Sore itu saya melihat gerombolan anak-anak pulang dari surau. Dengan membawa Al-Quran dan panduan tajwid di tangannya, mereka berjalan ke rumah masing-masing. Hal ini mengingatkan saya ketika masih belajar di madrasah satu dekade silam. Masa ketika madrasah menjadi rumah kedua saya untuk mencari ilmu keagamaan.
Saat ini, kehidupan bermadrasah kian berganti. Pergantian itu ditandai dengan kehidupan manusia yang serba canggih. Perkembangan teknologi membawa arah pengajaran menuju arah yang kian melesat. Peran lembaga pendidikan seperti sekolah, kampus, menjadi hal yang sangat diutamakan. Terutama jika menyoal pembelajaran secara umum dan bahkan agama Islam.
Namun, saya juga mengamati bahwa sebelum kepopuleran lembaga-lembaga formal tersebut, madrasah dengan pembelajaran dan desain yang sederhana menjadi kunci utama. Sebab anak-anak mengawali pengetahuan mereka tentang Islam dari sana. Di madrasah, anak-anak belajar mengaji, mempelajari Al-Quran, dan mengaplikasikan syariat-syariat yang sesuai dengan ketentuan agama.
Meskipun secara fisik saat ini kita dapat menengok perubahan madrasah, akan tetapi perlu diketahui bahwa banyak madrasah yang masih mempertahankan metode pembelajaran tradisional. Tentu, kita dapat memperjelas dan mengkhususkan metode tradisional tersebut dengan melihat ke pola komunikasi dari suatu madrasah. Sadar atau tidak sadar, banyak madrasah yang masih terjebak ke dalam paradigma komunikasi lama. Seperti komunikasi satu arah, hierarkis, dan kurang terbuka terhadap dialog.
Sebagai bagian dari dinamika kehidupan, kita harus mengecek situasi tersebut secara kritis. Sebab, komunikasi adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Lantaran manusia memerlukan komunikasi dengan manusia lain agar tujuan dan makna dapat diterima dan diinterpretasi.
Masalahnya, jika tujuan dan makna tersebut tidak pernah sampai, atau tidak pernah diinisiasi di madrasah, maka eksistensi madrasah akan sama saja dengan model pendidikan yang tidak membebaskan peserta didiknya.
Komunikasi Habermas dan Relevansinya dengan Madrasah
Sejak semester empat di perkuliahan, saya memiliki tokoh favorit dalam jajaran filsafat kontemporer. Namanya Jurgen Habermas, seorang filsuf kontemporer asal Jerman yang memiliki fokus khusus perihal komunikasi. Darinya, saya mendapatkan pengetahuan bagaimana tindakan komunikatif pada dasarnya menentukan sikap rasionalitas manusia. Mengapa demikian?
Jadi seperti ini. Tindakan komunikatif menurut Habermas memiliki peran yang sangat krusial bagi manusia, terutama jika dikontekstualisasikan dalam proses pembelajaran. Pasalnya, komunikasi yang ideal dalam pembelajaran akan terjadi ketika semua pihak memiliki kesempatan sama untuk berbicara, didengar, dan terlibat dalam dialog rasional yang bebas dari dominasi apa pun.
Lambat laun, pemahaman tersebut akhirnya membuat saya semakin merenung. Apakah proses pendidikan kita baik di sekolah maupun di madrasah sudah mengaplikasikan prinsip-prinsip Habermas dengan sedemikian rupa? Saya rasa, jawabannya adalah masih jauh dari kata sudah.
Dari situ, ketika saya mengenal Habermas dan teori tindakan komunikatifnya, saya mulai membayangkan. Apa jadinya jika di sebuah madrasah, ketika guru, siswa/santri, dan orang tua duduk bersama secara setara berdiskusi masalah kurikulum, metode pengajaran, atau masalah-masalah yang meliputi pendidikan kita saat ini. Mungkin, ini akan menjadi sebuah rangkaian proses yang melanggengkan humanisasi dalam pendidikan. Sebab, tak ada lagi rasa takut, ragu, bahkan terintimidasi ketika mereka saling bertukar pendapat.
Hanya frasa “ruang publik ideal” yang mungkin datang ke kepala saya ketika situasi tersebut benar-benar terjadi. Saya sangat mengharapkan betul soal itu. Sebab selama ini, tantangan tentang keterpusatan komunikasi satu arah dan pengaruh hierarkis yang kuat akan tetap menghantui. Sehingga pesona ruang publik ideal itu sampai hari belum terjadi.
Akan tetapi, jika di dalam madrasah kondisi tersebut (masih) belum pernah terjadi, maka sama saja hingga saat ini kita melakukan proses pendidikan yang jauh dari ketentuan-ketentuan Islam. Maksud saya, bukankah Islam sendiri mengajarkan kita untuk terus berdialog dan bermusyawarah?
Komunikasi dalam Perspektif Islam
Saya meyakini, bahwa Islam hadir di muka bumi ini melalui komunikasi dan bertujuan untuk berkomunikasi. Maka dari itulah, komunikasi menjadi penting dalam menyebarkan, mengubah, dan merevolusi aspek-aspek krusial keagamaan. Apalagi jika membahas soal pendidikan di madrasah. Jelas, Islam hadir sebagai pedoman dan tonggak awal.
Al-Quran sendiri telah menyebutkan dalam Surah An-Nahl ayat 125, bahwa fungsi komunikasi melalui dialog menjadi prioritas utama dalam proses pencarian pengetahuan (baca: belajar).
Ayat itu berbunyi,
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”
Tidak hanya sampai di situ, Nabi Muhammad Saw pun pada dasarnya merupakan komunikator ulung. Dalam beberapa riwayat misalnya, beliau selalu mendengarkan pendapat dari para sahabat dan orang lain tanpa memandang asal, kasta, dan rupa. Nada bicaranya juga lembut, tidak lebih rendah dan tidak lebih tinggi, sesuai dengan gaya bahasa lawan bicaranya.
Kendati begitu, mungkin di sini saya juga harus jujur, bahwa hingga saat ini saya terus-menerus membayangkan jika komunikasi profetik seperti ini berlangsung di madrasah. Akan tetapi, saya juga paham, bahwa mengaplikasikan komunikasi model Habermas dan model Islam akan menemui tantangan tersendiri. Terutama jika para pelaku/komunikator madrasah masih memegang prinsip-prinsip paradigma lama. Maka, sudah bisa dipastikan proses pembelajaran di madrasah tidak akan pernah berevolusi.
Selain itu, tantangan mengenai perkembangan media sosial akan menghambat revolusi madrasah ke depannya. Begitu pula dengan gap antargenerasi dan perubahan nilai-nilai sosial. Tentu, hal tersebut menjadi faktor penentu yang perlu dipertimbangkan matang-matang. Meski begitu, memang sudah seharusnya dan secara perlahan, kurikulum komunikasi Islam perlu dipertahankan agar dapat menjadi panduan.
Integrasi Komunikasi Habermas dan Komunikasi Islam
Sebagai poin penutup, saya akan menjawab bagaimana cara mengintegrasikan pemikiran Habermas dan nilai-nilai keislaman. Khususnya untuk merevolusi komunikasi di madrasah ini. Setidaknya, saya memiliki dua poin penting yang akan membantu mempermudah revolusi madrasah untuk masa depan.
Pertama, kita perlu menciptakan ruang publik yang inklusif di madrasah. Inklusif dalam hal ini berorientasi kepada forum yang egaliter, yakni bagaimana stake-holder, guru, siswa, dan orang tua, bahkan masyarakat sekitar dapat berdebat serta berdialog dengan setara. Mengapa? Lagi-lagi, melalui forum ini, tindakan komunikatif yang dipaparkan Habermas akan terwujud.
Selain itu, mereka dapat terbuka mengkaji bagaimana model pembelajaran di madrasah yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak mereka, apa saja masalah kebijakan di madrasah, dan bagaimana menangani isu-isu pendidikan aktual yang sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman.
Kedua, saya akan menekankan untuk membangun model pengajaran dialog konstruktif. Dalam hal ini, pengajar/guru, dapat memaksimalkan proses mengajar mereka. Sebab, metode dialog konstruktif akan membuat nuansa pengajaran menjadi terbuka, dialogis, dan interaktif dua arah. Misalnya, guru dapat menjalankan metode socratic methods/questioning untuk menstimulus siswa berpikir kritis dan berani berpendapat. Lantaran keberanian dalam berpikir sendiri merupakan semangat Islam dalam mendorong umatnya untuk terus belajar dan berpikir, bukan?
Namun, perlu digaris-bawahi bahwa revolusi komunikasi di madrasah semata-mata bukan hanya sekadar mengadopsi teknologi baru atau meniru model komunikasi budaya barat. Akan tetapi, adalah upaya paling serius untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang terbuka, dialogis, dan sesuai dengan ajaran Islam.
Tentu, dengan memadu-padankan pemikiran dari Habermas dan kearifan Islam ini, saya yakin kita dapat menciptakan madrasah yang unggul. Keunggulan tersebut bukan hanya dalam bidang keagamaan saja, melainkan juga mampu mencetak generasi Muslim yang kritis, komunikatif, dan siap menghadapi tantangan zaman.
Maka dari itu, revolusi komunikasi di madrasah perlu diupayakan dengan semangat yang besar. Lantaran untuk masa yang akan datang, kita tidak dapat memungkiri bahwa madrasah akan menjadi pionir dalam menciptakan model komunikasi yang efektif, etis, dan berbasis nilai-nilai keislaman.