Islam merupakan ajaran yang Rahmatan Lil Alamin yang mampu mengakomodir seluruh lapisan manusia dari segala latar belakang sosio kultur, ekonomi kultur, politik kultur, dan lainnya. Hal ini menegaskan bahwa hadirnya agama Islam melalui berbagai ajarannya menjadikan wajar ketika ber-Islam itu menjadi sesuatu hal yang menggembirakan dan memudahkan. Terlebih dalam firmannya disampaikan tidak ada paksaan dalam beragama (Al-Baqarah Ayat 256).
Agama tidak lepas dari seluruh permasalahan dalam kehidupan. Sehingga agama selalu menjadi tawaran solusi atas permasalahan-permasalahan yang muncul dalam dialektika keduniawian ini. Anggaplah dalam kondisi saat di tengah covid- 19 ini, menjadikan seluruh tatanan berubah 180 derajat.
Hal ini didasari bagaimana ajaran agama sebagai landasan idealitas akan berbenturan dengan realitas keduniawian. Lalu kemudian, agama akan menyesuaikan dengan kondisi realitas keduniawian tersebut. Ini ditegaskan dalam kaidah ushul “Al-‘Adah Mukhakamah” hukum adat atau realitas keduniawiaan bisa menjadi sebuah dasar hukum dalam bertindak.
Pandemi Covid- 19 dan segala apa yang ada di Indonesia, bukanlah perkara baru. Indonesia yang merupakan negara yang mayoritas Islam (popular), terbukti sangat mudah masyarakat menjumpai tempat peribadahan umat Islam. Sampai ada stigma; di mana ada toilet, di situlah ada mushola. Sehingga dalam kasus Pandemi Covid- 19 ini, muncul bagaimana pergesekan Islam popular (yang mengedepankan simbol dan agama sebagai ritual) dengan Islam populis (memandang ajaran Islam pada substansi ajarannya, bukan pada symbol ajaran) akan selalu mendapat perhatian khusus terlebih di masyarakat bawah yang minim informasi keagamaan kontemporer.
Sebagai contoh, masyarakat akan tetap pada keyakinan mereka bahwa sholat Jum’at harus tetap dilaksanakan dengan berbagai tudingan yang dialamatkan kepada atasan bahwa mereka tidak pro terhadap Islam dan tudingan-tudingan lainnya.
Islam Populer: Simbol Agama Sebagai Ritual
Islam di Indonesia sangat akrab dengan tradisi (ritual). Bahkan tidak jarang, tradisi-tradisi yang ada di dalam masyarakat Indonesia berawal dari nilai-nilai Islam yang kemudian menjadi tradisi masyarakat secara umum. Seperti halnya yang telah dilakukan wali songo dalam capaian dakwahnya.
Namun, kebanyakan pemeluk agama per hari ini, hanya menjadikan perilaku keagamaan sebagai bagian daripada ritual belaka. Sehingga agama hanya terkesan eksistensi simbol belaka. Padahal, jauh dari pada itu, setiap ajaran yang berbau ritual keagamaan memiliki nilai esensial masing-masing. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang kurang memahami hal itu. Ujung-ujungnya, masyarakat hanya sebatas memahami praktik keagamaan sebagai “ritual” saja, tanpa mengetahui sisi keagamaan yang lebih fundamental.
Ibadah dalam realitas saat Pandemi Covid- 19, mampu memberikan gambaran bagaimana masyarakat masih banyak mengartikan bahwa beribadah hanya sebatas ritual yang orientasinya pada eksistensi simbol.
Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu, suatu jamaah tabligh akbar sangat yakin bahwa agenda yang diikutinya tersebut merupakan hal yang baik, apalagi dianggap sebagai sarana dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga, keyakinan yang terpatri dalam benak mereka adalah bahwa hal yang baik akan mendapatkan balasan baik.
Namun mereka lupa, mereka tidak melihat realitas keduniawiaan saat pandemic covid- 19 ini seperti apa, sehingga beragama tidak hanya sebatas eksistensi simbol. Jauh dari pada itu, banyak hal yang perlu diperdalam sebagai gambaran komprehensif dalam memahami agama itu sendiri.
“Marhaban Yaa Ramadhan” ungkapan ini terasa menjadi tradisi di setiap datangnya bulan suci Ramadhan, tak terkecuali di masa pandemik Covid- 19 ini. Seluruh media sosial membanjiri kalimat mulia di atas. Lantas, akankah eksistensi ber-Islam seketika hilang ketika Ramadhan dijalani sepi sunyi di setiap rumah? Akankah eksistensi ber-Islam seketika hilang ketika syiar Islam melalui dari masjid–masjid dan seluruh agenda didalamnya sepi sunyi? Demikian sekelumit pertanyaan yang muncul jika umat Islam memahami Islam secara eksistensial yang mengedepankan simbol atas ritual keagamaan itu sendiri.
Islam Populis Sebagai Jalan Hidup
Terdapat satu hari yang dinantikan umat Islam ketika bulan Ramadhan, yakni Lailatul Qadar. Dalam meraihnya, tidak bisa secara eksistensi (dapat dilihat oleh indra manusia), melainkan diraih oleh mereka yang bekerja dalam sunyi semata-mata karena ridha Allah SWT . Hamba yang demikian, lebih memperhatikan Islam sebagai jalan hidup berupa ajaran ajaran yang esensial, tidak hanya sebatas ritual keagamaan.
Sehingga, pemaknaan perintah dalam ajaran Islam mereka pahami lebih mendalam, mengapa ajaran itu turun. Kemudian, implikasi ajaran tersebut terhadap individunya dan sosial kemasyarakatan (muamalah), bagaimana akhirnya pemaknaan ajaran seperti ini menjadikan Islam populis mengedepankan nilai-nilai ajaran Islam bukan hanya sebatas formalitas ajarannya.
Islam menegaskan dalam Q.S Adz-Dzariyat ayat 56, bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT semata. Secara umum, ibadah dibagi menjadi dua. Di antaranya: pertama, ibadah mahdhah (ibadah khusus) yang otoritas penilaian ibadahnya langsung kepada Allah SWT seperti halnya sholat, puasa, dan lainnya.
Kedua, ibadah ghairu mahdhah (Ibadah umum). Yang mana, ibadah ini berbentuk muamalah keduniawian termasuk di dalamnya memuliakan tetangga dan segala sesuatu dalam kehidupan ini yang bersinggungan kepada kemaslahatan bersama.
Secara hitungan matematis, dalam 24 jam sehari, terdapat 2 jam full untuk melaksanakan ibadah khusus baik berupa sholat dan ibadah khusus lainnya, melainkan 22 jam. Selebihnya akan banyak digunakan untuk ibadah mahdhah yang melibatkan kemaslahatan bersama, dalam masa pandemik Covid- 19 harusnya umat Islam berdiam diri di rumah untuk kemaslahatan. Jal yang demikian merupakan wajah ber-Islam secara esensial.
Ramadhan : Islam Populer vs Islam Populis
Ramadhan 1441 Hijriyah, bukanlah Ramadhan seperti sebelum-sebelumnya. Karena di tengah pandemic Covid- 19, kita akan banyak diperlihatkan wajah Islam popular (eksistensi simbol) dengan wajah Islam populis (esensi ajaran). Keduanya memiliki perbedaan yang mendasar dan mencolok baik dari landasan teologis (naqliyah) maupun landasan filosofisnya (aqliyah).
Ramadhan saat pandemic covid- 19 ber-Islam secara eksistensi simbol akan teguh pendirian untuk melakukan segala kegiatan keagamaan seperti biasanya tanpa menghiraukan kondisi pandemik covid-19 ini. Dengan dalih, Allah SWT yang maha mengendalikan atas segala sesuatunya tanpa melihat kembali kaidah-kaidah lainnya dalam beragama. \
Sedangkan, Ramadhan saat pandemik Covid-19, bagi mereka yang ber-Islam secara esensial, akan memahami bahwa di tengah pandemik saat ini, mengedepankan kemaslahatan bersama menjadi skala prioritas.
Mereka meyakini bahwa ajaran agama tidak hanya pada keramaian manusia melakukan ajaran agama tersebut, melainkan kedalaman manusia dalam memahami dan melaksanakan nilai-nilai ajaran tersebut. Akhirnya dalam memaknai Ramadhan 1441 Hijriyah, tidak hanya sebatas eksistensi dalam ber-Islam melainkan ber-Islam secara esensial.