sufi perempuan ini diperkirakan pada tahun 95 H atau 713 M di suatu kota yang bernama Bashrah di negara Irak. Ia wafat di wilayah yang sama pada 185 H atau 801 M. Sosok yang satu ini adalah anak keempat dari keluarga yang sangat miskin. Jadi, alasan inilah yang membuat orang tuanya menamainya dengan Rabi’ah (berarti “empat” dalam bahasa Arab), di mana orang tua Rabiah meninggal sewaktu dirinya masih kecil.
Rabi’ah al-Adawiyah
Dilihat dari cerita, pada waktu ada perang besar di kota Bashrah, dia diculik oleh penjahat dan pada waktu itu juga dia dijual ke keluarga Atik yang mana berasal dari Suku Qais Banu Adwah. Pada waktu hidup di keluarga ini, dia bekerja sangat keras dan giat. Seiring berjalannya waktu dia dibebaskan oleh majikannya disebabkan satu alasan yang sangat unik, yaitu pada saat Rabi’ah sedang beribadah si tuan ini melihat ada cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah sehingga si tuan ini membebaskannya.
Setelah dia terbebaskan oleh tuannya sendiri, si Rabi’ah ini hidup sebagai hamba yang sangat taat. Rabi’ah selalu memperbaiki kehidupannya dari hari ke hari semakin baik dan ia jalani sebagai hamba zahidah dan Sufiah. Ia lakukan semua ini di sisa hidupnya untuk selalu mendekatkan dirinya kepada Allah Swt dengan rasa sabar dan ikhlas. Dia hidup dalam kemiskinan, tetapi setiap kali diberi bantuan materi dari orang lain selalu menolak, bahkan sewaktu berdoa Rabi’ah tidak meminta kepada Allah dalam urusan materi.
Pendapat ini dipermasalahkan oleh Badawi. Rabi’ah menurutnya, sewaktu sebelum bertaubat dia menjalani kehidupan duniawi untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari, sehingga Rabi’ah tidak punya cara lain, kecuali menari dan menyanyi sehingga dia terlelap dengan kehidupan duniawi. Badawi ini memperkuat alasannya dengan pendapatnya tentang intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri, di mana tidak mungkin bahwa iman dan kecintaan Rabi’ah ini begitu ekstrimnya kepada Allah, kecuali sebelumnya dia ini jauh dari kehidupan cinta kepada duniawinya.
Cinta Tulus Rabi’ah Al-Adawiyah
Dalam perkembangannya, Rabi’ah Al-Adawiyah ini dalam soal mistisisme dalam Islam tercatat sebagai peletak dari dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah Swt. Rabi’ah jugalah yang pertama kali dalam mengajukan sebuah pengertian tentang rasa tulus untuk cinta itu sendiri dengan keikhlasan bedasarkan permintaan ganti dari Allah.
Semua ini terlihat dari perkataan Rabi’ah mengenai cinta, baik yang langsung maupun apa yang didasarkan kepada-Nya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah meluapkan doanya “Tuhanku akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami”.
Syair-syair
Diantara Sya’ir Rabi’ah yang termashur adalah:
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
Cinta karena diri-Mu
Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku.
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.
Rasa cinta Rabi’ah kepada Allah ini sangatlah begitu mendalam, sehingga memenuhi seluruh relung hatinya, sampai ia hadir bersama Tuhan. Hal ini dibuktikan terungkap dalam syairnya sebagai berikut:
“Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu.
Dengan temanku tubuhku bercengkerama selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku”.
Bagi manusia yang rasa cintanya tidak tulus kepada Allah, ia selalu mengatakan begini:
“Dalam batin kepada-Nya engkau durhaka,
Tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta.
Sungguh aneh gejala ini.
Andai cinta-Mu memang tulus dan sejati tentu yang Ia perintahkan kau taati.
Sebab pecinta selalu patuh dan bakti pada yang dicintai”.
Editor: Nabhan