Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Setelah Muhammad Abduh meninggal dunia, Rasyid Ridla sangat disibukkan oleh pekerjaannya selaku pimpinan majalah Al-Mannar. Ia lebih banyak berbicara dengan penanya daripada dengan lisannya. Dan ia mampu membuktikan bahwa pena lebih tajam daripada pedang, membelah dada dan mengisi kesadaran dan kemantapan iman.
Keahliannya mengupas peristiwa tanah air serta kemelut yang terjadi antara umat Islam dengan negara-negara Barat sangat memikat perhatian pembaca Al-Mannar. Gagasan pembaruannya menimbulkan semangat nasionalisme dan kemerdekaan yang diterangi oleh ajaran Islam yang murni.
Dengan tulisan-tulisan Rasyid Ridla itu, gelora perjuangan kaum nasionalis bertambah meluap. Mereka tergerak untuk memerdekakan diri dari pengaruh Inggris yang selalu mencampuri urusan dalam negara-negara Islam lainnya.
Dalam keadaan yang sudah lemah dan merosot, negara Turki memasuki kancah Perang Dunia I. Kelemahan itu berpangkal pada Sultan-sultannya yang sebagai Khalifah yang tidak memberikan keadilan kepada negara-negara Islam yang bernaung di bawah kuasanya.
Karena wibawa yang tidak mantap dan berganti-ganti negara-negara yang dikuasainya itu mengadakan perlawanan sekalipun akhirnya dapat dikuasainya kembali. Dan tiap ada persengketaan, tentu Inggris atau Prancis ikut campur tangan.
Pernah Muhammad Ali, pendiri Daulat Mesir, menggerakkan tentaranya hingga menduduki Syria dan sebagian dari Jazirah Arab. Dengan sistem campur tangan dan adu domba itu, negara-negara Barat berhasil merampas daerahnya satu demi satu.
Al-Jazair yang ditaklukkan Turki pada tahun 1519, sejak tahun 1830, jatuh ke tangan Prancis. Tunis direbut Prancis pada tahun 1882. Tripoli yang takluk kepada Turki sejak tahun 1521, pada tahun 1912 diambil oleh Italia.
Mesir yang ditundukkan oleh Sultan Salim tahun 1517 akhirnya jatuh ke tangan Inggris. Pulau Kreta jatuh ke tangan Yunani pada tahun 1912 dan setahun kemudian Inggris merebut pulau Siprus. Demikianlah, sebuah Kerajaan Islam yang besar dikeroyok oleh negara-negara Barat, wilayahnya direbut dari segala jurusan.
Pada puncak kejayaannya, wilayah kekuasaan Turki sampai ke Hongaria dan sebelah utara berbatas dengan Polandia. Pada tahun 1683, kota Winen yang menjadi pintu ke barat itu dikepungnya, namun tentara Turki dapat dipukul mundur dan terdesak terus hingga kehilangan seluruh Hongaria, Slavenia, Rumania, dan lain-lainnya.
Pada akhir abad ke-18, Kerajaan Turki senantiasa dalam keadaan bertahan. Hanya persaingan yang terjadi antara negara-negara Eropa itu sajalah yang yang menyebabkan Turki masih mampu memelihara eksistensinya di daratan Eropa.
Dalam abad ke-19, terutama selama pemerintahan Sultan Abdul Hamid, kerajaan itu bertambah lemah. Namun Sultan merasa masih besar kuasanya karena semangat dan pujian kosong yang dipompakan kepadanya oleh Syaikhul Islam Abul Huda. (Bersambung)
Sumber: Aliran Pembaharuan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani Hingga KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma.
Editor: Arif