“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Apa yang ada di pikiran kita ketika membaca ungkapan dari Bung Karno tersebut jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia hari ini. Seolah-olah perkataan Bung Karno tersebut menjadi kenyataan. Kebhinnekaan atau keberagaman bangsa ini sesungguhnya perlu dijaga dan dirawat sehingga menjadi kekuatan bangsa ini saat berhadapan dengan bangsa lain.
Indonesia adalah negara plural yang terdiri atas 14.572 pulau, 1.340 jenis suku, enam agama, dan 742 bahasa. Mengatur satu agama dan satu suku mungkin mudah, akan tetapi mengatur banyak suku dan agama adalah suatu hal yang sulit.
Refleksi Hari Lahir Pancasila
Hari ini tepat 1 Juni merupakan hari lahir Pancasila sesuai dengan Keppres Nomor 24 tahun 2016. Pancasila sebagai ideologi Negara telah membuktikan kepada kita bahwa ideologi ini memang menjadi sebuah ideologi yang paling tepat bagi masyarakat majemuk yang sangat besar seperti Indonesia. Pancasila sebagai spirit kebangsaan yang disusun sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan disahkan karena dianggap paling sesuai dengan karakter rakyat Indonesia.
Pancasila menjadi sebuah jawaban terhadap berbagai tantangan dalam perkembangan bangsa ini. Peringatan hari lahir Pancasila harus menjadi momen refleksi dikarenakan sudah menjadi bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia dalam merumuskan dasar negara. Namun dengan melihat kondisi hari ini, tentu kita merasakan seakan ada “spirit yang hilang”.
Pancasila sebagai ideologi dan spirit bagi masyarakat Indonesia, malah dicederai dengan berbagai praktik yang justru mengaburkan nilai luhur pancasila itu sendiri, seperti tebang pilih penegakan hukum, maraknya pembegalan, anarkisme, narkoba, prostitusi dari kalangan muda, penodaan agama, hingga permasalahan kesenjangan sosial yang terjadi di masa pandemi ini yang telah kita ketahui ada banyak sekali sektor yang terdampak khususnya di sektor ekonomi.
Mencari Spirit yang Hilang
Dalam Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengalami erosi nilai dengan memudarnya semangat keberagamaan. Padahal dalam hal ini sudah di tegaskan dalam isi dari hak asasi manusia (HAM) yang berisikan tentang hak untuk memilih sebuah kepercayaan. Bangsa Indonesia harus memahami keberagaman yang ada dan harus merawatnya, yaitu dengan mempunyai sikap egaliter dan toleran.
Munculnya gerakan-gerakan sempalan seperti sekulerisme, pluralisme, liberalisme dan yang menodai agama juga semakin menjadi kekhawatiran kita semua, terlebih tidak tegasnya pemerintah dalam menindak aktivitas penodaan agama tersebut.
Sila Kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, di mana kemanusiaan tergerus oleh pragmatisme, hedonisme dan konsumtifisme. Sehingga kemanusiaan semakin teralienasi dari ruang publik. Maraknya kasus yang melukai kemanusiaan baik kepada anak-anak, pelajar, buruh, dan para wanita.
Kekerasan, bullying, dan pelecehan seksual juga mulai berani muncul di ruang publik, tentu hal ini harus disikapi dengan serius. Jangan sampai korban kemanusiaan terus berjatuhan karena lambatnya kita dalam mengantisipasi. Topik bullying yang sedang hangat diperbincangkan saat ini adalah seorang anak penjual kerupuk dibully oleh teman-temannya. Miris sekali bukan?
***
Sila Ketiga, Persatuan Indonesia, pancasila hadir sebagai jiwa dan kepribadian bangsa yang mengingatkan bahwa bangsa Indonesia tetap harus bekerjasama dalam situasi seperti apapun. Pandemi Covid-19 merupakan kewajiban bersama bangsa Indonesia agar kita mampu memulihkan negara untuk menjalankan kehidupan dan kegiatan bernegara kembali.
Kunci dalam menghadapi suatu masalah pada hakikatnya adalah bersatu tanpa memandang perbedaan antar-golongan. Menyalahkan pemerintah tanpa mengikuti anjuran dari pemerintah tentu bukan salah satu bagian dan jiwa kepribadian dari bangsa Indonesia. Karena sejatinya prinsip dari pancasila adalah menemukan solusi melalui kerjasama bangsa Indonesia.
Sila Keempat. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, di mana spirit permusyawaratan dan mufakat sering kali ditelikung oleh kekuatan modal. Sehingga kata mufakat bukan lagi sebagai hasil dari kebijaksanaan bersama, tapi tak lebih sebagai kompensasi uang yang serba materi.
Sehingga tidak heran kalau banyak kebijakan yang dilahirkan kurang menyentuh kesejahteraan dan kebutuhan dasar rakyat banyak. Contohnya kontroversi RUU Cipta Kerja, RUU Minerba, Perpu No 1 Tahun 2020, dan masih banyak lagi. Ini tentu menjadi catatan besar bagi mereka yang berjuang di ranah politik dan pemerintahan.
Sementara Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, ini tentu belum dirasakan secara layak bagi masyarakat Indonesia. Polemik pendistribusian Bansos yang sedang dan telah terjadi saat ini sedang menghantui masyarakat. Data yang tidak valid serta kadaluarsa, koordinasi Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang kurang baik, serta di akar rumput pun mempunyai masalah klasik yakni orang yang bisa menerima bansos di indikasi mereka yang mempunyai hubungan dengan RT atau RW setempat.
Perwujudan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sejatinya merupakan perwujudan paling kongkret dari prinsip-prinsip Pancasila yang dilukiskan secara jelas dalam Pembukaan UUD 1945 dengan kalimat kerja,”mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jati Diri Bangsa
Hilangnya spirit nilai-nilai Pancasila ini kalau tidak secepatnya dipulihkan maka bisa jadi akan mematikan karakter dan nasionalisme anak bangsa yang berujung pada hilangnya jati diri bangsa. Namun tentu tak mungkin jika hanya mengharapkan peran tunggal Negara, harus ada keterlibatan semua pihak.
Pancasila adalah dasar negara, dan spirit dari nilai-nilai dasar bangsa yang harus terwujudkan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Mari bersama-sama membangun pancasila yang benar-benar menjadi sesuatu yang amat bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, adil, dan sejahtera. Semoga dengan ini dapat kita temukan kembali spirit yang hilang tersebut.