Riyoyo Ketupat – Makan ketupat setelah lebaran bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia bukan? Meski ada perbedaan bentuk tempurung, cara penyajian, dan waktu makan di berbagai wilayah, ketupat menjadi makanan tradisi yang selalu ada.
Ketupat bukan sekadar makanan berat sebagaimana nasi, dalam setiap tenunan janur yang dibentukkan tempurung, takaran isi, bentuk, cara penyajian, waktu penyajian, semuanya memiliki filosofi. Ketupat diciptakan untuk mendekatkan metode dakwah Sunan Kalijaga, salah satu anggota Wali Songo, dengan Islam dan masyarakat Jawa.
Islam menyariatkan ada dua lebaran dalam satu tahun: Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Namun bagi orang Indonesia, khususnya Jawa, ada satu Hari Raya yang menjadi bagian tradisi untuk dilaksanakan: Hari Raya Ketupat. Orang Jawa bilang Riyoyo Kupatan.
Sejarah Riyoyo Ketupat
Menurut salah satu sumber, tradisi Riyoyo Ketupat sudah ada di Nusantara sejak masa Hindu dan Budha. Tradisi ini diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri. Ia dinisbahkan sebagai dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran.
Dewi Sri merupakan dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Ia dimuliakan sejak masa kerajaan kuno seperti Majapahit dan Pajajaran. Dalam pengubahsuaian itu, terjadi desakralisasi dan demitologisasi.
Dewi Sri tak lagi dipuja sebagai dewa padi atau kesuburan tapi hanya dijadikan lambang yang direpresentasikan dalam bentuk ketupat yang bermakna ucapan syukur kepada Tuhan.
Setelah Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga berdakwah di bumi Nusantara, tradisi syukuran itu tidak dihilangkan, hanya saja diakulturasikan dengan nilai-nilai keislaman, diperkenalkanlah dua istilah: Bakda Lebaran dan Bakda Kupat.
Bakda Lebaran dipahami sebagai prosesi pelaksanaan salat Idul Fitri hingga tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama muslim, sedangkan Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran.
Menurut H.J. de Graaf, dalam buku Malay Annal, ketupat adalah simbol perayaan Hari Raya Islam pada masa pemerintahan Demak. Pada awal abad ke-15, Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.
Kesultanan Demak membangun kekuatan politiknya sembari menyiarkan agama Islam dengan dukungan Walisongo, salah satunya dakwahnya Sunan Kalijaga.
Ketika menyebarkan Islam ke pedalaman, Walisongo melakukan pendekatan budaya agraris, mereka beranggapan, tempat adalah unsur keramat dan berkah sangatlah penting untuk melanggengkan kehidupan.
Maka tidak heran jika yang dipakai untuk ketupat adalah janur. Graaf menduga kulit janur kelapa yang telah dibuang lidinya itu menunjukkan identitas budaya pesisir yang dipenuhi banyak pohon kelapa.
Metode Islamisasi
Sunan Kalijaga menganalogikan Hari Raya Ketupat sebagai bagian mengakui kesalahan dalam empat tindakan. Dalam bahasa lain, agar Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan.
Laku papat artinya empat tindakan dalam perayaan Lebaran. Empat tindakan tersebut adalah Lebaran, Luberan, Leburan, dan Laburan.
Lebaran memiliki arti usai atau berakhir, yang menandakan selesainya masa berpuasa dalam bulan Ramadhan dan kesiapan menyongsong kemenangan. Luberan bermakna meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk kaum miskin.
Leburan maknanya adalah habis dan melebur. Maksudnya pada momen Lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur. Laburan berasal dari kata labur atau kapur. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain.
Ketupat menjadi simbol maaf bagi masyarakat Jawa, yaitu ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya, mereka akan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya. Apabila ketupat tersebut dimakan, secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan terhapuslah segala yang pernah khilaf.