Report

Ruhaini Dzuhayatin: Revolusi Gender ‘Aisyiyah

3 Mins read

IBTimes.ID – Secara teoritis, rezim adalah prinsip-prinsip, norma-norma, ideologi, sistem, dan mekanisme pengambilan keputusan yang ada dalam satu konteks spesifik. Gender adalah sebuah rezim yang tidak selalu negatif. Ia adalah satu tatanan yang utuh.

Hal ini disampaikan oleh Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam kegiatan International Conference on ‘Aisyiyah Studies 2020 pada Sabtu (24/10). Ia menyebut bahwa buku Rezim Gender yang ia tulis sudah cukup utuh untuk mempelajari satu tatanan gender dalam satu konteks tertentu.

Macam-Macam Relasi Gender Szanzoni

Ruhaini menyebut berbagai macam relasi gender yang ia kutip dari Szanzoni. Pertama, ada relasi gender yang disebut dengan property ownership. Bahwa keluarga adalah kepemilikan dari seorang laki-laki. Ini adalah salah satu ciri relasi gender dalam masyarakat patriarki absolut, di mana perempuan dan anak dianggap sebagai properti dari laki-laki. Hal ini masih bertahan hingga 100 tahun yang lalu di Indonesia ketika raja memberikan istri dan anaknya sebagai hadiah.

Kedua, ada juga relasi head complement yang menganggap laki-laki sebagai sumber norma dan pengambil keputusan utama. Ketiga, senior-junior complement. Ini berada satu tingkat di atas head complement. Yang membedakan gender dalam tingkatan ini adalah tingkat pendidikan dan akses sosial antara laki-laki dan perempuan, sehingga perempuan tidak memiliki kontribusi ekonomi.

Keempat, senior-junior partnership. Menurut Ruhaini, perempuan dalam tingkatan ini memiliki pendidikan yang lebih tinggi daripada tingkatan sebelumnya, memiliki kontribusi ekonomi, dan masih ada unsur otoritas keagamaan laki-laki. Dan ini adalah tipe rezim gender di Muhammadiyah.

Norma Gender ‘Aisyiyah

Ia menyebut norma gender di dalam Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah terkait erat dengan prinsip-prinsip yang dipahami tentang Islam, yang merupakan satu organisasi muslim urban. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah didirikan di jantung kerajaan Jawa dengan karakteristik santri-priyayi.

Baca Juga  Kasus Wadas: Pembangunan Harus Mengedepankan Partisipasi Warga dan HAM

Muhammadiyah memiliki tradisi santri-priyayi sebagai sub kultur yang menjadi basis konstruksi gender Muhammadiyah. Kelompok santri-priyayi memiliki kebebasan bergerak dan melakukan aktivitas ekonomi lebih dari priyayi atau pegawai kerajaan di Kraton dan tidak mengenal budaya pingitan.

Menurut Ruhaini Dzuhayatin, ‘Aisyiyah menggeser idealisme perempuan terhormat di dalam budaya Jawa. Perempuan terhormat dalam budaya Jawa adalah perempuan yang terlindungi di dalam rumah, secara spiritual kuat, tidak berkeliaran di pasar atau di sawah. Ini adalah idealisasi perempuan dalam masyarakat priyayi Jawa.

“’Aisyiyah melakukan rekonstruksi nilai-nilai ideal dalam lingkungan santri-priyayi, bahwa beraktivitas ekonomi dan bergerak di ruang publik adalah sesuatu yang terhormat. Ini menjadi sangat penting di dalam perkembangan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ke depan,” imbuhnya.

Kepercayaan Agama ‘Aisyiyah

Pilihan Muhammadiyah dalam melihat Islam sebagai Islam yang berkemajuan mempengaruhi pandangan terhadap gender. Islam berkemajuan, progresif, dan wasathiyyah menjadikan Muhammadiyah mampu menggeser keyakinan bahwa Tuhan memendarkan cahaya kepada laki-laki, dan laki-laki memendarkan cahaya kepada perempuan. Maka ada istilah suargo nunut, neroko katut.

Menurut Ruhaini Dzuhayatin, hal ini tidak ada dalam belief Muhammadiyah. Perempuan dan laki-laki dalam Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah sejak awal adalah individu yang otonom. Pada saat masa awal ‘Aisyiyah, laki-laki dan perempuan sudah dipercaya memiliki kapasitas spiritual yang sama. Maka langgar dibuat dua, ada langgar laki-laki dan langgar untuk perempuan.

“Ini sangat luar biasa. Ini betul-betul revolusi spiritual dari masyarakat Jawa yang saat itu melihat perempuan selalu mengikuti suami bahkan sampai ke surga atau neraka. Hal yang sangat revolusioner dalam Muhammadiyah adalah memberikan kapasitas spiritual yang sama antara laki-laki dan perempuan,” imbuhnya.

Revolusi ini menghasilkan relasi gender yang bersifat senior-junior partnership. Hal ini berlawanan dengan relasi gender di kerajaan yang menggunakan property ownership dan atau senior-junior complement. Selain itu, Ruhaini juga menyebut bahwa Muhammadiyah ‘Aisyiyah adalah pionir pendidikan perempuan.

Baca Juga  Mengapa Mencatut dan Meneror Muhammadiyah?

Pergeseran dari Orde Baru menuju Reformasi

Pada masa orde baru, idealisasi konstruksi gender menggunakan senior-junior complement. Inilah yang menghilangkan figur Nyai Walidah yang memiliki kontribusi ekonomi yang sangat besar.

“Pada masa orde baru ada kontestasi identitas dari ‘Aisyiyah. Identitas ‘Aisyiyah sebagai santri-priyayi yang dinamis harus berkontestasi dengan ideologi rezim gender orde baru. Ini sangat menarik sekali dalam penelitian saya,” imbuhnya.

Menurut Ruhaini, kontestasi ini terlihat dalam buku Adabul Mar’ah fil Islam tahun 1979. Buku ini sangat progresif. Ada proses dorongan terhadap perempuan untuk semakin berperan di ruang publik. Dalam buku ini, perempuan memiliki hak dan tanggung jawab di dunia politik. Perempuan boleh menjadi gubernur, bupati, jenderal, polisi, dokter, dan lain-lain, namun tidak boleh menjadi presiden.

Baru pada tahun 2010, perempuan menjadi presiden disahkan oleh Muhammadiyah melalui Musyawarah Majelis Tarjih di Malang. Pada tahun 1984 ‘Aisyiyah mengeluarkan buku panduan Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah. Pada tahun 1985, konsep keluarga sakinah diadopsi oleh orde baru menjadi sebuah bentuk keluarga ideal.

“Program keluarga sakinah lebih dulu disusun oleh ‘Aisyiyah daripada ketika masuk ke Kementerian Agama. Tetapi berbeda dengan Adabul Mar’ah fil Islam, Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah ini justru mempotret sesuatu yang berkebalikan dari eksistensi aktivis ‘Aisyiyah. Isinya adalah mengidealisasikan ibu rumah tangga,” jelasnya.

Sebenarnya ibu rumah tangga adalah konsep yang tidak dikenal dalam ‘Aisyiyah dan dalam Islam. Ibu rumah tangga, sebagaimana dijelaskan oleh Ruhaini, adalah ajaran Gereja yang dibawa melalui misi zending ke Indonesia.

Tuntunan keluarga sakinah ini kemudian dikritik oleh Kuntowijoyo. Menurut Kunto, konsep ibu rumah tangga tidak mencerminkan keluarga Muhammadiyah dan perempuan Muhammadiyah. Baru ketika terjadi reformasi, terjadi paradigma dari rezim gender orde baru menjadi lebih dekat kepada rezim gender versi PBB.

Baca Juga  Muhammadiyah and The Divergent

“Inilah menjadi lompatan bagi Muhammadiyah untuk melakukan perubahan dari senior-junior partnership menjadi equality partnership, atau setara tetapi tetap bermitra. Tidak antagonistik tetapi partnership. Indikasinya presiden perempuan disahkan. Selain itu Majelis Tarjih menaikkan usia pernikahan sesuai dengan undang-undang perlindungan anak,” imbuhnya.

Menurut Ruhaini Dzuhayatin, second journey of ‘Aisyiyah adalah ketika ‘Aisyiyah bisa mendirikan Universitas. Menurutnya ini adalah lompatan yang sangat besar menuju equal partnership. Selain itu, pada era ini persoalan imamah perempuan bisa dibicarakan di Majelis Tarjih.

Reporter: Yusuf

Avatar
1420 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Hilman Latief: Kader Muda Muhammadiyah Harus Paham Risalah Islam Berkemajuan

2 Mins read
IBTimes.ID – Hilman Latief, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia menyebut, kader muda Muhammadiyah harus paham isi daripada…
Report

Ema Marhumah: Islam Agama yang Ramah Penyandang Disabilitas

1 Mins read
IBTimes.ID – Ema Marhumah, Dosen Tafsir dan Hadis Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan bahwa Islam adalah agama yang ramah terhadap…
Report

Salmah Orbayinah: Perempuan Penyandang Disabilitas Berhak Atas Hak Pendidikan

2 Mins read
IBTimes.ID – Salmah Orbayinah Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah (PPA) menyebut, perempuan penyandang disabilitas berhak atas hak pendidikan. Pendidikan menjadi hak dasar…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds