Perspektif

Ramadan Hijau, Jangan Bagikan Takjil dengan Bungkus Plastik

4 Mins read

Ramadan telah separuh badan meninggalkan kita. Tanpa terasa, bulan suci yang mulia itu telah hampir selesai kita lewati. Di beberapa tempat, hingar bingar Ramadan begitu luar biasa. Dampak ekonominya begitu besar. Di Jogja misalnya, ada Kampung Ramadan Jogokariyan (KRJ). Jalanan yang biasa saja di luar Ramadan, tiba-tiba menjadi pasar tiban yang penuh sesak di sore hari di bulan Ramadan.

Anak-anak muda tumpah ruah menyemut di Jalan Jogokariyan. Di barat dan timur masjid yang fenomenal itu. Ada puluhan penjual makanan. Mulai dari berbagai jenis es, gorengan, cilok, telur gulung, tempura, leker, dan belasan jenis makanan lainnya. Dilihat dari beberapa aspek, kekhusyukan salat maghrib, isya, dan tarawih di Masjid Jogokariyan tertutup oleh ramainya KRJ.

Namun, fungsi masjid memang tidak untuk menonjolkan kemegahan masjid itu sendiri. Melainkan untuk memberikan kemanfaatan bagi sekitarnya. Barangkali filosofi itu yang dipegang teguh oleh pengurus masjid.

Di kota lain, hingar bingar Ramadan tak kalah ramai. Di kampus-kampus, misalnya, sepanjang jalan selalu ramai dengan penjual takjil beserta pembelinya. Jalan-jalan di sekitar kampus menjadi macet ketika menjelang buka puasa. Ini adalah pemandangan lumrah yang selalu kita dapati setiap tahun. Dan kita rindukan selama 11 bulan kemudian.

Di sisi lain, belakangan kesadaran masyarakat akan sampah plastik sudah mulai meningkat. Dalam kurun waktu 2017-2018, cuitan di platform Twitter tentang isu-isu lingkungan, terutama limbah plastik mengalami peningkatan yang signifikan. Hal yang sama juga terjadi di Google, di mana kata kunci ‘plastic waste’ mengalami peningkatan sejak tahun 2014 hingga tahun 2019.

Menurut survei Global Web Index tahun 2018, generasi milenial adalah generasi yang rela membayar lebih untuk mendapatkan produk ramah lingkungan. Sehingga, produk-produk seperti sedotan dari besi mulai dikonsumsi. Meskipun oleh sebagian kecil masyarakat. Maraknya penggunaan tumbler juga bisa menjadi indikasi meningkatnya kesadaran masyarakat akan lingkungan.

Baca Juga  Bu Tejo, Kelompok Radikal, dan Hari Asyura

Sayangnya, di bulan yang mulia ini, beberapa pemandangan masih membuat sebagian dari kita harus mengelus dada. Di banyak masjid, takjil menjelang berbuka dan setelah tarawih masih didominasi oleh penggunaan plastik. Mayoritas makanan ringan takjil dibungkus oleh plastik. Sementara itu, takjil berupa makanan berat atau nasi sebagian dibungkus dengan styrofoam.

Padahal, sebagaimana jamak diketahui, styforoam merupakan plastik yang menggunakan benzena. Benzena merupakan salah satu dari empat penyebab kanker. “Benzena adalah top ranking atas yang ditakuti karena sudah terbukti menyebabkan kanker pada manusia,” kata Enri Damanhuri, seorang pakar persampahan dari ITB.

Benar bahwa styrofoam dapat didaur ulang. Namun, daur ulang bukanlah solusi. Selain itu, styrofoam juga mengandung plastik. Plastik bungkus takjil maupun styrofoam yang menjadi sampah lama-lama akan menjadi mikroplastik. Mikroplastik yang berukuran kurang dari lima milimeter, ketika terkena hujan, akan masuk ke perairan. Mulai dari selokan, sungai, hingga laut. Mikroplastik ini kemudian akan dimakan oleh ikan-ikan yang sehari-hari kita konsumsi.

Menurut David Wallace-Wells dalam bukunya yang masyhur, The Uninhabitable Earth, seperempat ikan di Indonesia mengandung mikroplastik. Ikan-ikan yang mengandung mikroplastik inilah yang berakhir di meja makan kita. Kita konsumsi untuk sahur dan buka puasa kita. Dan mungkin juga berakhir di nasi kotak yang dibungkus oleh styrofoam dan dibagikan di masjid-masjid kita.

Bahkan, madu, minuman yang selalu diklaim sebagai minuman kesehatan saja sudah mengandung mikroplastik. Satu potong plastik di laut satu juta kali lebih beracun dari air di sekelilingnya. Pada tahun 2050, menurut Wells, jumlah plastik di laut diprediksi meningkat tiga kali lipat. Saat itu, ada lebih banyak plastik daripada ikan di laut.

Baca Juga  Seberapa Bahaya Islam Liberal dan Islam Sekuler?

Tak hanya ikan, burung laut juga terdampak mikroplastik. Seorang peneliti menemukan 225 potong plastik di perut anak burung laut berusia tiga bulan. Plastik di perut ikan tersebut beratnya mencapai 10% dari masa tubuhnya. Hal itu setara dengan manusia yang di perutnya terdapat empat hingga lima kilogram plastik! Burung laut musnah dengan laju lebih cepat daripada kelompok burung yang lain.

Yang menyedihkan, Indonesia menjadi negara kedua penyumbang sampah plastik terbesar di dunia setelah China. Lebih menyedihkan lagi, tak hanya menghasilkan sampah plastik sendiri, Indonesia juga mengimpor sampah plastik dari Amerika dan Eropa.

Bagaimana bisa? Bahan baku pabrik kertas di Indonesia adalah kertas bekas dari Amerika dan Eropa. Pabrik kertas Indonesia mengimpor ribuan ton sampah kertas dari Barat untuk kemudian didaur ulang menjadi kertas yang kita pakai. Sampai sini tidak ada masalah.

Masalah kemudian muncul ketika di dalam tumpukan sampah kertas bekas yang diimpor dari Barat itu mengandung sampah plastik. Jumlah yang paling banyak mencapai 30% dari keseluruhan sampah impor. Semakin rendah sortiran sampah kertas dan plastik, semakin murah harganya, dan semakin banyak sampah plastik yang ikut terangkut ke Indonesia.

Menurut pengamatan Ecoton, sampah-sampah plastik dari pabrik kertas di Indonesia berasal dari negara-negara di Barat. Jadi, alih-alih menyelesaikan problem sampah di dalam negeri, kita justru rajin sekali mengimpor sampah plastik dari luar negeri. Sampah plastik itulah yang merusak air kita dan menjadi makanan bagi ikan-ikan kita.

Mewujudkan Ramadan Hijau, Ramadan Bebas Sampah Plastik

Mengingat umat Islam mendapatkan mandat untuk mengelola bumi (khalifah fil ardh), maka seyogyanya umat Islam mampu menyelenggarakan kegiatan-kegiatan Ramadan yang lebih ramah lingkungan. Hingga saat ini, telah ada beberapa contoh praktik baik Ramadan hijau. Antara lain Ramadan Hijau di Toronto, Kanada dan Minnesota, Amerika.

Baca Juga  Sejuta Cerita Pemilu Serentak 2019

Kendati terlambat, Ramadan telah setengah badan lewat, tak ada salahnya kita melakukan ‘pertaubatan ekologis’ sembari berkomitmen untuk tidak membagikan takjil dengan plastik lagi. Seperti pepatah klise, terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. Kita masih bisa wujudkan Ramadan hijau. Kalau tidak tahun ini, ya tahun depan. Walaupun wacana ini sejatinya sudah dilempar oleh IBTimes sejak tiga tahun silam.

Ada langkah-langkah kecil yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan bumi. Pertama, jangan gunakan plastik atau styrofoam sebagai bungkus takjil. Kedua, kurangi makanan ringan takjil yang menggunakan kemasan plastik. Ganti makanan ringan yang menggunakan kemasan plastik dengan makanan lain yang lebih ramah lingkungan.

Sebenarnya, untuk menyelamatkan bumi, tak cukup dengan dua langkah tersebut. Harus ada upaya komprehensif dan simultan. Namun, sebagai langkah sederhana bagi umat Islam, langkah itu cukup baik sebagai latihan awal, sebelum melakukan gerakan-gerakan yang lebih besar.

Selain itu, momen Idulfitri juga menjadi momen yang tepat untuk menyebarkan khutbah-khutbah ekologis. Hingga saat ini, isu-isu ekologis jarang menyentuh masyarakat pedesaan. Media persebaran yang masif di internet tidak bisa masuk ke sebagian kelompok yang belum terpapar internet.

Maka, salah satu media penyebaran narasi-narasi keislaman yang ekologis adalah melalui khutbah Idulfitri. Mengkhutbahkan ide-ide ekologis sebagai upaya menyelamatkan bumi adalah wujud pelaksanaan tugas sebagai khalifah di muka bumi.

Avatar
113 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds