Inspiring

Konsep Menjalani Kehidupan ala Hasan al-Bashri

3 Mins read

Hasan al-Bashri – Sejak manusia dapat berpikir bebas, tindakan-tindakannya dalam berbagai hal yang tidak berbatas frekuensinya. Mereka pun lambat laun menyadari bahwa eksistensi mereka di dunia ini adalah keberadaan yang sifatnya sementara, dan itupun bagi mereka yang menyadari.

Kemudian dengan perkembangan dunia yang tiada henti, membuat mereka bekerja lebih keras demi mendapat pengakuan. Sehingga terkadang mereka terperdaya oleh perilaku yang berlandaskan sifat duniawi, di mana sifat ini tanpa mereka sadari berpengaruh pada diri dan orang-orang di sekitarnya.

Eksistensi Manusia di Medsos

Sosial media yang menawarkan beragam inovasi untuk menunjukkan eksistensi diri semakin marak terjadi. Hal itu dapat kita temukan pada postingan atau feed tertentu di sosmed. Pada awalnya ingin menyampaikan niat yang positif sebagai wujud inspirasi, tetapi di sisi lain, malah membuat iri hati orang yang melihatnya.

Mereka merasa hidup pas-pasan, selalu merasa kurang dan tidak percaya diri. Pada akhirnya, mereka hanya dihantui oleh bayang-bayang idealis yang mengantarkan mereka pada terkikisnya diri yang autentik.

Dari sebab-sebab tersebut, menimbang kembali sifat keterlenaan duniawi. Perlu kita ketahui bahwa perilaku ini telah menjadi problem kesejarahan yang terus berulang. Tiada hari tanpa menatap dan bercengkerama dengan dunia, karena manusia sejatinya hidup di dalamnya.

Pada akhirnya, manusia mau tidak mau menerima pilihan; berserah diri atau menjadi orang yang berambisi pada takdir? Tetapi, ada cara yang dapat meminimalisir keadaan tersebut, yaitu dengan memahami konsep zuhud ala Hasan al-Bashri.

Sosok Hasan al-Bashri

Hasan al-Bashri merupakan seorang sufi ternama yang mempelopori zuhud. Baginya jalan menuju tingkat kesempurnaan tertinggi (ma’rifat) ialah dengan meninggalkan keterlenaan pada dunia, melalui jalan al-Khauf wa al-Raja’ sebagai thariqah utama menjadi seorang sufi. 

Baca Juga  Obituari Haji Paryadi (3): Sufi Berbaju Korpri

Ia membenci sikap kalangan atas Bani Abbasiyah yang hidup berfoya-foya. Sementara teolog-teolog dari kalangan Mu’tazilah memandang Hasan al-Bashri sebagai pendiri mazhabnya Amr bin Ubaud dan Wasil bin A’ta adalah dua diantara murid-muridnya. Kezuhudannya ini didasari oleh aspek historis yang mencerminkan situasi sosial-politik Islam pada awal abad ke-2 H yang semakin meluas dan mengubah sejarah yang fenomenal pasca Nabi dan sahabat. Sehingga situasi sosial-ekonomi makin mapan selaras dengan masyarakat yang kehilangan sisi rohaninya (M. Arifin, 2008, 23-24).

Dari fenomena di atas, memberi semangat para sahabat, tabi’in dan tabi’i tabi’in untuk beribadah dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan Nabi, kemudian mereka mencoba menjalani kehidupan zuhud.

Hasan al-Bashri: Al-Khauf wa al-Raja’ sebagai Konsep Menjalani Kehidupan Manusia

Ajaran zuhud Hasan al-Bashri, mengajarkan kita untuk selalu menyeimbangkan diri diantara kehidupan dunia dan akhirat. Al-Khauf wa al-Raja’ menjelaskan tentang bagaimana posisi manusia dalam menjalankan kehidupan, khususnya saat mereka menerima takdir mereka dalam suka maupun duka.

Khauf memiliki arti takut, takut terhadap murkanya Allah. Pada hakikatnya khauf terjadi karena pengenalan dan cinta kepada Allah yang mendalam. Sehingga ia merasa khawatir jika Allah melupakannya atau takut kepada siksa-Nya.

Namun, dengan adanya khauf kita dapat menyadari dosa-dosa dan perbuatan maksiatnya.  Selain itu, dalam konsep khauf, Allah tidak hanya bersifat Yang Maha Kuasa, Yang Maha Besar dan Sang Pencipta alam semesta dan seisinya. Namun, khauf memiliki kedekatan dengan sifat Rahmah Allah. Dalam artian, seorang meskipun ia memiliki dosa sebanyak buih di lautan, ia masih diberi rahmat oleh Allah Swt. Terlepas dari rasa takut atau khauf-nya akan keterlenaannya pada kehidupan dunia.

Sedangkan raja’, memiliki pengertian perasaan gembira akan karunia Allah Swt, dan berharap mendapat pemberian-Nya. Ini juga disertai dengan sikap percaya akan kebaikan Allah Swt.

Baca Juga  Saintifikasi Agama: Dari Debat Pemikiran Hingga Debat Pemahaman

Imam Qusyairy mendefinisikan raja’ sebagai keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya, terjadi di masa yang akan datang. Sebagaimana halnya khauf, yang berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa depan. (Muzakkir, 2012, 101). Raja’, dalam hal ini berkaitan dengan usaha.

Melalui al-Khauf wa al-Raja’, Khauf hadir sebagai ketakutan akan unsur duniawi, sehingga takut akan adzab Allah. Sedangkan raja’ adalah pengharapan yang dilandasi rasa syukur. Sehingga manusia ketika dihadapkan oleh penderitaan berupa musibah, ia akan bangkit dengan usaha-usahanya, karena dia yakin selain Allah Maha Kuasa dan Maha Perkasa.

Ia juga memiliki sifat Pemaaf, Pemurah dan Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya. Pendosa diberi rahmat oleh Allah, tetapi juga berharap supaya dapat melewati ketakutannya dengan pengaktualisasian kebaikan melalui ikhtiar.

***

Dari penjelasan mengenai khauf dan raja’ tersebut, keduanya ibarat dua sayap burung, yang dengannya manusia dapat menjalani kehidupannya dengan sempurna. Keduanya harus senantiasa menyatu dalam diri seorang mukmin untuk menyeimbangkan hidupnya tetap istiqomah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya. (Muzakkir, 2012, 106-107).

Kesalehan memengaruhi seseorang, tetapi bukan berarti kita tidak memerlukan dunia. Apabila ingin mendapat ketenangan, hendaknya kita tidak condong pada salah satunya. Dalam kata lain, seimbang saat berada diantara keambisian dan ketawakalan.

Melalui khauf, seseorang yang melakukan perbuatan tercela dan mendapat musibah, dia akan berserah diri atas perbuatannya. Dirinya merasa terlempar dan bersedih hati, ia akan menyerahkan segalanya pada takdir.

Namun, ingatlah bahwa Allah tidak memberi kesulitan yang tidak sepadan dengan kesanggupan hambanya. Manusia masih memiliki harapan untuk bangkit dan tidak mudah menyerah terhadap takdir.

Editor: Saleh

Baca Juga  Al-Jubbai: Pertaubatan yang Tidak Sah
Ilmy Firdaus Hafidz
3 posts

About author
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *