IBTimes.ID – MAARIF Institute menyelenggarakan webinar dengan judul “Refleksi Akhir Tahun 2021: Tentang Kebebasan Beragama, Toleransi dan Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia”. Kegiatan webinar yang bertujuan untuk merefleksikan isu-isu aktual sekitar kebebasan beragama, toleransi, dan kekerasan seksual di tahun 2021 tersebut dilaksanakan pada hari Jumat (31/12).
Berbagai narasumber hadir untuk memberikan perspektif sekaligus refleksi terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di tahun 2021. Mulai dari Prof. Alimatul Qibtiyah, Ph.D (Guru Besar Kajian Gender Fakultas Dakwah Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), Yulianti Muthmainah (Ketua PSIPP ITB AD Jakarta), Muhammad Isnur (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Usman Hamid, S.H., M.Phil. (Yayasan Amnesty Internasional Indonesia), Halili Hasan (Direktur SETARA Institute), dan Prof. Dr. Musdah Mulia (Penulis Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis).
Acara webinar refleksi yang dimoderatori Moh. Shofan (Direktur Program MAARIF Institute) ini diawali dengan pengantar dari Abd Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif MAARIF Institute. Rohim menyebut bahwa apapun yang terjadi baik-buruknya ataupun hitam-putih yang terjadi di Indonesia adalah mencerminkan bagian dari Indonesia.
“Jadi, kita tidak akan menimpakan kesalahan kepada siapapun atau orang lain, karena pada dasarnya saat kita menunjuk seseorang dengan empat jari yang lain, sesungguhnya menunjuk diri kita sendiri,” jelas Rohim.
Alimatul memaparkan berbagai data-data yang dipresentasikan untuk merefleksikan kasus-kasus isu kekerasan terhadap perempuan untuk refleksi.
“Kekerasan terhadap perempuan naik hampir dua kali lipat dari tahun 2020, hal ini dikarenakan kesadaran untuk speak up meningkat dan realitas kasus yang ada memang membanyak,” papar Alimatul.
Lebih dari itu, Yulianti menyetujui pemaparan data yang telah dipresentasikan oleh Alimatul. Yulianti menambahkan bahwa pada awal masa COVID-19, seruan-seruan untuk memakai masker memang ditujukan sebagai bagian dari tindakan preventif. Di sisi lain, jika hal ini dikaitkan dengan isu perempuan dan kebebasan beragama, ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab seolah-olah membuat tembok besar untuk diproyeksan sebagai pembandingan bahwa sejatinya perempuan itu memakai cadar.
“Toh, masker juga menyelamatkan dari COVID-19. Jadi narasi tersebut disengaja untuk dibenturkan, dan lagi-lagi yang paling mudah dilihat soal identitas adalah tubuh perempuan. Sehingga seolah-olah perempuan yang bercadar adalah orang yang berIslam paling kaffah,” ujarnya.
Pada refleksi isu kebebasan beragama dan berkeyakinan, Halili menyatakan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan berkaitan dengan demokrasi.
“Pelanggaran KBB terus terjadi, in line (sejalan) dengan regresi demokrasi,” ujar Halili.
Selain itu, Usman berpendapat untuk merefleksikan tahun 2021 sebagai fenomena di mana penyelamatan kehidupan manusia dari wabah COVID-19 memuluskan bagi sejumlah negara untuk memanfaatkan alasan pandemi dalam membatasi dan mengekang kebebasan, termasuk dalam hal ini adalah kebebasan beribadah.
“Karena mereka (pemerintah) berusaha menahan persebaran virus di dalam maupun di luar perbatasan di wilayah mereka, pemerintah kemudian merasa perlu untuk melakukan pembatasan dalam hal kebebasan bergerak,” ujar ungkap Usman.
Musdah Mulia menyatakan secara tegas bahwa temuan-temuan indeks demokrasi dari tahun 2007 sampai tahun 2020 mengalami penurunan drastis.
“Terutama jika kita berbicara demokrasi dan pemerataan, pemerintah itu sungguh-sungguh melakukan pengkhianatan terhadap konstitusi negara kita. Karena di dalam indeks demokrasi itu terlihat betul ya pemerintah tidak melakukan upaya-upaya yang signifikan di dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia yang merupakan bagian penting dari penegakan demokrasi,” tegas Musdah.
Reporter: Muhammad Nauval El Ghifari/Yusuf