Hukuman Bagi Pemerkosa Santriwati
Pidana seumur hidup dijatuhkan majelis hakim pada Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati di pesantren. Tidak ada putusan lain, sehingga menimbulkan perdebatan.
Pihak pro menilai hukuman sudah memenuhi keadilan karena hukuman mati melanggar HAM. Hak hidup, bersifat absolut, non-derogable rights, kata Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM (Tempo.co, 13/01).
Majelis hakim juga berpendapat Herry tak perlu dijatuhi hukuman kebiri. Karena ia akan menjalani hidupnya sampai wafat di dalam penjara (Detik, 15/01). Reza Indragiri Amriel mendukung restitusi tidak dibebankan pada Herry, tapi negara (Kompas, 24/02).
Sedangkan pihak yang kontra, putusan hakim dinilai memiliki catatan. Yandri Susanto, Ketua Komisi VIII DPR, mengatakan vonis hukuman penjara seumur hidup seharusnya ditambahkan dengan hukum kebiri agar ada efek jera dan pesan khusus kepada pelaku perkosaan. Bahwa hukuman kekerasan seksual sangat berat. Sri Nurherwati, advokat senior, sangat menyesalkan restitusi dibebankan pada negara.
Mengganjal, Terasa Aneh
Proses peradilan dan putusan hakim, penting dicermati. Pertama, upaya penegakan hukum. Memberikan efek jera pelaku pemerkosa santriwati berarti mengirimkan pesan agar tidak muncul calon predator kekerasan seksual lainnya. Hal yang sudah tepat dilakukan oleh jaksa penuntut umum (JPU) dengan mengajukan tuntutan pidana mati, kebiri, denda 500 juta rupiah, dan restitusi pada korban sebesar 331 juta rupiah.
Tuntutan JPU senafas dengan semangat pemerintah menindak tegas pelaku perkosaan, kekerasan seksual. Sebagaimana Perpu 1/2006 tentang Perubahan Kedua UU 23/3002 tentang Perlindungan Anak (PA) terutama Pasal 81, Pasal 81A, Pasal 82 dan Pasal 82A. Juga termuat dalam Pasal 76D dan dan 76E UU Nomor 35/2014 tentang UU 23/2002 Perubahan UU PA. Aturan ini sudah dilengkapi PP 70/2020 sebagai implementasi teknis atas mandat UU 17/2016 tentang Perubahan Kedua UU PA.
Mari mengingat. Lahirnya Perpu adalah sebagai respon negara atas maraknya kekerasan seksual, perkosaan berkelompok pada anak (YY di Bengkulu). Tetapi faktanya minim hukuman yang memberikan rasa keadilan bagi korban dan efek jera. Bahkan impunitas pelaku. Sehingga pemerintah melalui KemenPPPA, aparat penegak hukum meresponnya dengan penerbitan kebijakan-kebijakan di atas.
Maka, ketika majelis hakim menghilangkan hukuman kebiri, denda, dan restitusi pada putusannya, pantas menimbulkan pertanyaan. Apakah tanpa hukuman kebiri, dalam penjara, Herry tidak akan mengulangi perbuatan bejatnya, memperkosa? Apakah hukuman seumur hidup betul-betul dijalankan, atau justru dapat pengurangan, dengan alasan apapun?
Pertanyaan lain yang muncul adalah dasar pertimbangan hakim menyatakan negara harus hadir untuk melindungi dan memenuhi hak korban dengan cara memberikan restitusi. Benarkah begitu?
Dampak Korban, Siapa Peduli?
Mengadili kasus perkosaan, kekerasan seksual, bukan semata-mata pelaku dihukum, selesai. Bukan. Tetapi, memikirkan pemulihan jangka panjang bagi korban, hak korban yang selama ini sering kali di(ter)lupakan dalam proses peradilan, KUHAP lebih memperhatikan hak-hak terdakwa.
Lantas, yang sering muncul, kasian, iba, pada terdakwa termasuk pemerkosa santriwati sehingga hukuman lebih rendah dari tuntutan jaksa untuk kasus perkosaan. Bandingkan dengan kasus terorisme, narkoba. Hakim tak segan memutus pidana mati. Atau korupsi, pidananya ditambah mengembalikan uang negara.
Jadi, pantaslah pelaku kekerasan seksual terus bertambah. Walau pelaku telah menghancurkan puluhan hidup anak-anak perempuan kita, potensi hukuman ringan, denda hilang, tidak ada restitusi karena dibebankan pada negara.
13 anak-anak korban kebejatan Herry, seharusnya masih bersekolah. Malangnya, korban-korban mengalami kekerasan seksual berulang-ulang, hamil, melahirkan. Selama persidangan, terungkap fakta-fakta anak-anak ini dieksploitasi, dipekerjakan tidak manusiawi seperti kuli bangunan, mengalami cuci otak hingga tak bisa membedakan perbuatan bejat Herry dan manipulatif, serta perintah aborsi.
Selama bertahun-tahun, anak-anak kehilangan masa belajar, tumbuh kembang, masa bermain dan hak dasar anak lainnya. Hilangnya semua hak itu, sejujurnya terasa sulit dikompensasikan dengan sebesar apapun nilai rupiah.
Itu sebabnya, restitusi diatur, bukan denda. Karena denda untuk negara, sedangkan restitusi ditujukan untuk korban dan keluarganya, akibat kerugian yang ditimbulkan. Jaksa seharusnya menuntut restitusi lebih tinggi daripada denda.
Pasal 1 angka (11) UU 31/2014 tentang Perubahan UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjelaskan bahwa restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
Restitusi ini juga diatur dalam UU 21/2007 tentang pemberantasan trafficking (PTPPO). Restitusi sebagai hak korban kekerasan seksual juga termuat dalam PP 7/2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Seharusnya restitusi harus dibebankan pada pelaku atau pihak ketiga (keluarga pelaku garis lurus naik ke atas hingga tiga tingkat, aturan nasab). Herry, bukan orang miskin. Herry punya asset, harta. Majelis hakim bisa memerintahkan negara untuk menyita hartanya, dijual, lelang dan dananya sebagai restitusi bagi korban.
Hakim, sejatinya memahami apa yang dimaksudkan ‘negara hadir dalam kasus perkosaan, kekerasan seksual’. Yakni, hapuskan impunitas, negara harus memastikan proses hukum berjalan. Tidak menyudutkan, menyalahkan korban atau mengkaitkan kehidupan personal korban dengan kasus perkosaan yang ia alami; mendengarkan kesaksian korban; tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan selama proses penyidikan, penyelidikan yang melukai korban seperti menikmati perkosaan itu; visum at repertum gratis; dan tidak membebankan korban dengan alat bukti sehingga tiada muncul asalan kurang bukti.
Termasuk memastikan putusan yang memberikan rasa keadilan pada korban seperti memastikan pelaku membayar restitusi pada korban; jaminan pemulihan jangka panjang bagi korban melalui BPJS atau perlindungan sosial. Karena umumnya korban perkosaan membutuhkan waktu lama untuk pemulihan; dan memastikan BPJS mengakomodir biaya pengobatan luka fisik, psikis, dan rusaknya alat-alat reproduksi korban yang selama ini tidak bisa diakomodir BPJS karena dianggap bukan penyakit.
Serta memastikan korban mendapatkan hak pendidikan dari waktu yang terbuang, hak mendapatkan penghidupan yang layak melalui akses ekonomi karena biasanya korban perkosaan menjadi termiskinkan akibat kasus yang ia alami. Inilah makna yang sesungguhnya ‘negara hadir’.
Jadi, bukan membebankan restitusi pada kemenPPPA, yang anggarannya jauh lebih rendah dari kementerian/lembaga lainnya walaupun punya tupoksi super besar: pengarusutamaan gender, memastikan isu perempuan dan anak hadir dan diimplementasikan pada seluruh kementerian/lembaga.
Komisi Yudisial perlu memperhatikan sikap hakim. Jangan sampai ketika JPU banding untuk restitusi hukuman jadi lebih rendah. Ini penting, guna memastikan hukum bergerak melindungi korban. Hukum harus memberikan efek jera, restitusi dibebankan pada pelaku, BPJS harus mengakomodir korban.
Janganlah ada impunitas, agar tidak muncul calon predator lainnya. Hapuskan budaya memaklumi kekerasan seksual, dengan hukuman ringan. Karena itu seterang-terangnya kebusukan/kebobrokan/kezaliman peradaban.
Editor: Yusuf