Perspektif

Relevansi Diskursus Lockdown (Wilayah) untuk Pandemi Covid-19

6 Mins read

Sudah banyak artikel yang membahas tentang bagaimana daya dukung fasilitas kesehatan kita untuk membendung Pandemi Covid-19. Sebagaian besar sudah bernada sama. Mengajak kita benar-benar disiplin dan penuh tanggung jawab untuk melakukan #SocialDistancing atau menjaga jarak. Selain itu juga ajakan untuk tetap di rumah jika tidak ada keterdesakan untuk keluar rumah. Saya sungguh berharap ini dijalankan dengan disiplin.

Terlepas dari itu semua, sektor informal yang masih besar di Indonesia membuat kebijakan pemerintah ini nampaknya sekedar formalitas. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019 mencatat, sektor informal mendominasi jenis pekerjaan di Indonesia. Pada Februari di tahun yang sama tercatat sebanyak 74 juta jiwa dengan usia 15 tahun ke atas bekerja pada sektor ini. Sedangkan pendudukan yang bekerja di sektor formal hanya 55,3 juta jiwa.

Ini yang menjadi pilihan sulit bagi pemerintah jika memilih opsi full lockdown. Sektor formal pun juga mayoritas di sektor swasta yang sangat punya otonomi penuh dalam sistem pengupahan. Soal ini pemerintah seperti masih menghitung. Entah sampai kapan. Menurut saya, pilihannya memang sulit tapi bisa dipilih dengan beberapa opsi. Salah satunya daerah dengan warna merah (red zone) wajib menerapkan lockdown. Sebut saja Jakarta sebagai episentrum penyebaran utama. Ini tidak sukses tanpa dukungan semua pihak. Termasuk sektor swasta dan masyarakat. Sebelum terlambat.

Sekarang opsi lockdown nampaknya belum dipilih. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Doni Monardo menjelaskan bahwa opsi tersebut belum dipilih untuk mengatasi penyebaran virus Corona di Indonesia.

Masalah lockdown itu tidak usah lagi kita bahas. Kita harus patuh dengan keputusan pemerintah pusat. Bapak Presiden tidak akan memberikan status lockdown, cukup dengan social distancing (pembatasan interaksi sosial),” Doni Monardo usai rapat terbatas dengan presiden lewat Video Conference, Kamis, 19 Maret 2020.

Baik sampai disini sudah jelas. Namun dengan perkembangan kasus dan adanya beberapa efek sosial dan ekonomi maka mulai kemarin terjadi eksodus mudik. Pulang ke kampung halaman oleh para pekerja dari episentrum wabah di Jakarta. Beberapa daerah yang menjadi sasaran arus mudik ini di antaranya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sampai beberapa kasus yang kemudian meningkat di beberapa daerah tersebut, kemudian mulai ada penularan lokal (local transmission) selain juga diakibatkan oleh kasus impor (imported case).

Tentu inilah mengapa para ahli kesehatan mendesak pemerintah untuk menerapkan lockdown maupun opsi partially lockdown. Walaupun nampaknya alasan akan terjadi chaos atau penjarahan masih menjadi bahan sanggahan yang menguatkan kenapa pemerintah tidak memilih opsi ini. Bagi saya sudah cukup di sini saja. Mari saatnya melihat kapasitas riil kekuatan Nakes kita di lapangan.

Saya tidak hanya melihat konteks Jawa sebagai episentrum. Tetapi melihat Indonesia sebagai bagian integral sebuah bangsa. Yang tumpah darahnya kita bela dari Sabang sampai Merauke. Dalam konsep equity dan equality semuanya sama-sama dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun saya harus katakan kita harus bersiap untuk setidaknya melakukan lockdown khusus pulau Jawa. Kenapa? Ini alasan saya.

Baca Juga  Momentum Muhammadiyah, MUI, dan NU Mempertemukan Agama dan Sains

Akses Pelayanan Kesehatan Masih Problematik

Sampai saat ini distribusi tenaga kesehatan masih menjadi konsen yang harus segera dipecahkan. Apakah sudah ada upaya untuk menangani ini? Sudah. Pemerintah banyak melakukan beberapa program untuk mempersempit jurang akses pelayanan kesehatan.

Nusantara Sehat, WKDS (Wajib Kerja Dokter Spesialis), PTT, dan lainnya. Namun permasalahan ini kebijakan sebagai sebuah kebijakan reaktif untuk menutup celah kesenjangan pelayanan. Tapi belum menyentuh akar persoalan. Tidak heran kemudian kebijakan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis bagi para calon dokter spesialis ini kemudian digugurkan oleh Mahkamah Agung.

“Mengabulkan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dari pemohon tersebut,” demikian bunyi putusan MA yang dibacakan ketua majelis hakim Supandi, seperti dilansir Kompas.com dari laman Mahkamah Agung, Selasa (5/11/2019).

Banyak tantangan untuk membuat kebijakan kesehatan yang berkeadilan. Rentang geografis yang luas, dan tantangan sebagai negara kepulauan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah. Namun untuk itulah pemerintah dan negara hadir. Jika tidak ada baiknya kita melakukan amandemen UUD 1945. Tentu tidak begitu bukan.

Variabilitas Ketersediaan Tenaga Dokter Sangat Lebar

Variabilitas ketersediaan tenaga dokter yang sangat lebar. Semakin banyak jumlah penduduk, semakin menarik bagi para tenaga dokter untuk berpraktik di provinsi tersebut. Semakin padat penduduk, semakin menarik bagi para tenaga dokter untuk berpraktik di provinsi tersebut. Semakin banyak rumah sakit, semakin menarik bagi para tenaga dokter untuk berpraktik di provinsi tersebut. Semakin banyak Puskesmas, semakin menarik bagi para tenaga dokter untuk berpraktik di provinsi tersebut (Laksono, A. D., Ridlo, I. A., & e., 2019)

Secara umum distribusi Dokter di Indonesia dapat dijelaskan dalam gambar dibawah ini.

Nah, kemudian bagaimana jika kita bandingkan dengan rasio per 100.000 populasi. Maka nampak ketimpangannya. Bahkan di Jawa jika dilihat dari rasio jumlah dokter masih kurang. Rasio diukur dengan perbandingan kebutuhan dokter dibandingkan jumlah penduduk. Jawa sebagai pulau dengan penduduk paling padat di Indonesia ternyata belum cukup memenuhi kebutuhan dengan ukuran kuantitas. Sementara beberapa daerah seperti Papua, Maluku ternyata jika dilihat mempunyai rasio lebih baik.

Apakah ini memperlihatkan bahwa kehadiran dokter di Papua memadai? Hmmm. Bisa jadi ini adalah sebuah ‘false positif‘. Ada satu faktor dari sekian faktor yang perlu diperhatikan yaitu bentang ruang dan letak keterjangkauan fasilitas pelayanan kesehatan. Ini menjadi penting bukan saja hanya membandingkan rasio. Angka itu bisa jadi menipu.

Baca Juga  Mengharmonikan Otak Barat dan Intuisi Timur

Logikanya, Katakanlah di Papua terdapat dokter yang cukup memenuhi perhitungan rasio (fig.2) lalu apakah penyebarannya merata? ada di gunung atau lembah? bukan menumpuk di Kota? Lalu pertanyaannya lanjutannya bagaimana orang yang sedang sakit atau mau melahirkan mudah mengaksesnya? Bandingkan dengan Jawa yang rasionya memang kurang. Tapi saat ini kita bisa mengakses pelayanan lebih mudah daripada saudara kita di timur pulau Jawa. Ini soal keadilan. Rasio hanya berhenti pada kesetaraan kuantitas (equality), tetapi yang perlu didorang adalah bagaimana pelayanan kesehatan yang berkeadilan (equity) dengan kembali menata distribusinya. Istilah yang dipakai adalah redistribusi tenaga Dokter (Kesehatan).

Hubungan dengan COVID-19?

Lalu bagaimana korelasinya?. Salah satu hal yang membuat penanganan pasien terkonfirmasi positif menjadi tidak berjalan dengan baik adalah lumpuhnya jalur pelayanan kesehatan bahkan sistem pelayanan kesehatan disebuah negara. Kita sudah sangat tahu bagaimana Italia, Iran, dan beberapa negara lainnya yang gagal merespon pandemi ini.

Padahal jika dilihat fasilitas kesehatan di Italia misalnya dimungkinkan lebih baik. Tapi apa yang terjadi. Sistem Kesehatan Nasional mereka bisa dikatakan sedang ada dijurang disfungsi sistem. Hingga bantuan dari negara lain seperti Cina sampai Cuba datang pun belum cukup mampu menahan laju perkembangan Covid-19.

Jika kita hubungkan data yang divisualisasikan melalui gambar distribusi Dokter di gambar sebelumnya dengan gambar dibawah ini barangkali perlu ditelaah bahwa saat ini pulau jawa sebagai episentrum penyebaran Covid-19. Khususnya wilayah DKI, Banten, Jabar, Jateng dan Jatim. Besaran digambarkan oleh besaran ‘node’ dalam peta menunjukkan jumlah kasus yang mewakili kasus konfirmasi. Berikut data yang diambil dari https://www.covid19.go.id/situasi-virus-corona/ per tanggal 27 Maret 2020.

Dapat dijelaskan DKI Jakarta saat ini bisa dikatakan sebagai pusat wabah (episentrum Covid-19). Jika dilihat, pola penyebaran Covid-19 dapat dikatakan sebagai fast pandemic. Kategori ini ditandai dengan penyebaran yang masif dan kondisi sistem pelayanan kesehatan rawan lumpuh karena undercapacity. Sehingga dari gambar diatas maka ‘node’ mempunyai pola penyebaran mengikuti pola perpindahan manusia. Semakin tinggi mobilitas maka taruhannya adalah semakin tinggi kasus konfirmasi. Inilah yang berhubungan dengan sejauh mana kekuatan sistem kesehatan di sebuah negara bisa bertahan.

Saya tidak bisa membayangkan jika Papua yang hanya mempunyai 60 Ventilator dan tenaga kesehatan yang terbatas (walaupun rasio lebih bagus) kemudian bentang wilayah seperti itu harus berjuang menghadapi angka eksponensial Covid-19. Pasti sistem kesehatan disana bisa tumbang dengan cepat.

Kemudian kita lihat besaran dalam persentase per provinsi, DKI Jakarta tercatat 58,7% kasus hampir separuh dari keseluruhan kasus yang terkonfirmasi berada di DKI Jakarta. Lalu kemudian dilihat dari death rate maka fluktuatif namun jika dibandingkan dengan dunia maka kasus kematian Indonesia masih tergolong tinggi. Kasus Baru Per hari ini yang lebih membuat perhatian dan seharusnya pemerintah lebih konsen melihat ini.

Baca Juga  Tesla Secures More Than $1.4 Billion in Financing from China

Dari grafik gambar 5. dapat dijelaskan bahwa penambahan kasus baru setiap hari menunjukkan kenaikan per harinya. Bagaimana dengan penanganannya? Bisa dipastikan dengan peningkatan kasus baru ini mempunyai potensi signifikan terhadap kapasitas dan kapabilitas layanan kesehatan (terutama di RS Rujukan). Saya belum masuk pada bahasan bagaimana kemampuan rumah sakit tersebut? bagaimana APD Nakesnya? Pelik.

Saya yakin pemerintah melihat angka dan visualisasi ini sudah menyiapkan langkah taktis. Namun semakin hari opsi LOCKDOWN WILAYAH menjadi sangat beralasan. Jika tidak episentrum akan tetap mengirimkan sekian banyak kasus baru, karena ketidakjelasan konsep pembatasan ruang gerak komunal. India bisa jadi contoh, walaupun berat. Tapi skenarionya lebih bisa diukur.

Cukupkah Dokter di Seluruh Indonesia Menahan Laju Covid-19?

Jika melihat kondisi rasio saja saya yakin sistem kesehatan kita akan jebol. Sudah pasti. Jika kita Indonesia tidak benar-benar serius mengikuti pendapat para ahli kesehatan dan lebih memilih aspek politik.

Saya tidak muluk berbicara soal kapasitas ruang ICU dan Isolasi di Rumah Sakit per Wilayah. Silahkan dilihat realitas di lapangan. Termasuk ketersediaan Ventilator.

Logikanya, Apa perlu kita beli sekian ratus ventilator? atau membuat rumah sakit darurat seperti Wuhan? Hmmm. Sangat tidak nyaman bagi Menteri Keuangan jika ditanya seperti itu. Maka opsi lockdown wilayah (episentrum) adalah cara yang menurut saya paling logis yang bisa diambil pada kondisi rasio tenaga dokter (medis) per 100.000 penduduk di pulau Jawa yang terbatas.

Pilihan itu nampak paling sulit secara sosial dan ekonomi, namun kembali pada tingkat kepentingan. Tidak bisa dipilih.

Mau pilih ekonomi (macet) atau kesehatan (terjamin)?

Tapi satu hal, secara ketenagaan jelas kita bermasalah (lihat rasio di gambar 2) kemudia ada barierr soal fasilitas pelayanan. Tolong ini dipikirkan. Kalau tidak maka gerakan #SocialDistancing yang juga berat dilakukan akan semakin kehilangan tajinya karena kasus baru semakin naik dan dukungan fasilitas kesehatan turun drastis. Rapid Test pun nampaknya hanya sekedar kebijakan setengah hati karena kapasitas pelayanan kesehatan ‘ambrol’.

Sebagai masyarakat. Tolong dipahami, saat anda berdiam diri di rumah, dan bagi yang masih dinas diluar rumah menjadi jarak dan disiplin cuci tangan pakai sabun (air mengalir) akan sangat menjadi tindakan heroik bagi teman-teman kita di layanan kesehatan. Jangan biarkan mereka berjuang sendirian.

Untuk para pemimpin daerah, lakukan komunikasi massa yang efektif dan menganut evidence-based health policy. Tanggalkan sejenak arena Pilkada tahun depan. Toh, kita juga harus berjuang bersama jika ingin Pandemi ini cepat berlalu. Jika tidak anda sudah pasti tidak dapat berkampanye seperti dulu lagi.

Semoga kita cepat melewati bencana ini.


Editor: Yahya FR
Selengkapnya, klik di sini
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds