Perspektif

Ramadhan: Momentum Eratkan Kembali Persaudaraan di Tengah Pandemi

3 Mins read

Dunia sedang dilanda pandemi, oleh virus yang berawal dari negeri Cina. Corona namanya, si virus baru yang belum banyak diketahui sebelumnya. Seluruh dunia dibuatnya sibuk. Ribuan korban berjatuhan. Sendi-sendi kehidupan dan ekonomi perlahan lumpuh, ancaman krisis menjadi nyata. Para pemimpin negara bergerak melindungi segenap rakyatnya. Pun tak terkecuali di Indonesia.

Di Indonesia, masyarakat mulai dilanda kepanikan, keresahan, dan ketakutan yang kian hari semakin memburuk. Seluruh gerak kehidupan berubah. Perilaku mulai tak terarah. Rasa panik, takut, dan resah berlebih berubah jadi kewaspadaan yang kalap. Manusia perlahan mulai hilang sisi kemanusiaannya. Ia dikuasai ketakutannya sendiri hingga menghilangkan potensi akalnya. Keadaan ini semua melahirkan sebuah kewaspadaan kalap yang meniadakan simpati dan empati. Menjadikan dunia ini bak rimba raya yang ngeri.

Sebagian kelompok warga berbondong memborong persediaan makanan dan alat kesehatan pelindung diri, sebagian lagi dibiarkan resah dibuat bingung oleh keadaan. Kelangkaan produk terjadi, harga komoditi naik tinggi. Pada sebagian kecil wilayah ada petugas kesehatan yang diusir-usir agar tak mendekati wilayah tempat tinggalnya.

Ada juga keluarga dan korban Corona berstatus ODP/PDP distigmatisasi negatif bak aib, pun yang paling menyayat hati di beberapa daerah jenazah terjangkit virus Corona ditolak pemakamannya. Meski pemerintah telah hadir menenangkan, namun rupanya upaya-upaya yang dilakukan belum dapat seutuhnya meyakinkan rakyat untuk tetap merasa tenang, dan merasa terjamin akan hajat kehidupannya, sehingga dapat percaya diri dalam menghadapi pandemi.

Pandemi Covid-19 antara Mitos, Agama, dan Sains

Mengapa terjadi kewaspadaan kalap di tengah pandemi, yang turut mengubah masyarakat menjadi seperti bukan manusia, ketakutan dan kewaspadaan butanya telah meniadakan simpati dan empati. Menjauhkannya satu sama lain dari ikatan persaudaraan kemanusiaan. Pikiran dan perasaan manusia dikuasai ketakutan tak berasas yang akhirnya meniadakan potensi akalnya. Jika hal ini terus dibiarkan, maka potensi konflik dan kegelisahan akan semakin massif terjadi.

Baca Juga  Situasi Darurat Pandemi, Masyarakat Harus Saling Tolong-Menolong

Bila kita abstraksikan hal itu semua mungkin saja terjadi karena kurangnya literasi dari cara pandang masyarakat dalam menyikapi pandemi, terlebih juga rasa takut itu semakin tinggi jika seandainya wabah menyerang diri sendiri atau keluarga sanak famili. Ada banyak hal yang mesti diperbuat agar masyarakat kuat melewati pandemi. Satu di antara banyak hal itu adalah mengubah mindset masyarakat terhadap bencana pandemi, memberikan edukasi mengenai pandemi covid-19, dan terakhir pemerintah harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa hajat dan keselamatan hidupnya akan selalu terlindungi juga terjamin selama pandemi.

Dalam tradisi-tradisi pemikiran di sepanjang rentan peradaban, manusia telah mencoba memahami bencana melalui berbagai macam perspektif. Paling tidak manusia melihat bencana melalui tiga perspektif yaitu mitos, agama, dan sains. Mengapa demikian, karena kemampuan berpikir dan berperilaku manusia akan selalu dipengaruhi oleh tiga hal tersebut. Beberapa pemikir menyebut tiga hal itu sebagai tiga tungku penopang peradaban manusia.

Terkait dengan bencana pandemi Covid-19, ketiga perspektif di atas akan memberikan gagasan yang penting untuk kita kaji lebih dalam agar kita dapat memahami fenomena yang terjadi di masyarakat dalam menghadapi pandemi saat ini. Dan juga agar kita mampu mengetahui bagaimana cara terbaik melewati masa-masa sulit pandemi, yang kemudian bisa membuka perspektif kita supaya lebih bijaksana dalam berpikir dan bertindak.

 Apa yang paling diperlukan masyarakat saat ini supaya bisa berperilaku dengan jernih dalam menghadapi pandemi ialah membuka ruang–ruang sadar untuk melakukan refleksi dengan diri sendiri terkait dengan bencana pandemi. Masyarakat haruslah mampu melihat bahwa pandemi Covid-19 ini bukanlah hal mitis yang bisa diterka-terka tanpa ada pembuktian saintifik. Maka, masyarakat tidak patut menolak jenazah korban Covid-19 hanya karena takut tertular jika dimakamkan dekat pemukimannya. Karena hal itu terbukti tidak saintifik alias mitos, juga masyarakat tidak boleh menstigmaisasi negatif korban Covid-19 karena alasan-alasan mitos lainnya.

Baca Juga  Pandemi saat Ramadhan: Sindiran Allah Kepada Hambanya

Masyarakat haruslah mampu menempatkan fakta saintifik di atas mitos atau hoax mengenai pandemi. Coba kita ingat-ingat masa di awal-awal wabah ini muncul, banyak sekali mitos atau berita yang tidak benar adanya berseliweran di media masa. Mitos yang paling penulis ingat mengenai Covid-19 adalah cuitan akun twitter dr. Faheem Younnus seorang ahli penyakit infeksi dari USA.

Beliau menulis dalam cuitannya bahwa ia banyak mendengar mitos mengenai Covid-19 dan akan segera meluruskannya. Mitos pertama yang ditanggapinya adalah bahwa Covid-19 akan hilang ketika musim panas tiba, kenyataannya ia menegaskan bahwa virus Corona tidak akan hilang meskipun musim panas berlangsung. Covid-19 tidak mengikuti pola cuaca. Kabar buruknya salah satu petinggi republik ini sempat menyebutkan di media masa bahwa Covid-19 tidak akan kuat dengan cuaca di Indonesia, bukannya alih-alih mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari mengantisipasi sebelum wabah itu tiba di negeri ini, eh malah sesumbar berkomentar kontroversial.

Narasi Persaudaraan dan Saling Menguatkan Sesama

Narasi yang perlu dibangun pada saat-saat bencana pandemi seperti sekarang ini adalah narasi persaudaraan dan saling menguatkan terhadap sesama. Kita perlu kekompakan dan sinergitas lintas lapisan masyarakat. Pemerintah, agamawan, dan saintis perlu bersatu membangun kepercayaan diri masyarakat agar mampu melewati pandemi.

Dan momentum Ramadhan ini haruslah kita jadikan waktu untuk dapat memahami bencana pandemi sebagai bagian dari situasi penting yang perlu kita lalui bersama. Seluruh elemen masyarakat perlu mendengarkan saintis dan memberikannya ruang untuk memimpin kita agar mampu melewati masa sulit ini.

Selain itu, kita pun perlu paham bahwa semua yang terjadi di semesta ini termasuk bencana pandemi Covid-19 ini hadir atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Tak ada yang terjadi sesuatu apa pun tanpa kehendak Yang Maha Kuasa. Satu hal yang perlu kita imani bahwa apapun yang terjadi merupakan kepanjangan tangan dari Sang Maha Kuasa.

Baca Juga  Pengakuan Seorang Relawan Covid-19

Terakhir, dalam suasana Ramadhan Karim ini kita mesti saling mengingatkan kembali bahwa bencana pandemi Covid-19 ini bukan hanya suatu fenomena yang bisa diuraikan secara saintifik semata. Namun jauh lebih daripada itu, Covid-19 ini mungkin saja memiliki tujuan untuk memberikan peringatan kepada manusia, agar kita semua sadar atas apa yang telah kita perbuat terhadap semesta selama ini. Sudah sepantasnya kita memahami bahwa pandemi Covid-19 ini merupakan bagian dari ayat-ayat nyata dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Editor: Arif

Avatar
1 posts

About author
Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds