Perspektif

Refleksi Nilai-Nilai Pancasila dalam Al-Qur’an

4 Mins read

Tahukah kalian jika Pancasila terlahir dari rahim Sosio- Kultural bangsa dengan wasilah pendiri bangsa, seperti Ir. Soekarno, Moh Hatta, Moh Yamin, KH. Wahab Hasbullah dan lainnya.  Pancasila juga direstui oleh Tokoh Agama seperti, Kyai, Pendeta, Bhiksu dan tokoh agama lainnya.

Itulah yang membuat kita bangga karena Pancasila sebagai cerminan bahwa nusantara kita selalu menghargai kesatuan di tengah perbedaan.

Asal-Usul Pancasila

Asal mula nama Pancasila lahir dari bahasa sansekerta dari dua kata “Panca” berarti lima dan “sila” yang berarti asas. Dalam sejarahnya, Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia pertama kali termuat dalam Piagam Jakarta, yang dihasilkan panitia Sembilan, setelah melalui proses panjang.

Akhirnya Pancasila disahkan pada 18 Agustus 1946 dalam sidang PPKI, kemudian disakralkan di tanggal 1 Juni. Nilai-nilai Pancasila juga diambil dari kitab suci umat Islam yakni Al Qur’an, yang kali ini kita akan telaah Nilai-nilai Pancasila  tersebut dengan dalil Al-Qur’an dan Nilai-nilai  pemikiran Barat.

Sila Pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa’’ (Religiusitas)

Ketuhanan yang Maha Esa, merupakan suatu nilai yang memiliki esensi religius yang dimiliki bangsa Indonesia, religius juga merupakan simbol tauhid, yakni persatuan di atas Agama dan kemanusiaan.

Religius merupakan suatu sikap atau perilaku taat menjalankan agama yang dipeluknya, dengan bersikap toleran (Tasamuh) terhadap pelaksanaan ibadah lain, dan menjalin kerjasama dengan pemeluk ibadah lain.

Contoh ini sudah telah diterapkan sejak lama sebelum pancasila lahir dengan keberadaan sejarah ketika umat Islam di Kudus diajarkan oleh Sunan Kudus untuk tidak menyembelih sapi untuk menghargai Agama Hindu, sampai sekarang larangan itu tetap dipegang teguh oleh warga Kudus. Itu membuktikan bahwa bangsa Indonesia mampu bertoleransi dan mampu menjalankan keberagaman sejak dahulu. Landasan ini juga terdapat di al-Qur’an.

Baca Juga  Titik Temu antara Islam dan Pancasila

Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Katakan Allah itu Esa” (Q.S. Al-Ikhlas: 1).

Ayat tersebut menunjukan bahwa landasan pertama dalam berkehidupan di Indonesia yang pertama adalah beragama dan mengakui semuanya milik Tuhan.

Sila Kedua, “Kemanusiaan yang adil dan Beradab” (Humanisme)

Sila yang kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, atau Filsafat Barat mengatakan Humanisme. Humanisme merupakan sebuah bentuk atau nilai dan pemahaman yang berkaitan dengan individu manusia dengan individu yang lain, menekankan bahwa peran, harkat, tanggung jawab untuk menciptakan rasa peri kemanusiaan yang tidak memihak kepada siapapun dengan berlandaskan adab yang paling utama.

Sila kedua mengajarkan bahwa hakikat manusia adalah ciptaan tuhan dan yang akan selalu melayani manusia yang lain, melindungi dan mengadili dengan baik.

Contohnya kita bisa meneladani sikap presiden kita yang keempat KH. Abdurrahman Wahid beliau seorang pluralis dan religious, kebijakan yang berkaitan kemanusiaan adalah membolehkan umat Tionghoa masuk di Indonesia dan beribadah dengan nyaman dan mendorong penghapusan Diskriminasi umat minoritas Tionghoa yakni menetapkan Inpres No 6 tahun 2000 dan mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 tentang pelarangan agama kepercayaan adat cina.

Itu salah satu contoh bentuk nilai dari sila kedua dan tentu saja landasan pancasila yang kedua ini ada dalam Al-Qur’an. Firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.” (Q.S AN-Nisa: 145)

Sila Ketiga, “Persatuan Indonesia” (Integrasi)

Sila ketiga, merupakan sila yang sudah ada sebelum rumusan Pancasila disahkan. Yakni dengan adanya moto, “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu jua, sila ini mengantarkan kita kepada pemahaman tentang integrasi.

Baca Juga  Membaca Kembali Islam Yes Partai Islam No Jelang Pemilu 2024

Integrasi diartikan dengan usaha untuk menyatukan keberagaman (unity), sebab masyarakat yang multikultural kini yang memiliki keinginan yang berbeda beda harus mengutamakan yang namanya satu kesatuan.

Nilai ini mengajarkan kita, bahwa untuk selalu bersatu tanpa terpecah-belah demi melahirkan sebuah perdamaian dan tujuan bersama.

Seperti contohnya, usaha pejuang bangsa kita dalam meraih kemerdekaan yang mengadakan berbagai pemberontakan dengan penjajah. Sebagai contoh, Pertempuran 10 November, Pertempuran Ambarawa, Agresi Militer I dan II.

Tentu saja nilai juga terdapat dalam Al-Qur’an Firman Allah:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (Q.S Al-Hujurat: 13)

Ayat tersebut menganjurkan untuk kita saling bersatu tanpa berselisih dan saling kenal mengenal demi terciptanya hubungan konkret antara sesama individu manusia.

Sila Keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” (Demokrasi dan Musyawarah)

Isi dalam sila keempat adalah nilai demokrasi. Demokrasi adalah suatu tatanan atau sistem pemerintah yang pemerintahannya dari rakyat ke rakyat, istilah ini diambil dari dari bahasa yunani “demos” yang berarti  rakyat “cratein” yang berarti kekuasaan.

Maksudnya adalah sebaik-baik pemimpin adalah yang memang harus dari rakyat dan tujuan ia memimpin hanya untuk rakyat bukan untuk sekedar Hedon, Koruptif atau bahkan memperluas kekuasaan untuk dirinya sendiri.

Dalam kandungan tersebut juga ada nilai musyawarah yang maksudnya sebagai pemimpin harus membuat kebijakan untuk rakyat dan disetujui oleh rakyat (transparansi), demi terciptanya Good Clean Government (Pemerintahan yang bersih).

Landasan ini juga termuat dalam Al-Qur’an Firman Allah:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Q.S Asy-Syuro: 38)

Baca Juga  Hari Pendidikan Nasional dan Tanggungjawab Kaum Intelektual

Ayat tersebut menegaskan bahwa semua perkara itu lebih baik diselesaikan dengan musyawarah demi untuk mencapai mufakat, begitupun dengan pemerintahan yang memang-memang harus terjun dengan masyarakat, jangan mengatasnamakan saja.

Sila Kelima, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” (Sosialisme)

Nilai yang terkandung dalam sila terakhir ini adalah keadilan (Justice) diseluruh semua aspek masyarakat atau biasa disebut paham sosialisme. Sosialisme adalah teori atau sistem organisasi dan ekonomi dimana salah satu cirinya adalah sumber daya alam yang mampu dinikmati bersama secara merata.

Penjelasan tersebut menunjukan bahwa seyogyanya pemerintah memberikan fasilitas dan pembangunan secara merata tanpa pilih pilih demi menumbuhkan kemakmuran di dalam negeri baik suprastruktur atau infrastruktur.

Sila tersebut juga terkandung dalam Al-Qur’an, Firman Allah:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(Q.S An-Nahl: 90)

Ayat tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa Tuhan memerintahkan kita berbuat adil dan berbuat kebaikan, dan memberi peringatan kepada siapa pun terhadap pemerintah maupun masyarakat, karena pada hakikatnya keadilan adalah milik semua umat manusia.

Sekian, semoga bermanfaat.

Editor: Muhammad Awaluddin Al-Kirom

Krisna Wahyu Yanuarizki
6 posts

About author
Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah TulungagungMahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds