Adakah kita mengalami kemunduran? Saya pikir belum ada yang sekehendak bebas mengatakan demikian, meski tidak ada juga pihak yang menyatakan kita sedang mengalami kemajuan. Adakah kita sedang mengalami stagnasi? Sangat mungkin demikian. Kita sedang membutuhkan uraian tentang kondisi objektif Ikatan hingga pada usia 56 tahun ini. Demikian syarat untuk memandang hari-hari depan perjuangan pergerakan IMM.
Sampai catatan ini dituliskan, penulis telah merampungkan draft buku “Meretas Batas Pemikiran: Sebuah Pengilmuan IMM”. Ya, kita sedang mengalami stagnasi, bukan sebab tidak menghapalkan visi, misi, dan tujuan IMM. Sebenarnya kita berjalan di tempat sebab sedang mengalami kekeringan metodologi; adalah susunan konsep yang dapat menjadi peta gerakan utuh ke arah mana sebenarnya Ikatan ini akan dibawa. Akibatnya, gerakan sering berjalanan tanpa arah yang jelas, juga perkaderan kerap menghasilkan pribadi kader yang parsial (tidak utuh).
Penjara Kader IMM
Kita sedang berada dalam penjara Ikatan, penjara yang dengan segenap upaya masih sangat potensial untuk kita runtuhkan. Penjara tersebut ialah: pertama, pragmatisme gerakan. Paling tidak, definisi pragamatisme gerakan ini kita hantarkan kepada pemaknaan bahwa sepertinya kita memiliki kecenderungan untuk bergerak praksis-taktis. Sekejab tidak ada yang salah, namun sebenarnya keadaan demikian sangat berpotensi untuk menegasikan nilai, prinsip, dan ideologi IMM.
Laku demikian banyak terjadi di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, desakan waktu dalam program kerja bidang, misalnya, sering menjadi dorongan untuk mengambil jalan alternatif program dan lalu melupakan pertimbangan atas nilai-nilai gerakan. Dinamika intelektual yang statis, desakralisasi nilai dan prinsip ikatan, serta jauhnya kita dari basis rakyat, nampak menjadi akar bagi munculnya pragmatisme gerakan.
Kedua, romantisme sejarah. Sepertinya kita masih sering berpulang kepada sejarah masa lampau dan tidak sedang menuju ke arah masa depan. Heroisme Mahasiswa angkatan 98 sering terngiang, bukan demi mencerahkan arah, namun sering hanya sebatas kontemplasi belaka. Ketiga, sepertinya kita sedang menaruh ideologi IMM hanya sebatas hapalan ideologi belaka, atau kita pahami hanya sebatas ideologi saja. Tak ayal, ia tak tak mewujud sebagai tafsir dan kritik, ia berhenti sebagai dogma yang seolah-olah rasional. Jika demikian adanya, maka para kader akan menjebak dirinya di dalam dogma palsu dan fanatisme buta, lalu mengejawantah menjadi deklarasi dan sekadar apologi.
Agenda Transformasi Kader IMM
Pertama bahwa diperlukan upaya transformasi kesadaran objek menuju kesadaran subjek. Makna dari tawaran ini ialah upaya untuk menempatkan kader sebagai manusia yang sadar dalam berpikir dan bertindak, saat ini kita memerlukan kader yang secara mandiri memahami posisinya, secara sadar mampu membaca realitas sosialnya dan pun dengan penuh kesadaran mengajukan tafsir dan kritik atas tubuh ikatan, realitas keummatan dan kebangsaan.
Agenda ini mula-mula dengan tidak menjadikan kaderisasi mandek sebagi hierarki subjek-objek antar senior dan junior dan atau pimpinan dengan yang dipimpin. Transformasi yang dimaksud ialah upaya untuk memandang kader sebagai subjek total, mereka yang punya pikiran sendiri, dengannya maka tugas yang lebih tua adalah sebagai fasilitator yang membantu kader untuk menemukan hakikat eksistensi dirinya sebagai subjek yang sadar.
Demikian pula bahwa pikiran tindakan mandiri kader ialah upaya untuk membentengi diri dari sifat gerakan yang ahistoris dan asosiologis. Dengannya mesti dibentuk dan diyakini sebuah kesadaran bahwa setiap generasi punya karyanya sendiri-sendiri, tugas bersama ialah mengawal agar zaman dan gerakan berjalan tanpa kehilangan pijakan ideologis, nilai, dan prinsipnya sendiri.
Kedua, transformasi dari nilai normatif menuju ilmu. Saat ini dibutuhkan interpretasi keilmuan yang argumentatif untuk menafsirkan ideologi sebagai kemungkinan untuk diterapkan. Para kader tidak boleh berhenti pada hapalan nilai-nilai normatif ikatan, namun mencoba untuk ‘menaiklevelkan’ nilai dan norma dalam datar ilmu. Hanya dengan demikian ia memiliki justifikasi rasional untuk dijalankan dalam praktik gerakan.
Sementara itu, agenda gerakan ini dapat dilakukan dengan bantuan ilmu yang luas, cakrawala pemikiran yang lapang dan pemahaman yang bersifat interdisipliner. Keberadaan upaya untuk mengilmukan IMM adalah usaha untuk memaknai sakralititas kaderisasi. Tidak berhenti pada perayaan dan ritual belaka, namun sebagai agenda dan beban intelektual yang dapat dilakukan dalam praksis gerakan.
***
Ketiga, agenda penting dan tentu berkesinambungan dengan agenda sebelumnya, yakni transformasi dari ilmu menjadi gerakan. Tentu dalam hal ini, diperlukan pemahaman mengenai strategi taktis sebuah gerakan. Sampai di sini mesti dipahami bahwa ideologi berhenti sebagai dogma bila tidak diilmukan, dan ilmu akan berhenti sebagai pemikiran bila tidak digerakkan. Karenanya, transformasi dari ideologi normatif menuju ilmu lalu strategi gerakan adalah kesatuan integral yang sama sekali tak dapat dipisahkan secara diametral.
Keempat, transformasi kritik menuju karya. Tak dapat dielakkan bahwa demonstrasi akhir-akhir ini dapat dikata tak berdampak besar bagi penentuan arah bangsa. Malah sering hanya bersifat pelampiasan emosional belaka. Di luar daripada itu, telah banyak orang-orang mengisi dinamika sosial dengan subtansi yang tidak terdidik, kita melihat, telah banyak tersebar di media sosial dan realitas masyarakat gerakan-gerakan perubahan sosial yang tidak subtantif.
IMM mesti menangkap dan membaca ini, menafsirkan keadaan namun tidak berhenti kepada kritik, IMM harus menunjukkan dirinya sebagai organisasi yang memiliki kekuatan untuk berkarya nyata, dengannya maka karya melawan karya, ide melawan ide. Ini sesungguhnya adalah tuntutan zaman, bahwa zaman yang serba kompetitif dengan segala konsekuensinya ini tak dapat berhenti hanya dalam kritik, dengan segala daya dan kemampuan kader, kita membutuhkan karya, bukan gonggongan belaka.