Perspektif

Ramadhan Sunyi di Tengah Wabah Corona

3 Mins read

Begitu terdengar Adzan Isya, berbondong-bondong orang datang ke Masjid Al-Ikhlas yang berada di pinggir jalan. Tua muda, laki-laki perempuan, orang tua, dan anak-anak tumpah ruah memadati masjid sampai ke halaman untuk mengikuti Tarawih hari pertama Ramadhan. Pemandangan yang membahagiakan tersirat dari wajah-wajah mereka menyambut datangnya bulan Ramadhan yang penuh berkah. Suara ayat-ayat Al-Qur’an dikumandangkan oleh sang Imam, bersahut-sahutan dari berbagai masjid dan mushalla, menandai perjalanan waktu menuju hari kemenangan.

Itulah sepenggal kisah yang masih tersisa saat mengenang hari pertama Ramadhan tahun lalu. Syiarnya sungguh terasa, semaraknya menggairahkan untuk berlomba-lomba dalam meraih rahmat dan ampunan. Ramadhan bulan teristimewa yang menghadirkan segenap keberkahan.

Namun, berbeda di hari pertama Ramadhan tahun 1441 Hijriyah ini, suasananya seperti sudah diduga, sunyi senyap seperti hari-hari biasa. Musababnya karena pandemi Corona, sejak jauh-jauh hari masyarakat memang dianjurkan agar sebaiknya tetap berada di rumah saja.

Beribadah di rumah, shalat Tarawih di rumah dan tak ada lagi buka puasa bersama di masjid atau mushalla. Malam pertama shalat Tarawih di Masjid Al-Ikhlas hanya diikuti tak lebih dari sepuluh orang saja. Sebagian besar adalah pengurus yang berharap agar masjid tidak kosong dan hampa di hari pertama.

Imam dan makmum semua mengenakan masker, shaf berjarak lebih satu meter, bersujud di lantai tanpa karpet atau sajadah. Dalam keterbatasan kami berusaha menjalankan shalat Tarawih hari pertama seadanya. Bukan tak patuh terhadap seruan pemerintah agar tetap di rumah saja, namun karena dorongan hati yang kuat untuk melangkah ke masjid terdekat.

Biasanya jelang waktu sahur ada para remaja yang berkeliling untuk membangunkan warga, membawa tetabuhan agar orang-orang lantas terjaga. Tapi malam tadi yang tersisa adalah kicau burung milik tetangga yang sudah biasa terdengar setiap malamnya.

Baca Juga  Membumikan Islam Pribumi (2): Sekularisasi yang Disalahpahami

Ramadhan yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tentu sudah menjadi ketentuan dan takdir dari Allah yang Maha Sempurna. Entah skenario apa yang sedang ditunjukkan oleh Sang Kuasa kepada hamba-Nya, menghadirkan virua Corona di tengah Ramadhan yang mulia?

Tidak ada satu pun di alam ini yang terjadi secara kebetulan, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur`an, “… Allah mengatur urusan (makhluk-Nya).” (ar-Ra’d: 2). Dalam ayat lain dikatakan, ” dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula)….” (QS. al-An’aam: 59).

Dialah Allah Yang menciptakan dan mengatur semua peristiwa, bagaimana mereka berawal dan berakhir. Dia pulalah yang menentukan setiap gerakan bintang-bintang di jagat raya, kondisi setiap yang hidup di bumi, cara hidup seseorang, apa yang akan dikatakannya, apa yang akan dihadapinya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur`an.

“Sesungguhnya, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS. al-Qamar: 49) “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS. al-Hadiid: 22)

Covid-19 atau Corona adalah pendatang baru, dengan umur yang masih sangat belia namun mampu membalikkan keadaan sedemikian cepatnya. Munculnya pandemi Corona sebagai bencana non alam adalah cara Allah SWT menegur, menasihati, dan memperlihatkan bagaimana rumus ketuhanan bekerja.

Allah dengan segala kesempurnaan yang dimilikinya telah membuat aturan dengan poin-poin yang sangat detail tentang aturan makan dan hal-hal yang wajar dikonsumsi manusia. Makanan halal sekali pun jika dikonsumsi secara berlebihan bisa mendatangkan mudharat. Makanan yang dikonsumsi setiap hari akan berpengaruh terhadap daya tahan atau imunitas tubuh terhadap serangan virus Corona.

Baca Juga  Berburu Takjil, Jangan Sebatas Ritual!

Kesunyian Ramadhan akibat pandemi Corona hendaknya tidak melenakan kita untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. Saat berpuasa, seorang muslim menghabiskan sebagian waktu siangnya dalam keadaan lapar.

Meskipun kita memiliki keinginan makan dan minum, kesadaran keimanan menolak untuk melakukannya demi memenuhi kehendak tulus terhadap perintah Allah. Ketulusan ini kemudian akan membuat kesadaran bahwa segala perbuatan kita senantiasa dilihat dan diawasi Allah SWT.

Selama bulan Ramadhan, kita dituntut harus meninggalkan makan dan minum yang merupakan kebutuhan seluruh manusia. Demi menunjukkan kecintaan kita kepada Allah SWT, maka kita dituntut untuk menyucikan jiwa dan pikiran dengan berbagai ibadah dan dzikir mengingat Allah SWT.

Seseorang yang perutnya selalu kenyang memiliki kecenderungan sifat dan emosi yang keras dan kasar. Rasa lapar tak jarang membuat dirinya lemas dan menyadari kelemahannya pada titik yang utama. Hati yang keras tentu saja bertentangan dengan keharusan seorang muslim. Di bulan Ramadhan,seorang muslim harus membersihkan jiwa dan juga menghaluskan perasaannya.

Islam mengajarkan umatnya untuk selalu mengasihi dan menyayangi sesama umat. Bulan Ramadhan adalah sebaik-baiknya waktu bagaimana seorang yang kaya bisa merasakan penderitaan orang fakir. Sehingga rasa kasih sayang dan empati terhadap sesama dapat tumbuh di dalam hati kita.

Mengakui kelemahan diri yang tidak bisa hidup tanpa makan dan minum sehingga seseorang tidak bersikap angkuh dan sombong terhadap orang lain. Mengosongkan perut bisa menjadi seseorang lebih tabah menahan rasa sakit dan jernih dalam berpikir.

Membatasi makanan dengan cara berpuasa berarti mencegah munculnya ragam penyakit dalam tubuh. Dengan berpuasa dan menjaga asupan makanan yang bergizi. Stamina kita akan tetap terjaga selama bulan Ramadhan.

Hikmah yang paling berharga di Ramadhan kali ini adalah kita disarankan untuk #dirumahsaja, belajar di rumah, bekerja dari rumah dan beribadah di rumah. Bersama keluarga menjalani Ramadhan dengan penuh iman dan takwa. Rumah dan keluarga adalah benteng terakhir untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Baca Juga  Moderasi: Jalan Tepat Mengatasi Terorisme

Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari Api Neraka” (QS. At-Tahrim: 6). Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam sebuah majlis ilmu pernah berkata bahwa makna “jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” adalah lakukanlah ketaatan kepada Allah dan tinggalkan maksiat serta suruhlah mereka untuk berdzikir kepada Allah. Maka dengannya Allah selamatkan kalian dari api neraka.”

Demikian catatan hari pertama Ramadhan 1441 Hijriyah. Semoga kita semua selalu diberi kekuatan, kesabaran, dan ketabahan untuk menjalani ibadah Ramadhan di tengah pandemi Corona.

Editor: Arif

 

Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds