Perspektif

Restorasi Pendidikan Swedia: Dari Buku Digital Kembali ke Buku Cetak

3 Mins read

Revolusi industri keempat (Industry 4.0) yang dimulai dan digaungkan di Jerman pada tahun 2011 silam menjadi notifikasi dari segala kemajuan teknologi yang kian bergerak cepat. Arus teknologi yang menerjang ke setiap lini kehidupan manusia. Membuat puing-puing masa lampau bergegas menyesuaikan dan beradaptasi dengan kemajuan zaman. Tulisan ini akan mengulas mengenai perjalanan restorasi pendidikan negara Swedia. Khususnya cerita mereka beralih dari sistem buku digital, lalu kembali ke buku cetak.

Begitu pun dalam dunia pendidikan. Walaupun integrasi teknologi dalam dunia pendidikan sejatinya telah dimulai pada tahun 1960-an di Amerika Serikat. Namun, hingga kini manusia terus menyesuaikan dan menyelaraskan pendidikan yang berbasis digital tanpa menghilangkan esensi dari pendidikan itu sendiri. Hingga sampai di sebuah titik bahwa tidak sepenuhnya setiap negara akan mampu merealisasikan hal tersebut.

Hal inilah yang terjadi di Swedia. Negara dengan perkiraan penduduk mencapai 10.656.633 jiwa pada pertengahan tahun 2025 ini sejak tahun 2022 telah memutuskan untuk kembali pada konsep buku cetak dalam sistem pendidikannya. Karena sebelumnya, Swedia telah menerapkan digitalisasi pendidikan sejak tahun 2009 dengan transformasi dari buku cetak ke perangkat digital seperti komputer. Lantas apakah langkah pemerintah Swedia di tengah gempuran dunia digital ini merupakan langkah yang tepat?

Restorasi Pendidikan di Swedia

2009 silam, pemerintah Swedia memutuskan untuk bertransformasi ke dunia digital dalam aspek pendidikan. Mengutip dari Indian Defence Review, penyiapan siswa-siswi untuk siap dalam menghadapi dunia yang serba digital menjadi latar belakang dari transformasi tersebut dilakukan. Konsekuensinya ialah secara bertahap ketergantungan pada buku kertas mulai tergantikan dengan perangkat lunak. Seperti tablet ataupun komputer, dengan perkiraan bahwa pembelajaran akan berjalan lebih menyenangkan dan mudah diakses.

Baca Juga  Siapakah Mereka yang Pantas Disebut Santri?

Akan tetapi modernisasi dunia pendidikan di negara berjuluk Blagult itu tak bertahan lama. Data dari Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) memperlihatkan bahwa keterampilan siswa di Swedia terus menurun dalam kurun waktu 2016-2021. Selain itu, laporan dari Programme for International Student Assessment (PISA). Menunjukkan bahwa siswa yang menggunakan buku kertas cenderung memiliki performa akademik yang lebih baik. Daripada mereka yang bergantung pada perangkat digital turut mengafirmasi realitas yang terjadi di negara tersebut. Bahwa ada yang sedang tidak baik-baik saja dalam dunia pendidikan.

Berdasarkan evaluasi tersebut, pada tahun 2022 wacana terkait pengembalian media pembelajaran ke buku cetak mulai digaungkan. Bukan sekadar wacana semata, pada tahun 2023 upaya pengembalian tersebut benar-benar ditekankan dengan rencana pembatalan keputusan badan nasional untuk mewajibkan penggunaan perangkat digital prasekolah. Dan kemudian keseriusan tersebut semakin terlihat dengan investasi yang dilakukan pemerintahnya hingga mencapai 1,7 triliun untuk penyediaan buku cetak bagi siswa di Swedia pada tahun 2022-2025.

Upaya restorasi pendidikan yang dilakukan pemerintah Swedia bukan berarti menjadi pertanda kemunduran negara tersebut. Justru mereka dapat melihat kekurangan-kekurangan kualitas sumber daya manusianya yang nampak dari budaya membaca dan menulis yang luntur semenjak integrasi teknologi dan pendidikan dilakukan (dalam rentan waktu 2016-2021).

Pendidikan Karakter di Swedia

Selaras dengan apa yang disebutkan oleh Heri Gunawan dalam buku “Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi”, bahwa karakter menjadi aspek penting dalam peningkatan sumber daya manusia karena turut menentukan kemajuan suatu bangsa. Lunturnya budaya membaca dan menulis pada siswa-siswi di Swedia merupakan bagian dari karakter yang dimaksud. Karena sejauh ini tak bisa dipungkiri kalau kemajuan negara tersebut ditopang oleh pendidikan karakter yang dibangun di dalamnya.

Baca Juga  Manusia: Sang Penjaga yang Hobi Merusak

Dari restorasi pendidikan di Swedia kita dapat melihat bagaimana negara tersebut memberikan bukti kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bahwa digitalisasi pendidikan serupa bak sebuah pisau bermata dua. Teknologi yang di satu sisi memberikan kemudahan akses bisa menjadi obat bius yang menidurkan karakter manusia. Hal ini yang juga telah digambarkan oleh Jacques Ellul dalam bukunya The Thecnological Society,tentang ketergantungan berlebih pada teknologi yang mengarahkan manusia pada efisiensi berlebih.

Kekhawatiran Ellul tersebut yang nampaknya terjadi di Swedia. Ketika pendidikan beralih dari kertas dan pena ke perangkat lunak yang menurunkan daya kritis serta keterampilan membaca dan menulis yang menurun. Fakta empiris tersebut terdeteksi karena adanya evaluasi yang dilakukan. Dalam evaluasi tersebut pasti negara maju seperti Swedia memiliki capaian tertentu yang menjadi acuan apakah kebijakan yang diterapkan efektif atau sebaliknya.

Kesadaran Kritis Masyarakat Swedia

Dalam merespons suatu sistem yang bermasalah atau disfungsional. Masyarakat di negara Swedia sudah sampai pada apa yang disebut oleh Paulo Freire dengan kesadaran kritis. Terlebih dalam konteks pengembalian media pembelajaran ke buku cetak itu terlihat bahwa masyarakat di luar instansi pendidikan juga turut merasakan adanya ketidaksesuaian sistem yang berdampak pada putra-putrinya.

Gambaran fenomena yang terjadi di negara dengan sumber daya manusia paling maju nomor dua itu mengajarkan hal kecil. Namun, substansial pada masyarakat di negeri ini, terkait dengan perhatian setiap elemen masyarakat terhadap pendidikan. Karena masyarakat Indonesia berdasarkan data dari Global Parent Survey pada tahun 2018 menyebutkan kalau ternyata orang tua di Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia dalam hal menyerahkan seluruh tetek bengek urusan pengasuhan anak kepada sekolah.

Baca Juga  Kritik RUU Cipta Kerja Liberal, Darmaningtyas: Mas Nadiem Tidak Pantas Menjadi Menteri Pendidikan

Restorasi Pendidikan Tanggungjawab Negara

Di sisi lain juga pemerintah sebagai penanggungjawab utama terhadap pendidikan di sebuah negara, begitupun Indonesia, sudah seyogianya menjadi garda terdepan dalam memonitoring efektivitas sistem pembelajaran yang diterapkan. Agar tujuan dari pendidikan itu sendiri bisa tercapai dengan terbentuknya masyarakat yang arif, dewasa, cerdas, dan bijak.

Dengan melihat krisis lingkungan yang masih terus terjadi, kriminalitas tinggi, lulusan sarjana yang membludak menanti pekerjaan, hukum yang diperkosa, eksploitasi alam. Hingga degradasi moral yang terjadi di negeri ini menunjukan bahwa pendidikan belum menjadi perhatian utama para pemangku kebijakan.

Walaupun negara ini menganut sistem demokrasi, akan tetapi agaknya pendidikan selalu saja tidak mendapat perhatian serius dalam penerapannya. Padahal dalam buku Demokrasi dan Pendidikan”, karya John Dewey, tertera bahwa pendidikan adalah alat untuk mengembangkan potensi individu dalam masyarakat yang demokratis. Sedangkan, bagaimana bisa menyiapkan individu yang siap menghadapi tantangan sosial dan berpartisipasi dalam kehidupan yang demokratis. Jika pendidikan di dalamnya saja tidak menjadi prioritas utama.

Editor: Assalimi

Related posts
Perspektif

Pasca Al-Assad, Bagaimana Nasib Komunitas Alawi?

4 Mins read
Setelah mantan pemimpin Suriah, Bashar Al Assad lengser nasib komunitas Alawi masih belum pasti. Sebelumnya, mereka didukung oleh rezim. Namun, kini kelompok…
Perspektif

Puasa dalam Perspektif Agama-Agama

3 Mins read
Di tengah keragaman budaya dan keyakinan yang membentuk wajah Indonesia, praktik keagamaan menjadi suatu refleksi sakralitas dari nilai-nilai spiritual yang diwariskan secara…
Perspektif

Sejarah dan Perkembangan Islam di Bima

3 Mins read
Pendahuluan Islam memiliki peran penting dalam membentuk sejarah, identitas, dan budaya masyarakat Bima, sebuah wilayah di Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Berbeda dengan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *