Buya Hamka, seorang ulama kharismatik dari tanah Minang yang namanya telah mendunia. Bukan hanya karena produktivitas beliau dalam menghasilkan karya, melainkan juga melalui perjumpaannya dengan tokoh-tokoh besar di seluruh dunia. Beliau berkelana dari satu negara ke negara lainnya, mengamati dan belajar banyak tradisi dan budaya yang berbeda. Perjumpaan dengan masyarakat yang beragam membuat beliau berwawasan terbuka, meski tetap teguh memegang prinsip agama.
Ini yang mungkin luput dari sebagian kita yang mengagumi sosok penulis tafsir Al-Azhar tersebut. Kita hanya mencontoh ketegasan beliau dalam beragama, tetapi abai untuk bersikap terbuka melihat keberagaman.
Hikmah Keberagaman dalam Buku Buya Hamka
Tegas beliau tuliskan dalam bukunya yang berjudul 4 Bulan di Amerika sebagai berikut:
“Padahal Barat amat perlu kepada Timur dan Timur amat perlu kepada Barat. Akal harus maju, itulah bantuan Barat kepada dunia. Budi dan keimanan mesti kuat dan itulah bantuan Timur. Dahulu Barat telah memberikan Socrates, Plato, serta Aristoteles, dan Timur memberikan Buddha, Isa Al-Masih dan Muhammad. Sekarang Barat memberikan kembali Hegel, Immanuel Kant, Edison, dan Marconi. Di zaman sekarang pula, Timur memberikan Mahatma Gandhi, Tagore, Muhammad Iqbal, dll.”
Pernyataan tersebut meneguhkan sikap beliau yang mau melihat hikmah dan pengetahuan dari manapun datangnya. “Al-hikmatu dhallatul mu`min”, demikian suatu ungkapan menegaskan. Spirit ini juga yang dapat kita rasakan dari catatan perjalanan Buya ke Irak. Tulisan tersebut kemudian disatukan menjadi memoar “Di Tepi Sungai Dajlah”.
Buku tersebut berisi refleksi perjalanan Buya Hamka menjelajahi Baghdad. Pembaca diajak untuk menyusuri lorong-lorong waktu tatkala Baghdad dipimpin oleh Kerajaan Babilonia, Bangsa Yunani, Romawi, Persia dan juga Islam; semuanya pernah menorehkan tinta sejarah di kota “Seribu Satu Malam”. Puncaknya adalah ketika Baghdad harus takluk oleh serangan Bangsa Mongol. Sirnalah peradaban, tinggallah kenangan.
Salah satu potret sejarah yang diceritakan oleh Buya adalah cikal bakal konflik Sunni-Syiah yang tak usai hingga kini. Memang Irak menjadi salah satu tempat perkembangan paham Syiah yang cukup pesat di dunia. Imam Husain dan banyak lagi tokoh Syiah lainnya dikebumikan di tanah Irak. Sehingga Irak menjadi salah satu ziarah wajib bagi orang Syiah, selain Mekah dan Madinah tentunya.
Nah, kehadiran makam Imam Husain di Irak mengingatkan Buya terkait tragedi Karbala yang terjadi tepat di tanggal 10 Muharram. Jika sebagian besar orang Sunni bersuka cita dalam tradisi ‘Asyura dengan berpuasa memperingati sejarah kemenangan Musa melawan Fir’aun, maka bagi orang Syiah, waktu ini merupakan peristiwa kelam yang tak dapat dilupakan.
Tragedi Berdarah di Balik Tradisi ‘Asyura
Beliau pun menceritakan tragedi berdarah tersebut yang dipelopori oleh Yazid bin Muawiyah yang kala itu menjadi khalifah. Meski seorang Sunni, Buya Hamka tidak mencoba menutupi sejarah. Memang seperti itulah kejadiannya, tatkala pasukan Yazid bin Muawiyah yang berjumlah 10.000 orang melawan rombongan Imam Husain yang tidak lebih dari 500 orang. Peristiwa “sadis” tersebut diuraikan oleh Buya:
“Memang tepat sekali pengorbanan yang telah dilakukannya untuk menjatuhkan musuhnya. Ia mengorbankan dirinya sendiri. Ia mati, hancur lumat. Kepalanya diceraikan dari badannya, diletakkan di atas talam dan dihidangkan di hadapan Yazid. Namun, sejak saat itulah, Bani Umayyah jatuh dalam pandangan dunia Islam masa itu. Kemudian, timbullah pergerakan rahasia hendak menumbangkan kekuasaannya.”
Cukup miris memang kembali membuka lembaran sejarah kekhalifahan. Tragedi Karbala yang menimpa cucu baginda Nabi Muhammad Saw tersebut menjadi salah satu bukti “bobroknya” proses kepemimpinan yang terjadi saat itu. Lantas, sebagian umat Islam saat ini mau kembali ke masa itu?
Tidak perlu menjadi Syiah untuk prihatin dengan peristiwa Karbala. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Buya, “Kami ini bangsa Indonesia, dan mazhab kami adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni), mazhab Syafi’i. Namun, kami tidak membenci zuriah Nabi Saw. Kami berziarah kemari dari tempat yang jauh karena kami pun cinta kepada Husain r.a.” Kecintaan kita pada keturunan Nabi Muhammad adalah hal yang wajar dan tidak membuat kita menjadi auto-Syiah.
Oleh karena itu, seharusnya tragedi yang telah mengorbankan keturunan Nabi ini perlu kita renungkan bersama. Sampai kapankah pertumpahan darah ini terus terjadi? Perselisihan antara Sunni-Syiah harus diakhiri dengan merajut persatuan, ukhuwah Islamiyah. Tentu kita meyakini ada hal-hal yang berbeda antara Sunni dan Syiah.
Menyikapi Perbedaan Mazhab dan Tradisi
Salah satu perbedaan yang terjadi juga diceritakan oleh Buya Hamka ketika berziarah ke makam ahlul bait. Ketika itu pemandu ziarah memimpin bacaan doa untuk diikuti oleh beliau. Di awal doa berisi pujian kepada ahlul bait, beliau masih mengikuti.
Namun, ketika sampai pada doa yang berisi makian kepada sahabat-sahabat lainnya, beliau pun tidak mengikutinya. Di akhir, beliau menyampaikan kepada pemandu agar tidak menambahkan doa yang berisi cacian kepada sahabat lainnya. Sang pemandu pun paham, karena tidak sedikit orang Sunni yang juga berziarah ke sana.
Membaca lembaran demi lembaran tulisan Buya mengajak kita untuk mau passing over, belajar dari tradisi yang berbeda dengan kita. Bahkan, saat itu beliau berencana ke Najaf untuk bertemu dengan salah seorang ulama Syiah, Sa’id al-Kasyif Ghita. Buya Hamka banyak belajar seputar filsafat Islam dari karya-karya ulama Syiah yang dipandang terbesar di zaman itu.
Namun, karena medan perjalanan yang curam dengan keterbatasan transportasi, Buya pun tidak dapat sowan ke ulama Syiah. Nampak penyesalan karena kegagalan tersebut sebagaimana beliau ungkapkan:
“Padahal, kalau saya melanjutkan perjalanan ke Najaf, pengetahuan saya akan bertambah lebih banyak tentang mazhab Syiah dan perkembangannya pada zaman baru karena dari seluruh dunia Syiah, Najaf dipandang sebagai pusat keagamaan.”
Pernyataan Buya tersebut kembali meneguhkan keterbukaan wawasan beliau. Berbeda jauh dengan kondisi kita saat ini. Alih-alih mau belajar dari tradisi Syiah, yang lantang bersuara justru menegaskan Syiah bukan Islam. Silakan dibaca, 174 halaman tulisan beliau selama di Irak, tidak sedikit pun beliau mengkafirkan pandangan Syiah. Beberapa kritik terhadap penganut Syiah yang berlebihan adalah hal yang wajar. Sebab, apapun alirannya, jika sudah berlebihan juga tidak baik, termasuk aliran Ahlus Sunnah sekalipun.
Prinsip Keimanan Buya Hamka
Bagi penulis, selalu asyik membaca catatan perjalanan Buya Hamka. Sebab, beliau menggabungkan pemahaman keagamaannya dengan realitas yang sedang dikunjungi. Beliau pun tidak sungkan untuk berkunjung ke manapun, bahkan aliran dan agama yang berbeda.
Prinsip keimanan yang sudah dipegang teguh membuat beliau merasa nyaman berjumpa dengan siapa saja tanpa perlu ada ketakutan. Boleh jadi ketakutan kita berjumpa dengan sang liyan, menjalin hubungan lintas keyakinan dikarenakan kita belum selesai dengan diri pribadi. Jika kita masih sulit untuk melihat yang berbeda, itu tandanya “dolanmu kurang adhoh”.
Editor: Zahra