Oleh: MK Ridwan*
-212- Sejarah telah mencatat bahwa sebagai sebuah demonstrasi, gerakan 212 memang menyisakan banyak pertanyaan dan misteri yang belum terungkap. Bukan hanya karena jumlahnya yang fantastis, ataupun diikuti oleh berbagai elemen masyarakat. Namun juga karena beragamnya motivasi dan alasan peserta dalam mengikuti Aksi Bela Islam (ABI) 212 tersebut menjadikan gerakan ini menjadi salah satu fenomena paling menarik di abad 21.
Dimulai dari motivasi agama, ekonomi, bahkan politik dan eksistensi, semuanya tergabung menjadi satu tenggelam dalam lautan massa. Gerakan ini kemudian tercatat sebagai tanda telah terjadinya fragmentasi dan lunturnya otoritas keagamaan di tubuh umat Islam Indonesia.
Meskipun telah berselang tiga tahun yang lalu, fenomena 212 nyatanya masih sangat lekat diingatan masyarakat. Ini kemudian menyebabkan sebagian masyarakat berbondong-bondong berkumpul di Monas untuk berpartisipasi dalam kegiatan seremonial reuni.
Terminologi Reuni
Reuni adalah ekspresi keberlanjutan dari proses komunikasi pada suatu komunitas atau kelompok yang tidak bisa lagi terbendung untuk sekadar berjumpa melalui media. Dorongan ini menjadikan sebuah komunitas untuk mengorganisir dan berkumpul pada satu tempat untuk sekadar bereuforia dan mengenang masa lalu. Rasa rindu, kebahagiaan, haru dan semangat, melebur dan tumpah menjadi satu, tenggelam dalam dinamika kolektivitas.
Secara positif, reuni dapat menjadi ajang bersosialisasi untuk mempererat tali persaudaraan, mengembangkan networking, bertukar kebahagiaan, menjadi tempat untuk bertamasya, bahkan bisa menjadi ajang untuk mencari pasangan.
Reuni juga bermanfaat guna mengembalikan perasaan seseorang yang mungkin tadinya telah sedikit melupakan akibat terkikis waktu. Agenda reuni kemudian membangkitkan kesadaran kolektif atas suatu momentum historis yang dijadikan sebagai pijakan bersama untuk membangun kebersamaan.
Potret Reuni 212
Secara psikologis, konsolidasi reuni dibangun dari spirit identitas bahwa setiap alumni (baca: umat Islam) harus mempunyai rasa saling memiliki, senasib sepenanggungan, terikat satu dengan lainnya dan mempercayai bahwa kebutuhan umat Islam akan terpenuhi selama para alumni berkomitmen untuk terus berjuang bersama-sama dalam satu barisan yang kokoh.
Pertanyaannya kemudian adalah apa yang mendorong Para Alumni (PA) 212 untuk mau menguras tenaga, pikiran dan finansial untuk berkumpul menyelenggarakan reuni 212? Benarkah hanya karena faktor agama?
Ketika kita mencermati parade reuni 212 dari tahun ke tahun, kegiatannya pun hanya begitu-begitu saja, monoton. Berlangsung secara seremonial yang diisi dengan pidato-pidato politik-keagamaan dan diringi dengan nyanyian serta teriakkan takbir! Dimeriahkan dengan kegiatan selfie maupun grufie yang memeriahkan dunia media sosial.
Model pelaksanaannya pun lebih banyak monolog daripada dialog, sehingga meniadakan proses interaksi timbal balik dan kemungkinan pengembangan wacana kritis dan analitis. Model kegiatan seperti ini dalam filsafat pendidikan hanya menempatkan peserta sebagai objek dan memungkinkan pada gejala keberagamaan ekstase yang paliatif.
Membaca Ulang Agenda Reuni 212
Aksi reuni yang setiap tahunnya digelar memberikan legitimasikepada kita bahwa sejatinya aksi 212 bukanlah semata-mata gerakan keagamaan (religiusitas) atau sekadar forum pengajian. Tetapi lebih dari itu, bahwa aksi 212 merupakan agenda sosial-politik dalam usahanya mengubah lanskap perpolitikan di Indonesia.
Aksi 212 maupun reuni 212 tidak bisa dikatakan sebagai murni gerakan keagamaan semata. Lebih dari itu, reuni 212 sengaja dikemas untuk memberikan citra kekuatan politik umat Islam yang secara de facto adalah mayoritas dan harus mengontrol jalannya negara ke depan.
Pagelaran festival reuni 212 memberikan legitimasi bagi gerakan Aksi Bela Islam (ABI) 212 atas wacana dominan yang berhasil diproduksi. Atau setidaknya memenangkan kontestasi bahwa mereka yang berada di tengah lautan manusia untuk “membela Islam”, memiliki sebentuk kepuasan spiritual tersendiri.
Betapa tidak mengherankan, aksi yang begitu besar dapat dilakukan dengan tertib dan tanpa menyisakan sampah adalah sebuah kemenangan dalam melawan wacana atau tuduhan tentang ancaman kekerasan dan polemik makar.
***
Narasi inilah yang kemudian dibangun untuk menopang pagelaran-pagelaran reuni 212. Bahwa kemenangan umat Islam dalam gerakan Aksi Bela Islam (ABI), perlu dirayakan dan disemarakkan di seantero Indonesia.
Inilah yang di sebut oleh Antonio Gramsci sebagai “war of position” atau perang posisi yakni memberikan ruang gerak bagi politik identitas di hati masyarakat dan menjadikannya sebagai harapan baru.
Argumentasi ini bisa didukung misalnya dengan fakta-fakta bahwa gerakan 212 tidak diorientasikan pada agenda revolusi, kudeta, maupun perubahan politik jangka pendek. Meskipun kita bisa melihat latar belakang gerakan tersebut adalah tuntutan pemenjaraan Ahok. Namun itu hanyalah bumbu-bumbu sentiman agama yang sengaja dikemas untuk kepentingan praktis konsolidasi massa.
Parade reuni 212 di setiap tahunnya kembali lagi bisa menjadi unit analisis penting bagi kita bahwa sebenarnya yang ingin dicapai oleh gerakan 212 adalah menancapkan pengaruh di masyarakat.
Tujuan utama gerakan 212 bukanlah mengendalikan negara secara pragmatis, tetapi melebihi batas-batas ruang dan waktu. Yakni menghegemoni masyarakat untuk memberikan harapan dan jalan baru bagi perpolitikan di Indonesia dalam jangka panjang yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk menaklukkan negara.
Sehingga, kita bisa menilai bahwa aksi 212 dan diikuti dengan reuni 212 setiap tahunnya adalah rencana berjenjang dalam menggalang solidaritas umat Islam untuk menjadi kekuatan baru Islam di ruang publik sebagai legitimasi politik identitas. Inilah cara stretegis dalam merebut hati masyarakat dan membangun basis kekuatan dari tengah-tengah masyarakat.
Karenanya, konstelasi pertarungan ini harus menghasilkan ruang gerak, suatu posisi paling berharga di mana dapat mengakses sumberdaya yang memungkinkan untuk mobilisasi massa dalam skala yang lebih besar.
Ambiguitas Reuni 212
Terlepas dari heroisme aksi dan kerapian strategi, ada satu hal yang menarik dari reuni 212 tahun ini. Yakni jika benar agenda tersebut didorong oleh spirit keagamaan yang kuat dan menjadi tolak ukur ekspresi ketaatan, mengapa dari tahun ke tahun angka partisipasi justru menyusut?
Secara kasat mata, kita bisa membandingkan. Misalnya jumlah massa yang mampu dimobilisasi ketika aksi 212 ataupun reuni 212 di tahun 2017 dan 2018 masih jauh lebih banyak dibanding angka partisipasi reuni di tahun 2019.
Menyusutnya angka partisipasi ini apakah disebabkan oleh absennya figur karismatik Habib Rizieq Shihab (HRS)? Atau justru disebabkan oleh kesadaran umat Islam atas kejenuhan agenda tersebut yang notabene tidak menghasilkan apapun dan dianggap sebagai bentuk foya-foya belaka? Ataukah mungkin karena arus mobilitas politik nasional yang sedang surut, sehingga para pemangku kepentingan tidak perlu ngoyo woro dalam memobilisasi massa dalam jumlah yang besar? Inilah segudang misteri yang menyisakan kajian lebih lanjut untuk mengungkap adanya ambiguitas dalam parade reuni 212 di setiap tahunnya.
Spirit Kolektivitas yang Positif
Terlepas dari agenda setting politik, kita bisa memberikan apresiasi yang cukup besar terhadap agenda reuni 212 maupun Aksi Bela Islam (ABI). Selama kegiatan-kegiatan ke depan bernada positif dan produktif serta menghasilkan kreativitas baru, baik berupa gagasan pemikiran maupun aksi-aksi sosial.
Karena, dorongan atau spirit kolektivitas yang luar biasa ini kemudian bisa menggerakkan ratusan ribu orang untuk kembali berkumpul di satu titik dalam rangka menyalurkan kerinduan, adalah potret yang langka.
Yang terpenting adalah, spirit kolektivitas tersebut tidak diarahkan pada penggiringan wacana terhadap paradigma teologi kebencian kepada kelompok lain. Karena seharusnya kebersamaan atau spirit kolektivitas dapat menciptakan dinamika inklusivitas dan pembangunan harmonisasi. Bukan justru sebaliknya, yakni mengecam bahwa orang-orang yang tidak mengikuti kegiatan reuni 212 dituduh sebagai pribadi yang tidak memiliki kepedulian terhadap agama Islam. Sembari menganggap bahwa mereka yang menghadiri reuni 212 adalah kelompok yang paling salih, lebih peduli, dan rela mengorbankan apapun demi tegaknya agama Islam di Indonesia.
Pancasila sebagai Benteng
Akhirnya, kita perlu menekankan bahwa di samping menguatnya politik identitas, dibutuhkan kolektivitas bersama dalam memahami dan mensyukuri pluralitas bangsa Indonesia. Lalu menjadikannya sebagai modal sosial bagi terciptanya Indonesia yang sejahtera, kolaboratif, dan berkeadaban.
Kuncinya, Pancasila sebagai ideologi bangsa harus selalu dipahami dan dilaksanakan secara jujur dan bertanggungjawab guna meminimalisir kecenderungan politik identitas negatif-destruktif yang dapat meruntuhkan tatanan dan tenunan sosial bangsa Indonesia.
*MAF MAARIF Institute for Culture and Humanity, Alumni Qur’anic Studies IAIN Salatiga