Bulan Ramadhan I Suatu ketika, terjadi dialog antara H. Agus Salim dan Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam dialog itu, Salim secara tidak langsung mewakili identitas Muslim yang taat, sementara Takdir mewakili kaum rasionalis yang sangat mengedepankan logika dan memuja kebangkitan intelektualitas (renaisans). Walaupun diketahui keduanya cukup dekat karena sama-sama berasal dari ranah Minang, Sumatera Barat.
Dialog Agus Salim dan Sutan Takdir
Takdir menyampaikan keheranannya kepada Salim, seorang mantan anggota dewan Volksraad di zaman itu, terpandang dan cerdas namun masih shalat. Dalam pandangan Takdir, shalat itu tidak masuk akal, karena tidak dapat dibuktikan secara rasionalitas.
Menjawab seloroh Takdir, Salim menjawab. “Anda setiap tahun pulang ke ranah Minang dengan menaiki kapal laut. Ketika ada berada di atas bidak kapal, yang Anda gunakan rasionalitas atau kepercayaan (keimanan)?” Salim melanjutkan, “ketika Anda di atas kapal yang ada gunakan adalah kepercayaan, bukan rasionalitas”. “Anda percaya bahwa kapal akan membawa Anda ke Minang bukan ke Palembang. Anda percaya bahwa kapal tidak akan tenggelam. Jika menggunakan rasionalitas, Anda harus faham dulu bagaimana kemudi kapal dikendalikan, bagaimana turbin baling-baling kapal berputar. Pendeknya, Anda harus tahu banyak hal tentang perkapalan barulah Anda naik kapal”.
Begitulah Salim membuat perumpamaan, bahwa untuk menyembah Tuhan tidak harus mendekatinya dengan logika sedetil mungkin, karena alam semesta sudah cukup menjelaskan kebesaran-Nya. Konon, sejak saat itu Takdir dikenal menjadi religius dan acapkali mengutip agama (baca: Islam) sebagai paradigma berfikirnya. Kisah ini diabadikan oleh Nurcholish Madjid yang kemudian dikumpulkan oleh Budhy Munawwar Rahman dalam Ensiklopedi Cak Nur.
Buya Hamka menyebut perpidahan cara pandang Takdir dari rasionalis menuju religius sebagai perjumpaan Takdir dengan “Laitu al-Qadr”–nya. Perjumpaan yang singkat namun membawa titik balik perubahan yang begitu besar sepanjang kehidupan Takdir (fraction of the minute). Dalam bahasa al-Qur’an, lebih baik dari seribu bulan (min alfi syahrin).
Ramadhan: dari Spiritualitas Menuju Revolusi Akhlak
Ramadhan yang akan datang beberapa hari lagi, menemukan momentumnya di tengah masalah krisis akhlak dan moral yang menimpa bangsa ini. Adanya penegak hukum yang harus diadili karena kasus pembunuhan dengan segala skenarionya. Anak pejabat tinggi yang semena-mena melakukan tindakan kriminal kepada anak di bawah umur. Pejabat pemerintah yang acapkali menampilkan kemewahan di tengah masih banyaknya rakyat hidup dalam kesulitan. Semuanya adalah potret buram yang harus segera diselesaikan.
Agama ini hadir sejatinya membawa misi besar berupa relovusi akhlak menuju nilai-nilai luhur yang penuh dengan keadaban. Oleh sebab itu, Ramadhan yang di dalamnya terdapat malam laitu al-qadr, patut dijadikan sarana evaluasi tahunan menuju perubahan akhlak tersebut.
Lailatu al-qadr tidak hanya dimaknai dalam kerangka pemikiran spiritualitas (bī umūmi al-lafdzi) sebagai malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Namun, sebagaimana Hamka dan Nurcholish Madjid memaknainya sebagai fraction of the minute, beberapa saat yang mampu membawa perubahan sosial yang panjang.
Bukankah Nabi, sesudah menerima mandatory al-Qur’an di gua Hira, yang disebut sebagai awal dari lailatu al-qadr, setelah itu menjadi abad yang tercerahkan bagi umat Islam? Sesaatnya Nabi dalam menerima wahyu tersebut menjadi awal titik balik kehidupan umat manusia menuju kehidupan penuh dengan nilai-nilai Islam.
Laitu al-qadr sebagai Pecahan Waktu
Jika lailatu al-qadr diyakini setiap muslim datang di bulan Ramadhan—walaupun sebagian kecil ulama juga meyakini ada di luar Ramadhan—inilah momentum yang tepat untuk menemukan fraction of the minute tadi.
Sebulan selama Ramadhan menjadi langkah awal menghilangkan sekat-sekat disintegrasi bangsa di tahun politik. Semangat Ramadan yang menyatukan keluarga jauh untuk mudik adalah salah satu “fraction” yang dapat mengajarkan akan hal itu. Bukankah kebersamaan dan kekeluargaan jauh lebih berharga dari sekedar uang dan materi?
Proses menahan lapar dan dahaga dari segala yang membatalkan selama puasa menjadi “fraction” untuk menahan syahwat keduniaan dengan cara-cara yang tidak diridhai Tuhan. Bahkan pada tahapan puasa khusus, sebagaimana disebut al-Ghazali sebagai khawasu-khawas, manusia sebaiknya menjauhkan diri dari sifat buruk sekecil apapun itu. Sementara keburukan kadang bersifat sangat halus, sehingga jarang disadari manusia.
Dalam bahasa sufistik, jika dengan berbicara menjadikanmu merasa angkuh maka cukup diamlah. Begitu pula sebaliknya, jika dengan diam menjadikanmu merasa rendah hati dan mulia maka berbicaralah. Kebaikan dan keburukan tidak terletak pada sifat berbicara dan diamnya, namun niat keburukan yang menyertainya.
Puasa sejatinya melatih manusia untuk menjaga kesucian jiwa sebagaimana analogi saat yang tepat untuk berbicara dan diam di atas. Akan halnya dengan makan, minum, berhubungan suami dan istri adalah hal yang dibolehkan. Mengapa hal tersebut menjadi terlarang pada saat berpuasa? Bahkan, untuk kategori hubungan intim suami dan istri mendapatkan kafarat (hukuman) yang cukup berat. Semua itu tentu untuk melatih manusia menahan kesenangan duniawi. Sebab umumnya, kesalahan dan perbuatan dosa manusia di muka bumi ini adalah untuk mengejar kepuasan biologis tersebut.
Akhirnya, lailatu al-qadr adalah pengalaman spiritual. Secara umum pengalaman spiritual akan sangat subyektif tergantung dari pelakunya. Fraction of the minute dari Lailatu al-qadr tidak harus dari hal-hal besar namun dapat juga pada hal yang sederhana.
Jika Sutan Takdir menemukan “fraction” perubahan dari rasionalis menjadi religius maka perjumpaan dengan laitu al-Qadar itu bisa saja perubahan dari sifat kesombongan menuju rendah hati, keserakahan menuju kepada keikhlasan, keangkuhan menuju ketawadhu’an dan sebagainya. Semoga saja kita menjumpainya Ramadhan kali ini. Tabik.
Editor: Soleh