Sejarah perjalanan bangsa Indonesia menorehkan jejak demokrasi yang semakin matang dengan terselenggaranya Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak pada 17 April 2019. Inilah pemilu pertama kali yang menggabungkan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) pada waktu yang bersamaan.
Sesuai amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, Pemilihan Umum dilakukan sebagai perwujudan hak asasi politik rakyat yang bertujuan untuk Melaksanakan kedaulatan rakyat; memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden; melaksanakan pergantian personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib secara konstitusional dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional.
Tujuan mulia ini yang harus menjadi tolok ukur dalam merefleksikan kondisi negara saat ini. Apakah Pemilu yang berlangsung setahun yang lalu telah menghasilkan output seperti yang diharapkan? Mari kita renungkan bersama pelaksanaan demokrasi secara langsung di negeri ini. Apakah sudah mampu menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakayat Indonesia?
Anggaran dan Logistik Pemilu
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, alokasi anggaran untuk persiapan awal Pemilu di tahun 2017 sekitar Rp465,71 miliar. Kemudian pada 2018 alokasinya mencapai Rp9,33 triliun. Selanjutnya, pada 2019 dianggarkan sampai Rp15,79 triliun. Jadi, totalnya dalam 3 tahun anggaran Pemilu Serentak mencapai Rp25,59 triliun. (https://www.kemenkeu.go.id).
Sumber daya penyelenggara pemilu terdiri dari KPU RI, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan petugas Ad Hoc seperti PPK, PPS, dan KPPS. Jumlah anggota KPPS dalam Pemilu 2019 sebanyak 7,78 juta orang yang terdiri dari 5,97 juta orang anggota KPPS dan 1,81 juta orang pegawai/staf sekretariat dan petugas ketertiban (sumber LHP BPK Perwakilan Jawa Barat, Januari 2020).
Jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam pemilu serentak 2019 mencapai 810.329 unit. Angka ini hampir dua kali lipat lebih banyak dibandingkan Pilpres 2014 yang hanya 477 ribu. Jumlah TPS terbanyak ada di Jawa Barat mencapai 138 ribu TPS. Secara nasional, rata-rata TPS per provinsi adalah 23 ribu.
Gambaran tersebut untuk menunjukkan besaran dana dan sumber daya yang mesti dikeluarkan untuk menyelenggarakan pemilihan umum sebagai sarana suksesi kepemimpinan nasional. Energi yang besar itu belum termasuk cost social yang harus ditanggung karena terbelahnya sikap masyarakat dalam dua arus besar sebagai pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kontestasi Pilpres
Kontestasi Pemilihan Presiden 2019 diikuti oleh dua paslon, yaitu calon incumbent Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang didukung oleh PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, Hanura, PSI, PBB dan PKPI. Sedangkan kompetitornya adalah pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diusung oleh Gerindra, PKS dan PAN. Kedua paslon mesti bekerja keras dan berkampanye untuk merebut suara pemilih sebanyak 192.866.254 orang.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi nasional pemilihan presiden yang menunjukkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai pemenang, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pengumuman itu dikeluarkan pada Selasa dini hari (21/05/2019) seusai KPU menyelesaikan seluruh rekapitulasi 34 provinsi dan 130 PPLN.
Data KPU menyebutkan jumlah suara sah nasional tercatat 154.257.601. Jumlah suara sah pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf Amin mencapai 85.607.362 atau 55,50% dari total suara sah nasional. Jumlah suara sah pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, adalah 68.650.239 suara atau 44,50% dari total suara sah nasional.
Pasca Pilpres
Pasca KPU menetapkan paslon terpilih, dinamika politik terus berlangsung mewarnai proses penyusunan kabinet Indonesia Maju. Hingga akhirnya publik dikejutkan dengan masuknya nama Prabowo Subianto ke dalam jajaran menteri. Jokowi menunjuk rivalnya dalam pilpres tersebut sebagai Menteri Pertahanan. Langkah ini sekaligus memastikan Partai Gerindra bergabung dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Kontan saja pro kontra mengiringi bergabungnya Prabowo dalam kabinet Jokowi. Publik menyakini adanya istilah ‘Tidak ada lawan atau kawan abadi di dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi’. Pihak yang setuju dengan sikap Jokowi tentu mengapresiasi langkah tersebut sebagai bentuk rekonsiliasi nasional dan menjaga keutuhan bangsa sekaligus menguatkan legitimasi Jokowi sebagai Presiden terpilih.
Sementara bagi kalangan yang tidak sepaham, menilai kesediaan Prabowo menjadi menteri dalam kabinet Jokowi adalah sikap inkonsistensi dalam berpolitik. Padahal, dalam demokrasi diperlukan kelompok oposisi yang berperan melakukan check and balances terhadap jalannya pemerintahan. Sudah sepatutnya jika kubu yang kalah dalam pilpres tetap berada di luar pemerintahan untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap rezim yang berkuasa.
Merujuk pada hasil pemilu nasional ditambah dengan bergabungnya Prabowo dan Gerindra menjadikan Jokowi memiliki modal dukungan politik yang sangat kuat, baik di parlemen maupun di tengah masyarakat. Dukungan ini yang harus dikompensasikan dengan kinerja pemerintah dalam memperbaiki perekonomian rakyat. Harapan publik ketika memberikan suara di TPS adalah menginginkan kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kondisi saat ini lebih baik dari sebelumnya atau justeru sebaliknya?
Peta Kekuatan Parlemen
Sekarang kita cermati kinerja wakil rakyat yang terpilih melalui Pemilu Legislatif tahun lalu. Seperti diketahui, Pemilu serentak 2019 diikuti oleh 16 partai politik nasional dan 4 partai lokal di Nangroe Aceh Darussalam. Dari 16 parpol peserta pemilu nasional 2019, sembilan parpol memenuhi ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) sebesar 4 persen. Dari 9 parpol yang lolos, ditetapkan 575 orang yang melenggang masuk ke Senayan.
Perolehan kursi dan suara masing-masing parpol dari jumlah terbesar di DPR; PDIP: 128 kursi dengan jumlah suara: 27.503.961 (19.33%), Golkar: 85 kursi / 17.229.789 (12,31%), Gerindra: 78 kursi / 17.596.839 (12,57%). NasDem: 59 kursi / 12.661.792 (9,05 %), PKB: 58 kursi / 13.570.970 (9,69%), Demokrat: 54 / 10.876.057 (7,77%), PKS: 50 kursi / 11.493.663 (8,21%), PAN: 44 kursi / 9.572.623 (6,84%), PPP: 19 kursi / 6.323.147 (4,52%).
Mayoritas kursi parlemen dikuasai oleh koalisi parpol pendukung Presiden Jokowi yang terdiri dari PDIP, Golkar, NasDem, PKB, dan PPP memiliki 349 kursi atau 60 persen kursi DPR. Dominasi koalisi pro-Jokowi semakin kuat dengan bergabungnya Gerindra yang memiliki 78 kursi. Sementara jumlah kursi gabungan tiga parpol di luar koalisi, yaitu Demokrat, PKS dan PAN hanya 148 kursi atau sekitar 25 persen kursi DPR.
Komposisi tersebut menggambarkan pemerintahan Jokowi yang relatif lebih kuat, stabil dan minim tekanan politik di parlemen karena mempunyai dukungan yang sangat besar. Selanjutnya, apakah kinerja anggota DPR dalam menjalankan tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan akan berpihak kepada rakyat atau justru menghamba kepada pemodal yang membiayainya pada saat Pemilu.
Contoh yang paling mutakhir adalah terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintah terus mendapatkan penolakan dari publik. Serikat buruh hingga mahasiswa ramai-ramai menyatakan penolakannya. Mereka menilai RUU Cipta Kerja terlalu berpihak pada investor dan justru meminggirkan kepentingan masyarakat. Pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja yang terdiri atas 79 undang-undang dan 11 klaster dianggap bermasalah.
Kontroversi RUU Cipta Kerja
Publik berharap agar DPR menunda pembahasan RUU Cipta Kerja karena tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi masyarakat, terlebih saat ini kita sedang menghadapi ancaman penyebaran virus Corona. Tapi sepertinya DPR tak bergeming dan bersikeras melanjutkan pembahasan RUU tersebut.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tetap menggelar rapat kerja dengan pemerintah membahas Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada Selasa (14/4/2020) dengan agenda mendengarkan pendapat pemerintah terkait rancangan baleid RUU tersebut. Seorang anggota DPR beralasan pro dan kontra adalah hal biasa dalam demokrasi. Selain itu, DPR memiliki tugas legislasi, anggaran, dan pengawasan yang harus berjalan bersamaan. DPR telah membentuk tim pengawas dan Satgas Lawan Covid-19.
Kita berharap kepada wakil rakyat supaya melaksanakan fungsi DPR dengan baik dan bertanggung jawab sesuai yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diatur dalam pasal 20A ayat (1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tugas pokok ini yang harus dimanifestasikan dalam setiap kebijakan publik yang melindungi dan melayani dengan lebih baik kepada setiap warga negara.
Kesadaran Warga Negara
Berdasarkan data yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mencapai 81,97 persen. Sementara itu, tingkat keikutsertaan pemilih pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 menyentuh 81,69 persen. Realisasi tersebut di atas target partisipasi Pemilu serentak yang sebelumnya dicanangkan pemerintah dan KPU sebesar 77,5 persen.
Tingginya partisipasi publik menjadi cerminan kepercayaan rakyat yang sangat besar kepada penyelenggara pemilu dan peserta pemilu. Hal ini berkorelasi dengan kesadaran warga negara dalam menggunakan hak politiknya melalui sistem demokrasi elektoral. Partisipasi pemilih merupakan investasi kedaulatan rakyat yang harus dimaknai oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk memperlakukan warganya secara adil dan beradab.
Adalah merupakan kewajiban dan tanggung jawab bagi Presiden dan DPR yang dipilih langsung oleh rakyat untuk merealisasikan tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Editor: Arif