Perspektif

Repotnya Guru di Masa Wabah

5 Mins read

Saya sedang mengerjakan sebuah tulisan ketika sebuah pesan WhatsApp masuk dari seorang teman guru. “Waduh maaf Miss Lovie, pesannya kelewat nggak terbaca. WAG sekolah aktif terus nih, aku harus pantau, takut nanti ketinggalan tugas dan nggak tahu harus ngapain. Maaf ya Miss”. Pesan ini memberi gambaran betapa repotnya guru di masa wabah.

Repotnya Guru

Saya agak kaget juga lalu mengecek chat terakhir saya dengannya. Sudah tiga pekan yang lalu ternyata, astaga, dan baru terbaca hari ini. Saya saja sudah lupa kalau saya menulis pesan padanya.

Pesan terlambat dari teman saya tadi tentang lebih repotnya guru bekerja di rumah daripada di sekolah, membuat saya penasaran. Bagaimana dengan teman-teman guru saya yang lain yang masih aktif mengajar di sekolah?

Saya sudah tidak aktif lagi sebagai guru di sekolah. Setelah dua puluh dua tahun mengabdi, tahun lalu saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Jadi praktis, semua kegiatan belajar mengajar akademis di kelas tidak lagi saya lakukan.

Kemudian kebijakan belajar di rumah diputuskan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makariem tak lama setelah Covid-19 outbreak. Saya mengerti mekanismenya yaitu siswa belajar di rumah dan guru memberi materi atau tugas seperti biasa melalui media daring.

Anak saya sudah kelas 7, juga melakukan home learning. Kegiatan home learning-nya berjalan dengan baik, ada kegiatan tatap muka via daring dengan gurunya. Karena sudah besar, dia sudah cukup mandiri untuk memilah-milah mana yang menjadi prioritasnya. Saya hanya mengingatkan saja untuk menyelesaikan tugasnya. Jika dia mengalami kesulitan dia akan datang pada saya atau ayahnya. So, home learning activity is just fine.

Nah, saya pikir semua sekolah yang menerapkan home learning akan baik-baik saja. Ah, ternyata tidak sesederhana itu Ferguso!

Guru di Masa Wabah

Saya bertanya pada beberapa teman guru dan jawabannya cukup mengejutkan. “Aduh, ini kerja di rumah malah nggak ada habisnya, Miss. Bikin video tutorial lalu kasih komen kerjaan anak yang sudah kumpul. Kalau masih belum sempurna, dia revisi, kalau sudah direvisi harus dikasih komen lagi. Belum lagi harus menjawab komplenan dari para orang tua. Membuat materi via Google Classroom, terus koreksi tugas lagi, berat hahaha”

Beberapa tanggapan tentang repotnya guru yang saya terima hampir sama seperti, “Ribet Miss. Menurut aku sih nggak asik ya, lebih ribet dan serba terbatas. Kurang bonding sama anak-anak, Miss. Kalau di kelas kan kita nggak cuma ngajarin akademis, tapi juga mendidik karakter dan moralitas.”

Selama swakarantina ini, saya juga sering mendapat meme tentang bagaimana repotnya orangtua mendadak menjadi guru di rumah. Betapa orangtua harus tetap menjaga kewarasan agar tidak stres dengan begitu banyaknya tugas yang diberikan oleh para guru.

Baca Juga  Pemikiran Gus Dur dan Buya Syafii Tentang Islam dan Keindonesiaan

Bagaimana dengan para guru itu sendiri? Untuk teman-teman guru yang mengajar di sekolah yang sudah ramah teknologi, sistem belajar online sudah terhampar tinggal memakai saja, seperti Zoom meeting atau Google Classroom.

Namun apakah semudah itu? Oho, tidak juga. Ternyata masih banyak guru yang masih struggling dalam teknologi atau masih harus membiasakan diri dengan teknologi. Permintaan pembuatan video setiap hari sebagai bahan ajar juga membuat guru stres loh. It takes time.

Semua guru bisa mengajar, tapi tidak semua guru pede berbicara di depan kamera sambil mengajar dan dipantau langsung oleh para orangtua. Jika sekali saja salah, siap-siap saja dibom chat di WhatsApp.

Jadi, para guru juga harus benar-benar siap dalam mempersiapkan materi yang akan diajarkan. Guru berjibaku dengan materi kurikulum yang menumpuk, belum lagi harus berhitung berapa banyak bahan ajar yang harus disederhanakan atau dipermudah, agar tidak menyusahkan siswa karena tidak mungkin memberikan materi seluruhnya dalam kondisi seperti ini. Itu pun masih kena komplain dari orangtua hahaha.

Teknologi yang Belum Siap

Belum lagi harus mengolah nilai. Ada beberapa sekolah yang akhirnya tidak melaksanakan ujian akhir sekolah. Nilai akhir akan diambil dari tugas harian. Namun beberapa sekolah masih melangsungkan ujian.

Perlu diketahui bahwa terkadang satu guru harus mengajar dua atau tiga mata pelajaran, seperti wali kelas misalnya. Bayangkan jika satu kelas ada 30 anak, jadi 30 anak dikalikan 3 mata pelajaran, berapa lembar soal yang harus dikoreksi?

Tapi jangan khawatir, guru harus profesional, jadi urusan dapur koreksi dan nilai, guru ahlinya. Di sisi lain, guru juga harus menyiapkan kuota internet yang cukup banyak untuk daring.

Baca Juga  Pilpres 2024: Mengapa Kebebasan Beragama tidak Menjadi Isu Sentral?

Lalu bagaimana persoalan teknologi di daerah, di mana teknologi belum ramah terhadap masyarakat kelas bawah atau sekolah yang masih jauh dari sentuhan teknologi? Meski Pak Nadiem sudah meluncurkan program daring melalui TVRI, sepertinya belum begitu efektif.

Seorang teman guru di pedalaman Sumatera bercerita bahwa akses internet tidak ada sama sekali. Jangankan akses internet, sinyal saja hidup mati. Kalau ingin dapat sinyal yang baik minimal harus pergi ke tempat yang lebih tinggi.

Sebagai guru di saat pandemi ini, dia mendapat tugas tambahan. Mendatangi semua siswanya untuk menyerahkan, mengambil tugas, bila perlu menerangkan atau mengajari satu per satu anak-anak yang belum mengerti.

Dia harus berkelling menggunakan motor melewati jalan tanah dari satu rumah siswa ke siswa yang lain. Kalau cuaca terang, kegiatannya akan berjalan lancar. Bagaimana kalau hujan badai dan jalan becek? Saya membayangkannya saja tidak bisa.

Dia sempat membagikan foto kegiatannya saat dia mengunjungi anak didiknya di Dharmasraya pedalaman Sumatera Barat, yang juga merupakan salah satu desa tertinggal. Beginilah potret repotnya guru di masa wabah.

Guru dan Orang Tua Repot

Pemda harusnya sudah mampu membuka akses internet yang bagus di desa pelosok. Selain persoalan teknologi juga persoalan guru yang belum mendapatkan fasilitas training agar dapat mendukung pembuatan bahan ajar daring berbasis media online.

Guru, misalnya harus sudah dibekali kursus membuat bahan ajar dengan aplikasi tertentu yang mudah, murah dan bisa di akses dengan smartphone. Sayangnya, pandemi Covid-19 datang lebih cepat di mana internet belum siap, dan para guru serta siswa belum ramah teknologi. Pak Nadiem harus turun ke pelosok nih. Hari gini sinyal belum merata. Sedih.

Baca Juga  Salafi Nahdliyin: Faksi Konservatisme NU

Mendengarkan curhatan teman seprofresi saya itu, saya yakin bahwa para guru sama tidak mudahnya dengan para orang tua dalam melakukan kegiatan belajar mengajar ini. Dalam kondisi seperti ini, mau tidak mau, para orangtua dan guru diajak untuk maju, belajar sesuatu yang baru dan membiasakan diri dengan keadaan.

Kami paham betul bahwa di satu sisi siswa mendapat transfer ilmu via daring tapi di sisi lain siswa banyak kehilangan kebersamaan dengan para guru dan teman. Kehidupan sosial kita lebih berwatak komunal daripada individual, maka kegiatan di sekolah yang dilakukan secara kolektif, misal olahraga atau bernyanyi bersama, terasa lebih asik dibanding dengan teknologi.

Ada banyak kisah yang hilang dari sekolah karena pandemi ini. Interaksi dan bonding dengan anak-anak yang setiap hari kami lakukan, seperti berdiskusi, mendengarkan dongeng, membaca buku bersama, atau mendengarkan ide dan pendapat cemerlang dari anak-anak tentang sebuah kasus. Meski bisa dilakukan via daring namun tidak senyaman jika kami lakukan di kelas.

Di sekolah, guru sebagai role model, tidak hanya mendidik mereka secara akademis tetapi juga mengajarkan attitude, moralitas, kedisplinan, tanggung jawab, kemandirian dan juga pluralisme.

Kerja Ganda

Para guru juga harus bisa survive selama KBM di rumah. Para guru yang sudah punya anak otomatis juga punya kerja ganda; sebagai guru untuk KBM daring dan sebagai guru untuk tugas anaknya sendiri. Technical meeting RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) untuk pekan depan biasanya dilaksanakan sepekan sekali, tapi kini hampir harus setiap hari.  

Dulu, kalau kami diberi libur pendek suka komplain, tapi sekarang kami ingin segera bisa berangkat sekolah lagi.

Jika masa pandemi ini berakhir, virus ini mungkin tidak akan benar-benar hilang, jadi ketika nanti kembali ke sekolah, pasti akan membawa banyak perubahan. Salah satunya apakah anak-anak masih boleh menjabat tangan para guru, seperti yang biasa kami lakukan?

The world is changing. Ah, nanti kita cerita tentang hari ini di kelas. Eh, tapi Miss Lovie bukan guru lagi. Ups!

Editor: Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Lovie Lenny Gunansyah , Penulis Novel 'Lelaki dan Kabut' , tinggal di Bekasi IG: @lovielennygunansyah
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds