Perspektif

Respon Virus Corona Antara Muhammadiyah dan NU

3 Mins read

Pernyataan Wapres KH Ma’ruf Amin bahwa Indonesia terbebas dari corona karena doa para ulama, oleh sebagian kelompok sumbu pendek disikapi negatif. Mereka berpandangan, cara seperti itu tidak masuk akal, jadul, dan usang. Pendapat seperti ini muncul dari kesombongan yang tidak berdasar.

Pasca Presiden Jokowi mengumumkan corona masuk di Indonesia, Muhammadiyah memberikan respons yang rasional. Yaitu dengan mempersiapkan 15 rumah sakit untuk perawatan pasien corona. Muhammadiyah juga mengeluarkan infografis langkah-langkah preventif penanggulangan virus ini. Oleh kelompok sumbu pendek, kebijakan tersebut dapat memunculkan prejudice.

Kekhawatiran penulis akhirnya terbukti. Oleh orang yang tidak bertanggung jawab, pendapat KH Ma’ruf Amin yang merupakan representasi Nahdlatul Ulama (NU) dibenturkan dengan Muhammadiyah. Perbedaan langkah penanggulangan terhadap corona berpotensi memunculkan ketegangan antara dua ormas besar ini. Sungguh disayangkan perbedaan ini dijadikan bahan ejekan. Satu pihak diunggulkan, sementara pihak lainnya disudutkan sebagai kelompok terbelakang.

Begitulah cara kelompok sumbu pendek melihat realitas yang ada. Sikap-sikap kerdil seperti itu jika tidak dicegah sedini mungkin, akan menjadi penyakit yang mematikan. Bahkan, lebih mematikan ketimbang virus corona itu sendiri.

Rasionalitas dan Muhammadiyah

Respons Muhammadiyah yang rasional terhadap corona sudah sepatutnya dilakukan. Karena Muhammadiyah memiliki aset rumah sakit yang mumpuni membantu bencana ini. Namun, bukan berarti respons tersebut menunjukkan sebuah keutamaan dan keunggulan atas kelompok lainnya. 

Justru, dalam kondisi seperti inilah rasionalitas Muhammadiyah dengan rumah sakitnya diuji. Permasalahannya, ujian itu tidak terletak pada kemampuan (kualitas) rumah sakit Muhammadiyah menanggulangi virus corona ini, melainkan dapatkah rasionalitas Muhammadiyah yang diagung-agungkan tersebut membuat bangsa ini lebih beriman. 

Sebab, telah banyak contoh yang disajikan baik dalam Al-Qur’an maupun realitas kehidupan ini, rasionalitas itu tumbang tanpa perlawanan apapun, atas kuasa yang tidak disangka-sangka. Mulai dari Fir’aun, Qarun, Haman, dan mungkin yang paling dekat adalah Cina.

Baca Juga  New Normal: Mengurai Skenario Tatanan Baru Pasca-Pandemi

Cina yang akan menjadi negara adikuasa, dengan dasar anti Tuhan, saat ini sedang mengalami kerugian yang tidak terhingga. Kebangkrutan Cina, yang kemudian diikuti dengan kebangkrutan-kebangkrutan lainnya, merupakan fakta yang tidak dapat dibantah lagi. Rasionalitaskah yang berkuasa atas ini semua? Jawabannya hanya terletak pada yang suprarasional, yakni Tuhan. 

Tuhan yang tidak pernah dianggap, digubris, dan dibayangkan keberadaannya, kini sedang menampakan sedikit dari kuasa-Nya. Ingat, baru sedikit dari kuasa-Nya! Maka, tidak patut sama sekali dalam kondisi seperti sekarang, kebesaran Muhammadiyah dengan rumah sakitnya, dijadikan kesombongan. Apalagi digunakan untuk mencemooh organisasi lain, dengan ejekan jadul.

Tentu orang Muhammadiyah yang otentik tidak melakukan itu. Oleh karena itu, orang-orang dan kelompok yang tidak bertanggung jawab, sebaiknya menghentikan perilaku buruk tersebut. Tidak ada gunanya, membenturkan dua ormas besar ini, dengan isu corona, sementara Tuhan lebih berkuasa dari segalanya.

NU Mengetuk Pintu Arsy

Usai shalat, Nabi Muhammad SAW bertanya kepada jama’ah; “Siapa tadi yang membaca Allahuakbar kabira…” Lanjut Nabi SAW, “Do’a tadi menyebabkan pintu langit terbuka.” Kutipan hadis di atas menjelaskan sebuah fakta, bahwa do’a seorang hamba, meskipun tidak diajarkan Nabi SAW, ternyata mampu menggetarkan pintu langit.

Dalam kisah yang lain diceritakan suatu ketika Nabi SAW menangis. Tangisan beliau rupanya menggetarkan Arsy, tempat Tuhan bersemayam. Lalu, Allah menyuruh Jibril turun untuk menyampaikan salam kepada Nabi-Nya dan menanyakan sebab ia menangis. Sesampainya di dunia Jibril berkata: “Aku datang untuk menyampaikan salam dari Tuhanmu dan mempertanyakan sebab dirimu menangis ya Muhammad.” Lalu, Nabi berkata, “saya berharap besok di akhirat, tidak ada lagi umatku yang masuk neraka…”

Singkat cerita, Jibril kemudian menyampaikan alasan tersebut kepada Allah. Lalu, Jibril disuruh kembali menyampaikan sebuah ayat (Adh-Dhuha/93: 5), walasaufa yu’tiika rabbuka fatardla, “dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” Setelah mendengar ayat itu, Nabi SAW pun tersenyum dan berhenti menangis.

Baca Juga  Dalam Situasi Saat Ini, Memaksakan Ijtima’ Jamaah Tabligh Adalah Kedzaliman

Berdasarkan kisah itulah, apa yang disampaikan KH Ma’ruf Amin sungguh sangat beralasan. Bahwa doa adalah senjata bagi orang beriman. Tidak ada alasan bagi Tuhan untuk menolak doa hamba-Nya. Apalagi doa tersebut diucapkan oleh hamba-hamba-Nya yang saleh, ikhlas, yang hatinya bersih dari berbagai penyakit hati, iri, dengki, hasad, dan sum’ah.

Doa dan tangis yang diungkapkan oleh Nabi SAW adalah doa yang didasari dengan rahmah. Kecintaan kepada umatnya membuat ia melakukan hal tersebut. Meskipun umatnya pendosa, tapi beliau yakin maghfirah Tuhan jauh lebih luas daripada murka-Nya. Jadi, doa yang didasari rahmah dan kepedulian kepada orang lain, di dalam hadis dijelaskan tidak ada sekat yang dapat menghalanginya. Doa tersebut mustajab, bahkan malaikat akan ikut mendoakannya.

Berdasarkan alasan tersebut, respons Nahdlatul Ulama terhadap corona dengan doa dan qunut adalah hal yang tepat. Selama ini mungkin rasionalitas kita terlalu dominan, sehingga menafikan relasi vertikal, manusia dengan Tuhan. Nahdlatul Ulama mengambil peran yang selama ini tidak dipikirkan manusia di era digital yang melihat segala sesuatunya dengan materi belaka.

Jadi, bacalah fenomena yang ada secara tepat dan proporsional. Kita tidak dapat membaca NU dari perspektif Muhammadiyah. Begitu juga sebaliknya, kita tidak dapat membaca Muhammadiyah dari perspektif NU. Cara pandang minor sebaiknya ditinggalkan. Perbedaan penyikapan Muhammadiyah dan NU terhadap corona adalah sebuah kolaborasi yang sangat indah.

Masing-masing ormas besar ini sedang menjalankan misi besar yang diberikan Tuhan dengan jalannya masing-masing. Dua ormas ini sedang diuji oleh Tuhan untuk merawat bumi Indonesia. Jika didasari dengan ketakwaan, kedua ormas ini akan mampu menyelesaikan misinya dengan baik.

Muhammadiyah beserta rumah sakitnya hanya menjalankan perannya sebagai khalifah. Sementara Nahdlatul Ulama dengan qunut dan doa, mencoba mengetuk pintu arsy tersebut. Corona adalah makhluk Tuhan, ada dan hilangnya adalah kuasa Tuhan. Rumah sakit dan doa merupakan ikhtiar, selanjutnya keputusan ada di tangan Tuhan. Wallahu’alam.

Editor: Arif
Avatar
30 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Ketua MPK PWM DIY, Sekretaris Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds