Abu Hamid Al-Ghazali telah jamak dikenal dalam filsafat (Islam) sebagai seorang “penggugat” filsafat. Walaupun sebetulnya, yang digugat oleh Al-Ghazali bukan filsafat secara keseluruhan dalam artian dia tidak menerima filsafat sama sekali. Gugatannya ditujukan pada doktrin Neo-Platonisme dalam pemikiran Al-Kindi, Ar-Razi, dan Ibnu Sina. Terutama berkaitan dengan doktrin kosmos creatio ex nihilo.
Di Barat sendiri juga pernah ada seorang penggugat. Dia bernama Richard Rorty. Rorty memiliki kemiripan dengan Al-Ghazali—mengkritik epistemologi, membangun sebuah pemikiran filsafat untuk membantah filsafat, dan dianggap filsuf kendati telah menggugat filsafat. Richard Rorty diidentifikasi sebagai filsuf pragmatisme yang sama seperti John Dewey.
Rorty banyak mengambil kritikannya dari Nietzsche, Witgensteiin, Heidegger. Lahir di Amerika Serikat pada 4 Maret 1931. Rorty mendapatkan gelar Ph.D. di bidang filsafat dari Yale University pada tahun 1956. Dalam upayanya mengkritik epistemologi filsafat Barat, Rorty dicurigai sebagai seorang relativisme, namun dia membantah tudingan itu.
Permasalahan Epistemologi Filsafat Barat
Dalam karyanya Philosophy and Nature of Mirror, Richard Rorty menguraikan pendapat tentang yang membedakan filsafat dengan sains. Menurutnya, sains menekankan penyelidikan realitas untuk mendapatkan pengetahuan, sedangkan filsafat lebih mendasar, yakni bagaimana sesuatu itu bisa disebut sebagai pengetahuan yang mungkin (Kalumbang, 2018). Keduanya memiliki persamaan yaitu terlalu dominan pada epistemologi.
Sejak era Descartes, filsafat adalah persoalan epistemologi. Maksudnya, filsafat terlalu menyibukkan diri pada fondasi kebenaran objektif. Bagi Descartes, landasan kebenaran itu adalah rasio “aku yang berpikir”, pada Hobbes, filsafat berubah ke arah empirisme (aposteriori), keduanya mendapatkan sintesis pada Kant. Namun, ini telah menjadikan filsafat menjadi kering.
Epistemologi bertanggung jawab terhadap obsesi pencarian kebenaran absolut. Epistemologi telah meletakkan aturan main bagi korespondensi kebenaran, syarat-syarat, penyelidikan (metode), bagaimana sebuah pengetahuan itu tidak bisa dilemahkan, bersifat tetap dan tidak berubah.
Sebagai seorang pragmatis, kebenaran bagi Rorty tidak lebih dari sekadar seperangkat pengetahuan yang disepakati. Pertanyaan tentang “pengetahuan”, “kebenaran”, “ke-objektifan” yang telah menyibukkan epistemologi filsafat Barat tidak ada artinya untuk dibahas, sebab ia tidak memiliki jawaban akhir. Maka dari itu, Richard Rorty menyeru untuk meninggalkan persoalan-persoalan epistemologi yang kaku tersebut.
Tawaran Epistemologi Hermeunetik Richard Rorty
Richard Rorty dengan gagasan-gagasannya dikenal sebagai neo-pragmatisme, anti representasi, dan anti fondasionalisme. Filsafat dan sains yang sering mengemukakan dan mengaku diri sebagai pemutus, penggambar realitas, dan penemu kebenaran objektif. Rorty menolak klaim-klaim ini. Untuk itu, dia mengajukan gagasan filsafat yang baru, yang sekiranya lebih seimbang.
Artinya, Rorty menolak klaim filsafat maupun sains sebagai penerjemah realitas. Dengan kata lain, Rorty beranggapan bahwa hermeunetik memainkan peranan yang lebih penting daripada epistemologis itu sendiri.
Meski begitu, pandangan Richard Rorty tidak sama dengan pandangan relativis. Relativisme meski menolak keberadaan kebenaran absolut, tapi kebenaran masih “ada” dan ditentukan oleh fondasi-fondasi, kerangka-kerangka, representasi-representasi. Tapi, Rorty menolak penyusunan kerangka, fondasi, representasi itu sama sekali. Maka dari itu Rorty menolak untuk dianggap sebagai seorang relativis (Britannica, 2021)
Kritikan-kritikannya dalam persoalan epistemologi—fondasional, representatif—terutama pada sains dan filsafat diuraikan secara panjang lebar dalam karyanya Philosophy and the Mirror of Nature.
Filsafat Sebagai Sastra
Kalau persoalan-persoalan tentang “pengetahuan” dan “kebenaran” tidak berguna, bagaimana filsafat seharusnya? J. Sudarmintha dalam tulisannya Rorty Untuk Para Sastrawan dalam kumpulan tulisan buku Filsafat Untuk Para Professional (2019) menjelaskan, menurut Rorty filsafat harus berjalan dengan cara yang menyenangkan.
Filsafat harus menjadikan dan menyediakan dirinya sebagai salah satu kognitif dalam hubungannya dengan yang lain—seni, agama, ideologi, sains, ilmu-ilmu sosial. Filsafat tidak boleh mengklaim diri sebagai hakim yang dapat memberikan justifikasi (kebenaran) terhadap yang ada di luar dirinya. Untuk itu, bagi Rorty filsafat hanyalah bagian dari dialog-dialog yang terjadi dalam sejarah budaya umat manusia, sebagai salah satu bentuk permainan bahasa.
Rorty mengklaim bahwa filsafat memenuhi kriteria sebagai sebuah sastra—atau filsafat hanyalah salah satu karya sastra di antara banyak karya sastra. Filsafat sebagai karya sastra tidak lagi menyibukkan dirinya untuk membangun sistem, simplifikasi, membuat abstraksi, mengungkap kenyataan. Tapi filsafat mengandung narasi dan hak-hal yang bersifat aksidental.
Sebab bagi Richard Rorty, filsafat yang seperti ini lebih mengalir, kompromistis, egaliter—dan tidak mengada-ada. Sudarmintha menjelaskan, bagi Rorty karya sastra juga tidak kalah dengan kajian-kajian lain yang bersifat saintifik. Sebab, dalam era kontemporer karya-karya sastra akan mengalahkan popularitas filsafat dan sains. Sebab itu, ada juga yang mengatakan bahwa Rorty menggantikan persoalan filsafat dari persoalan epistemologi kepada persoalan hermeneutika.
Sumber Rujukan
Hardiman, F. Budi (Ed).2019. Filsafat Untuk Para Professional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Kalumbang, Yuventia Riska.2018., Kritik Pragmatisme Richard Rorty Terhadap Epistemologi Barat Modern, Jurnal Filsafat, Vol. 28, No. 2 Agustus 2018
Editor: Soleh