Isu-isu feminisme sampai hari ini masih relevan dijadikan bahasan diskusi, mengingat masih banyak stigma-stigma yang di labelkan kepada wanita di Indonesia bahkan dunia. Saya pikir kita masih minim terkait pengetahuan tentang tokoh-tokoh emansipasi wanita di Indonesia. Salah satunya adalah Roehana koeddoes, yang beberapa hari lalu muncul di Google Doodle. Mungkin banyak yang bertanya, siapa sosok di balik nama itu?.
Di Indonesia, para tokoh laki-laki masih sangat mendominasi, dan kadangkala peran-peran wanita hebat malah tidak mendapatkan perhatian serius.
Secara garis besar, Roehana Koeddoes merupakan tokoh feminisme di Indonesia yang bergerak di bidang pendidikan. Ia bergerak di daerahnya sendiri, yakni Minangkabau (sekarang masuk dalam daerah administrasi Sumatera Barat). Ia juga dikenal sebagai wartawati/jurnalis pertama di Indonesia yang menyuarakan raungan nasionalisme demi membangun kesadaran kolektif dalam internal bangsa Indonesia untuk melawan kolonialisme Belanda.
Masa Kecil Roehana Koeddoes
Roehana Koeddoes dengan nama asli Siti Roehana dilahirkan pada tanggal 20 Desember 1884 di Koto Gadang, kabupaten Agam, Sumatera Barat. Putri dari Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam ini secara keturunan memiliki kedekatan dengan tokoh Founding Father di Indonesia. Diantaranya Soetan Sjahrir dan Agus Salim, ia juga merupakan bibi dari penyair terkenal Angkatan 45, yakni Chairil Anwar .
Sejak kecil Roehana tidak pernah mendapatkan pendidikan formal, ia adalah murid Home schooling yang di mana ilmunya didapatkan hanya dari kedua orang tuanya. Terutama sang ayah yang kebetulan merupakan pejabat pemerintahan Hindia-Belanda. Ayahnya sering membawakan ia berbagai majalah untuk dibaca. Sang ayah juga mengajarkan hal-hal dasar seperti membaca,menulis, menghitung, bahas Belanda, bahasa Arab, bahasa Melayu dan kemampuan dasar lainnya. Ia juga kerap menuntut ilmu agama bersama para Alim-Ulama di surau.
Sejak kecil, kecerdasan Roehana sudah terlihat dari cepatnya ia menyerap berbagai materi yang disampaikan ayahnya. Setelah dewasa, ia berteman baik dengan seorang istri petinggi Belanda yang merupakan atasan ayahnya. Dari istri petinggi itu ia mendapatkan pendidikan keputrian seperti menyulam, memasak, menjahit dan menenun. Selain itu, ia juga sering dibawakan majalah-majalah belanda yang di dalamnya berisikan berita-berita politik, gaya hidup dan juga pendidikan di Eropa.
Tokoh Emansipasi Wanita
Roehana Koeddoes merupakan segelintir dari jutaan wanita di Indonesia saat itu, yang menyadari bahwa derajat wanita harus diangkat dengan berbagai macam cara. Zaman itu memang sedang marak maraknya gerakan feminisme yang terjadi di Eropa dan spirit feminisme itu akhirnya sampai di Hindia-Belanda. Menurutnya, dalam memperjuangkan hak-hak wanita perlu adanya pengorbanan dan kerja keras.
Dalam hal ini, Roehana berupaya memberikan pendidikan pada kaum wanita di daerahnya. Baginya, salah satu sebab wanita dijadikan masyarakat kelas dua adalah kurangnya pemerataan akibat minimnya pendidikan. Wanita kerap kali di labeli dengan wilayah kerja domestik yang sering kita sebut dengan “ kasur, dapur, sumur” yang di mana ketiga hal itu bisa dipelajari tanpa bersekolah.
Upayanya dalam mencerdasakan masyarakat pribumi saat itu dibuktikan dengan pendirian institusi pendidikan yang ia dirikan sendiri. Ia juga telah mampu menyadarkan masyarakat saat itu dan akhirnya di awal abad ke-20, telah berdiri sekolah yang di dalamnya mengajarkan tentang ilmu-ilmu keperempuanan, juga ilmu dasar seperti membaca, menulis dan berbahasa asing.
Roehana: Perempuan Perintis Pers di Indonesia
Pada awal abad-20, telah berdiri beberapa perusahaan media yang dipelopori oleh kaum laki-laki yang berbasis di Bandung. Sedangkan di Minangkabau sendiri, Roehana mendirikan Koran Sunting Melayu yang pada strukturnya dari pemimpin redaksi hingga penulis adalah para wanita. Hal ini ia lakukan demi menyebarluaskan anjuran untuk kebangkitan kaum wanita. Selain itu, dalam produknya Roehana dengan tajam mengkritik dengan keras pemerintahan kolonial Belanda yang sangat merugikan bangsa Indonesia.
Karya-karyanya juga termuat dalam berbagai macam koran yang ada saat itu. Mulai dari saudara Hindia, Fajar Asia, Cahaya Sumatra dan Suara Koto Gadang. Berkat karya-karya jurnalistiknya, Roehana diberi penghargaan sebagai perintis pers oleh Harmoko (Menteri Penerangan) pada tanggal 9 Februari 1987, bertepatan dengan Hari Pers Nasional.
Roehana Koeddoes Wafat
Pada akhirnya, Roehana Koeddoes harus menghadap Sang Pencipta pada tanggal 17 Agustus 1972, tepat di usianya yang ke-88 tahun. Ia telah menyumbangkan pikirannya, raga dan jiwanya untuk membela wanita dan tanah air. Tulisan-tulisannya telah menginspirasi banyak orang agar sadar, bahwa wanita juga memiliki hak untuk mengenyam pendidikan layaknya laki-laki.
Rasa nasionalismenya yang tinggi juga patut dihargai sebesar-besarnya. Ini menunjukkan bahwa kaum wanita tidak melulu bicara “kasur,sumur dan dapur” melainkan juga menggetarkan penjajah lewat berbagai macam perlawanan, yang dalam hal ini Roehana berjuang lewat tulisan-tulisan yang abadi hingga saat ini.
Editor: Saleh