Perspektif

Refleksi Milad ke-112 Muhammadiyah: Sudahkah Dakwah Muhammadiyah Wujudkan Kemakmuran?

3 Mins read

Beberapa hari yang lalu, ketika ibadah Jumat, saya kembali menerima Buletin Jumat Kaffah. Hal ini membawa saya pada kenangan belasan tahun silam ketika buletin ini masih menggunakan nama Al-Islam. Dari Buletin Al-Islam ke Kaffah, seolah hendak menegaskan mengenai dakwah Islam yang kaffah. Tulisan ini hendak menganalisa mengenai dinamika dakwah antar harakah, terutama dengan dakwah “Kemakmuran” Muhammadiyah.

Dakwah teologis cum Ideologis 

Bagi sebagian kawan, tentu tidak asing dengan ideologi apa yang membungkus buletin Jumat tersebut. Mereka hanya mengganti merk, substansi sama. Secara narasi, ada beberapa logical fallacy yang tertulis dalam buletin Jumat ini. Bahwa semua masalah, dari masalah negara sampai rumah tangga, solusinya adalah khilafah, dan bahwa semua sistem ‘baru’ selain ajaran syariat adalah buruk. Ini bentuk simplifikasi yang perlu dikritisi. Sejarah kekhilafahan pun tak semanis yang digemborkan oleh para ideolog Hizbut Tahrir (HT). Merekalah otak intelektual dari buletin Jumat yang membumi di tengah masyarakat tersebut.

Meski pada saat yang sama, semangat dakwah aktivis HT perlu diacungkan jempol. Inilah yang perlu diduplikasi oleh ormas keagamaan lain. Ideologi HT, berbeda dengan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir yang di Indonesia dilanjutkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kelompok terakhir ini mencoba masuk ke dalam sistem untuk menerapkan syariat Islam. Pilihannya hanya dua: konsisten tegak lurus atau malah ikut arus. HT sebagai manifestasi gerakan politik Islam, mempunyai militansi yang cukup kuat. Dia konsisten berada di luar pemerintahan seraya menggaungkan apa yang selama ini dianggap benar.

Salah satunya, meski sederhana, mereka konsisten membagikan buletin Jumat tersebut. Bayangkan, dari tahun 2000-an dengan nama ‘Al-Islam’, ada ribuan buletin disebar setiap pekan, yang isunya dekat dengan masyarakat dan selama ini diabaikan oleh pemerintah. Bahkan saat ini tidak hanya mencetak buletin, tetapi juga menyebarkan versi digital. Isu kenaikan harga, pendidikan mahal, korupsi, pinjol, hingga politik global menjadi sorotan yang selalu diulas dengan tajam. 

Baca Juga  Membentengi Orang Muda dari Paham Radikalisme

Di akar rumput, mereka yang tidak melek literasi, akan mudah terbuai dengan ‘janji manis’ romantisme masa lalu. Tapi apa yang mereka lakukan itu valid dan sah di alam demokrasi. Semua bisa bersuara. Sayangnya, jarang ada narasi penyeimbang di akar rumput, khususnya dari dua ormas penting NU dan Muhammadiyah yang sering menggabungkan narasi besar, tetapi tak menyentuh hati rakyat yang sedang gusar.

Tulisan singkat ini akan mengulas betapa penting memaknai dakwah secara komprehensif, bergerak secara intensif, dengan arah yang progresif. Terutama menyambut Milad Muhammadiyah ke-112 yang mengangkat tema “Menghadirkan Kemakmuran untuk Semua”, maka sudahkah dakwah Muhammadiyah memberikan kemakmuran?

Menggagas Dakwah Kemakmuran Muhammadiyah

Ketika membaca tema Milad Muhammadiyah dengan kata kunci ‘kemakmuran’, saya teringat dengan “Teologi Kemakmuran” yang muncul di kalangan Kristen Kharismatik Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Teologi ini mengajarkan bahwa kemakmuran berupa kesuksesan dan kesehatan adalah tanda bahwa seseorang dikasihi Tuhan. Bahwa agama akan menuntun tidak hanya ketenangan spiritual, tetapi juga kekayaan finansial. Konsep ini kemudian menjadi gerakan yang membuat gereja menjauh dari semangat filantropi dan kesederhanaan.

Lantas apa yang bisa dipahami dari tema milad Muhammadiyah tahun ini? Samakah dengan teologi kemakmuran? “Menghadirkan Kemakmuran untuk Semua” sebenarnya adalah cita-cita luhur Muhammadiyah yang sejak awal diimpikan oleh Kiai Dahlan. 

Sejak awal, Kiai Dahlan mendirikan organisasi sebagai basis membangun tiga kebutuhan dasar manusia: pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Tiga nilai tersebut dibungkus dengan semangat ajaran Islam, amar ma’ruf nahi munkar. Meminjam istilah Kuntowijoyo, spirit tersebut sejatinya adalah semangat transformatif Islam dalam menjawab tantangan zaman. Karenanya dakwah Muhammadiyah haruslah berorientasi pada nilai transformatif. Tidak hanya penguatan secara aqidah dan ritual, dakwah juga harus berperan dalam ranah sosial. 

Baca Juga  Jelang Iduladha, Muhammadiyah Anjurkan Shalat 'Id Dilaksanakan di Rumah

Dakwah harus menjawab kebodohan umat, penyakit masyarakat dan kelaparan rakyat yang selama ini meronta-ronta. Jika dakwah dipahami hanya sebatas ritual di masjid, maka lambat laun umat akan menjauh dari agama. Mereka akan memilih kelompok yang memberikan jaminan kehidupan. Dakwah yang masih berkutat pada kecam-mengecam, bid’ah-membid’ahkan, akan membuat umat ini mengalami kemunduran.

Fastabiq al-Khairat Muhammadiyah dalam Berdakwah

Karenanya, kembali pada permasalahan ideologis yang digaungkan oleh sebagian umat Islam melalui buletin Jumat kaffah. Alih-alih mengecam apalagi menutup pergerakan mereka—yang sebenarnya tidak bisa, meski ormasnya bubar, tapi gerakannya makin berkobar, kita perlu ber-fastabiq al-khairat. Jika mereka pesimis dengan masa depan demokrasi, maka mampukah ormas berkemajuan menghadirkan demokrasi yang berkeadilan? 

Jadi teringat nasehat Buya Syafi’i Ma’arif, bahwa biang radikalisme yang sejati adalah ketidakadilan. Karenanya obat mujarabnya bukan dengan didakwahi saja, tetapi juga diberikan jawaban, “bagaimana anak bisa sekolah, makan dengan nyaman, tempat tinggal aman, kerja layak tanpa gangguan, dll”. Selama masih ada ketidakadilan di negeri ini, benih-benih kebencian akan terus tumbuh subur.

Jika mereka militan di masyarakat, menyebar narasi yang sangat masif, mampukah ormas lain melakukan hal yang serupa? Sebarkan buletin Jumat sembari di setiap buletin disertakan nasi bungkus. Metode inilah yang dulu dilakukan Kiai Dahlan. Beliau menduplikasi metode pendidikan sekolah Barat, rumah sakit misionaris, hingga pemberdayaan masyarakat Budi Utomo yang modern, untuk menjawab persoalan keumatan. 

Inilah dakwah berkemajuan yang perlu dikembangkan, bukan hanya dakwah dari masjid ke masjid. Dakwah harus masuk ke semua lini, termasuk turut serta mengambil narasi yang selama ini dikuasai oleh kelompok tertentu. Dakwah yang terlalu menebar pesimisme kondisi hari ini sama berbahayanya dengan mereka yang terlalu optimis di tengah carut-marut yang terjadi. 

Baca Juga  Libur Dua Hari karena Berbeda Idul Adha: Wujud Moderasi Beragama

Dakwah bilisani qawmih, melihat proporsionalitas antara ajaran Ilahi yang ideal dan realitas masyarakat yang aktual. Hingga mereka yang mendaku sebagai aktivis dakwah dapat benar-benar menyumbangkan sedikit solusi di masyarakat. Alih-alih hanya berkutat pada dua kutub ekstrem: kebencian akut pada rezim ataukah ketaklidan buta pada kekuasaan. 

Editor: Assalimi

Avatar
11 posts

About author
Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Guru SMK Muhammadiyah dan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah (STITM) Berau
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds