Sikap kejujuran dan keberanian mempertahankan kebenaran adalah intisari dari jiwa yang merdeka. Sementara itu, kebohongan atau kemunafikan adalah gejala dari jiwa budak. Orang yang selalu berbohong, lama kelamaan dirinya sendiri tak dapat lagi membedakan antara kebohongan dan kebenaran yang diucapkannya.
Sebuah pesan dari Guru bangsa Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), merupakan nasehat penuh hikmah dan maha dahsyat terkait bahaya kebohongan. Berbohong merupakan penyakit jiwa yang dapat membawa pelakunya ke lembah kehinaan.
Sikap berbohong merupakan penyakit yang akan melahirkan kebohongan-kebohangan selanjutnya. Bagi orang yang sudah terlanjur berbohong, maka dia akan terus berusaha untuk berbohong lagi untuk menutupi kebohongan-kebohongan yang sebelumnya.
Bahaya Sikap Bohong
Perbuatan atau ucapan yang mengandung kebohongan tentu memiliki dampak negatif. Pastinya akan berdampak pada yang melakukan kebohongan dan begitu pula akan berdampak kepada yang dibohongi. Dalam lingkungan rumah tangga, ketika pasagan suami istri sering berbohong dan kemudian kebohongan terus dipelihara, maka cepat atau lambat rumah tangga itu akan mengalami kehancuran.
Anak yang tumbuhkembang di lingkungan rumah yang orang tuanya sering mengajarkan kebohongan, maka si anak kelak akan tumbuh menjadi anak pembohong. Maka jangan heran ketika besar dia pun berani membohongi orang tuanya.
Berbelanja di warung, ia begitu mudah membohongi si empunya warung, di sekolah dia begitu lihai menipu dan membohongi guru dan temannya. Kelak ketika tumbuh dewasa dan menjadi pemimpin, maka diapun akan menjadi pemipin pembohong. Inilah hasil didikan kebohongan dari lingkungan keluarga.
Rumah tangga yang dibangun dari kebohonganan kelak yang terjadi hanya pertengkaran dan kegaduhan. Keributan demi keributan yang akan berujung kepada ketidakpercayaan antar pasangan yang akhirnya terjadi adalah perceraian.
Dalam lingkungan masyarakat, seorang pembohong bisa dipastikan tidak akan bisa mendapatkan simpati dan kepercayaan dari warga. Sekali seorang berbohong dan itu ketahuan, maka konsekwensianya adalah akan hilang kepercayaan dia dari masyarakat. Dan ini merupakan hukum sosial alamiah.
Di lingkungan pendidikan, seorang dosen misalnya yang menjiplak karya orang dan mengatasnamakan dirinya (plagiasi), tentu merupakan bentuk kebohongan yang merugikan. Ia mencederai marwah dunia akademik sekaligus meruntuhkan wibawa ia sebagai seorang pendidik.
Mustahil lembaga pendidikan kita mampu melahirkan manusia-manusia yang berkarakter dan beradab apabila guru, dosen, dan pengajarnya tidak mampu memberikan contoh teladan yang baik, terutama dalam hal kejujuran.
Demikin pula dalam lingkup berbangsa dan bernegara, ketika seorang pemimpin yang doyan berbohong, dan terus menerus membohongi rakyatnya, maka ia yang akan kehilangan simpati dan dukungan oleh masyarakat yang dipimpinnya. Dampak yang paling besar yang akan timbul bagi Pemimpin pembohong adalah kesengsaraan.
***
Begitu banyak pemimpin sebelum ia terpilih sebagai presiden, gubernur, atau bupati hingga anggota dewan banyak mengumbar janji untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat. Menjanjikan sembako murah, lapangan kerja yang luas, tidak menaikkan harga BBM, serta seabrek janji-janji lain yang dapat menarik hati rakyat untuk memilihnya.
Namun, setelah terpilih yang terjadi justru berbalik dengan apa yanng dijanjikan. Menjanjikan sembako murah, justru yang terjadi adalah sembako yang mahal dan sulit terjangkau. Menjanjikan lapangan kerja yang banyak, justru yang disiapkan lapangan kerja untuk warga negara asing, sementara warganya sendiri yang pribumi menjadi pengangguran.
Menjanjikan BBM untuk tidak naik supaya tidak menjadi pemicu naiknya harga barang, namun yang terjadi adalah justru harga BBM terus menerus mengalami kenaikan.
Lebih miris lagi, kebijakan kenaikan dilakukan langsung dan tiba-tiba. Bahkan terkadang naik tanpa disadari karena dinaikkan di dini hari ketika masyarakat sedang pulas tertidur.
Sementara Nabi Muhammad Saw sangat mewanti-wanti kepada pemimpin untuk tidak berbohong dan membohongi rakyatnya, karena dampaknya akan fatal.
Pemimpin pembohong di akhirat kelak akan masuk golongan yang tidak akan dilihat dan oleh Allah dan akan mendapatkan balasan dan siksaan yang amat pedih. Sebagaimana sabda nabi melalui hadisnya adalah:
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ
“Ada tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, dan Dia tidak akan mensucikan mereka Dan tidak akan dilihat Allah– Dan bagi mereka siksa yang pedih: yaitu orang tua yang pezina, pemimpin yang pendusta, dan orang miskin yang sombong.”(HR. Muslim, 156)
Ramadhan dan Anti Kebohongan
Pada bulan Ramadhan, ummat muslim diwajibkan untuk berpuasa sebulan penuh. Bulan Puasa merupakan madrasah untuk melatih diri agar dapat menahan dari hal-hal perbuatan, sikap, maupun ucapan yang dapat merugikan diri sendiri dan juga orang lain.
Ibadah Puasa sebenarnya adalah sarana yang paling tepat untuk kita belajar bagaimana mampu untuk bersikap jujur secara hakiki, sekaligus sebagai usaha untuk dapat mengikis sikap-sikap kebohongan dalam diri.
Hal tersebut dikarenakan ibadah puasa memiliki perbedaan dengan ibadah-ibadah lainnya terutama dalam menumbuhkembangkan sikap dan prilaku jujur.
Ketika seseorang beribadah sholat misalnya, ia sholat atau tidak sangat memungkinkan orang lain untuk mengetahui, karena gerakan sholatnya bisa dilihat langsung secara jelas. Ibadah zakat dan haji pun demikian. Ia merupakan ibadah badaniyah yang secara aspek jasmani orang lain dapat menyaksikanya langsung dengan aktifitas badan.
Berbeda dengan puasa, secara badaniyah sulit orang lain membedakan apakah orang ini berpuasa atau tidak, ia habis makan atau tidak, ketika berwudu dia sambil minum atau tidak, karena ia merupakan ibadah rahasia yang tidak tampak. Sehingga yang mengetahuinya hanya dirinya dan Allah saja, terkecuali dia sampaikan kepada orang lain.
Itulah sebabnya kenapa orang berpuasa itu betul-betul wajib memiliki sifat jujur, karena ketika ia ingin berniat berbohong saja, maka sangat mudah baginya untuk melanggar, akan tetapi karena dia merasa diawasi (muraqobah). Sehingga, ia sadar bahwa meskipun ia dapat berbohong kepada manusia, namun Allah maha tahu dan maha melihat setiap tingkah laku dan perbuatan yang dilakukannya.
Akhirnya ketika orang-orang yang berpuasa mampu melahirkan dalam dirinya sikap muraqobah, maka ia selalu merasa diawasi, dirinya akan terjaga dari sikap buruk yang dapat merugikan dirinya dan orang lain.
Ketika pedagang selalu merasa terawasi, ia tidak akan berani berbuat curang dalam jual beli, ia akan berkata jujur ketika memberikan informasi terkait harga dan kualitas barangnya kepada pembeli tanpa harus disertai dengan kebohongan yang hanya demi memperoleh beberapa keuntungan.
***
Para pejabat mulai dari tingkat paling tinggi hingga yang paling rendah, apabila semua dirinya selalu merasa terawasi, maka tidak akan ada lagi yang berani berbuat culas untuk mencari keuntungan haram dari jabatan yang diembannya.
Mulai dari pungutan liar yang jumlahnya recehan, hingga yang ratusan juta berupa korupsi dapat terhindari apabila semua selalu merasa bahwa sang Ilahi senantiasa mengawasi.
Inilah pesan terpenting pelajaran di bulan Ramadhan, bagaimana setiap insan yang malaksanakan puasa mampu melahirkan sikap muroqobah, sehingga ia mampu memiliki sikap junnah (perisai) yang dapat menghidarkan dirinya dari segala perbuatan tercela terutama dalam hal kebohongan.
Editor: Yahya FR