Perspektif

Rukyat adalah Metode Masa Jahiliyah: Masihkah Relevan?

5 Mins read

Rukyat | Pemilihan kata “Jahiliyah” untuk judul tulisan ini sebenarnya saya “nggak” tega, minimal khawatir memicu debat-kusir yang tak berujung.

Namun, apa boleh buat, kata itu dirasa penting, setidaknya untuk mengurangi keruwetan intelektual terkait ada pihak-pihak yang terus berusaha meminimalisir minat generasi mendatang pada kajian astronomi untuk menetapkan awal atau akhir bulan Qamariyah.

Metode jahiliyah yang dimaksud, yaitu metode yang digunakan pada masa Jahiliyah, yakni masa di mana pada saat itu sebuah komunitas masyarakat menolak pembaruan metode, karena metode yang dimaksud dinilai sebagai metode yang dipraktikkan oleh pemimpinnya. Yang kebetulan, pemimpinnya itu dinilai tidak mampu mempraktikkan atau karena metode yang dimaksud benar-benar belum terjangkau pada masa itu.

Benar atau tidak saya ambil contoh dalam menetapkan awal atau akhir bulan Ramadhan, salah satu bulan Qamariyah, yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai bulan penuh berkah dan bulan turunnya Al-Qur’an. Artinya, bahwa sesungguhnya yang namanya bulan Ramadhan itu, jauh sebelum ada kewajiban berpuasa, sudah ada. Begitu juga bulan-bulan yang lain.

Lalu, ketika kewajiban berpuasa itu diwahyukan, mulai dipertanyakan, kapan dan bagaimana cara untuk mengetahui awal dan akhir Ramadhan.

Cara Mengetahui Awal Bulan

Seperti diketahui, bahwa untuk di Indonesia yang diberlakukan untuk mengetahui awal atau akhir Ramadhan yaitu dengan metode rukyatul hilal, melihat langsung wujud hilal yang berada di kejauhan sana (lokasi terjadinya ijtimak/konjungsi).

Praktiknya, yaitu Kementerian Agama telah memilih lokasi mana yang dianggap bisa untuk merukyat, atau memilih dan bahkan menyumpah lebih dahulu petugas atau pelaksana rukyat di tempat yang sudah dipilih.

Kemudian, setelah hal tersebut (menentukan lokasi dan menetapkan petugas rukyat) dilakukan, langkah berikutnya yaitu diadakan “sidang isbat” atau musyawarah untuk mengambil keputusan, yang dalam prosesnya tidak menutup kemungkinan antar peserta sidang terjadi perdebatan sengit.

Jadi, kalau kita perhatikan secara seksama terhadap penggunaan metode rukyah tersebut, disadari atau tidak, selama prosesnya terinfeksi “masalah”, yang tentu kurang dapat dipertanggungjawabkan secara aqliyah. Kita lihat misalnya ketika ada seorang tokoh (ulama) yang melihat hilal, yang menurut para imam mazhab empat sudah bisa dijadikan landasan penetapan awal atau akhir Ramadhan. Tetapi kenyataannya tidak demikian.

Hasil penglihatannya tidak bisa dijadikan landasan untuk publik jika dia bukan petugas resmi yang disumpah dan ditunjuk oleh pihak Kementerian Agama, bahkan bisa jadi dia akan dicemooh publik bila dia “ngotot” mengumumkan apa yang dilihatnya.

Baca Juga  Upaya Rekonsiliasi #DiRumahAja VS Jiwa Muda Candu Kongkow-Kongkow

Kalau sudah demikian, lebih ironis lagi, sang tokoh (ulama) tadi bisa dituding sebagai pengacau, pembohong, atau tudingan kasar lainnya. Ini jelas, bahwa metode rukyat sungguh-sungguh sangat sarat dengan masalah, sarat dengan nuansa konflik dan wajar kalau kemudian disimpulkan bahwa metode rukyat cenderung beraroma politis.

Bahkan seharusnya, Kementerian Agama tidak melibatkan diri dalam masalah ibadah; penetapan awal atau akhir Ramadhan (hari raya).

Apakah Penggunaan Metode Rukyat Masih Relevan?

Selama pemerintah masih bersikukuh untuk menetapkan awal/akhir Ramadhan dengan sidang isbat setelah dilak

ukan rukyat oleh tim khususnya, maka selama itu pula perbedaan akan terus dan sering terjadi. Upaya menggabungkan dua metode (rukyat dan hisab) tidak akan bisa terjadi karena keputusan akhir yang selama ini diambil pemerintah senantiasa hasil rukyat.

Sementara hasil rukyat itu sendiri sebagaimana disebutkan di atas tidak lepas dengan berbagai masalah yang secara jelas pula hampir dapat dikatakan menghilangkan hakekat dan hikmah Ramadhan dan hari raya itu sendiri.

Oleh karena itu, hemat saya metode rukyat tidak bisa dipertahankan lagi, dan perlu menegaskan pentingnya menggunakan metode hisab, sebuah metode penetapan awal dan akhir Ramadhan yang minus masalah, minus perselisihan, minus perbedaan dan cenderung lebih menggembirakan semua pihak.

Metode hisab, bukan saja kuat (bahkan lebih kuat daripada rukyat karena lebih banyak memiliki landasan) dari segi naqliyah, tetapi juga kuat dari sudut pandang aqliyah.

Metode Hisab

Istilah “hisab” itu sendiri arti lughawi-nya “menghitung”, suatu kata yang notabene sudah berhubungan dengan aktivitas akal fikiran. Secara istilahi, atau secara terminologis, metode hisab berarti penetapan waktu datangnya awal dan akhir bulan Ramadhan dengan dan berdasarkan ilmu falak; astronomi, ilmu yang mempelajari perputaran bulan, bumi, matahari dan bintang serta segara jenis benda-benda angkasa luar.

Seperti diketahui, bahwa ilmu hisab inilah ilmu yang dapat memprediksi kapan terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan, baik tahun terjadinya, bulan terjadinya, hari terjadinya, dan sampai pada waktu, jam, dan menit serta saat (berapa lama) terjadinya. Ilmu hisab, juga ilmu yang membuat masyarakat dunia, khususnya dunia Islam mengetahui dan menyusun jadwal waktu ibadah, misalnya shalat lima waktu; mulai dari kapan dan jam berapa waktu shalat shubuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isya’.

Baca Juga  Menata Ulang Perangai Ilmiah Masyarakat Indonesia

Termasuk oleh ilmu ini pulalah seseorang atau kita mengetahui jadwal imsyakiyah; kapan waktunya berbuka puasa (maghrib), sahur, imsyak dan shubuh.

Kegunaan ilmu hisab yang begitu besar dan erat hubungannya dengan aktivitas ibadah tersebut, secara faktual sesungguhnya diikuti pula oleh semua kalangan umat Islam, dari golongan apapun mereka. Jadwal Imsyakiyah yang senantiasa bermunculan menjelang dan saat Ramadhan, yang dikeluar-edarkan oleh berbagai kalangan, dipastikan semuanya berdasarkan hasil hisab.

Kementerian Agama RI kita sendiri, menyusun dan menyebarluaskannya, juga berdasarkan hasil hisab. Pertanyaan kita, kalau semuanya berlandaskan hisab (naqliyah dan aqliyah) kenapa awal dan akhir puasa (’Idul Fitri) ditetapkan berdasarkan rukyatul-hilal?

Keunggulan Metode Hisab Dibanding Rukyat

Ada banyak keunggulan dari laku konsistensi penggunaan metode hisab, yang secara menyeluruh berhubungan erat dengan hakikat hari raya sebagai hari penuh gembira dan suka-ria. Di antara keunggulan yang dimaksudkan, yaitu:

Pertama, meminimalkan perselisihan atau perbedaan pendapat. Metode hisab, jarang terjadi menghasilkan keputusan yang berbeda. Kalaupun pernah terjadi perbedaan, itu hanya pada menetapkan ukuran (derajat) ketinggian bulan (hilal). Yang sebenarnya, hal ini diwarnai dengan metode imkanurrukyah (kemungkinan hilal bisa dilihat) yang di-maksudkan untuk memadukan metode rukyah dengan metode hisab.

Kalau kita murni menggunakan metode hisab hakiki, tidaklah demikian, karena dalam metode hisab hakiki, secara tegas bahwa awal bulan Qamariyah dimulai sejak saat maghrib tiba, setelah terjadi ijtima’ atau konjungsi.

Ijtimak atau konjungsi, adalah masa kesejajaran antara matahari dengan bulan yang membentuk garis batas antarbulan Qamariyah, yang saat itu wujud atau keberadaan hilal masih berada dalam/pada posisi nol derajat, di ufuk (horizon), seberapapun besar dan tingginya hilal.

Tetapi saat itu, hilal telah ada dan bulan pun berganti (dari Ramadhan ke Syawal dan seterusnya). Jadi, dalam metode hisab hakiki, pada saat ijtimak sesungguhnya, hilal sedang berada pada nol derajat, dan karena posisinya itu terus bergerak melewati garis batas (konjungsi), maka dengan pasti berarti posisi hilal sudah berada di wilayah bulan Ramadhan atau Syawal.

***

Kedua, terbebas dari konflik kepentingan golongan atau politik misalnya. Karena memang metode ini murni memegang prinsip-prinsip (kaidah-kaidah) keilmuan empiris (eksakta) yang berlaku di segala dunia, berbeda dengan rukyat yang nyata-nyata berbau politik (keputusan pemerintah yang kabarnya untuk sekarang menambah kriteria ketinggian hilal menjadi 3 derajat, yang sebelumnya dua derakat).

Baca Juga  Pilpres 2024: Mengapa Kebebasan Beragama tidak Menjadi Isu Sentral?

Ketiga, terbebas dari keraguan (musyabbihat), karena metode hisab diracik secara matematis, dengan angka-angka yang jauh dari kemungkinan keliru. Ibarat ungkapan dua kali dua, segala jenis otak manusia dan di manapun dia berada, pasti menjawabnya sama dengan empat. Berbeda dengan rukyat yang hanya dengan modal utama mata telanjang, yang rawan kekeliruan dan tipuan.

Keempat, menepis prasangka buruk, karena pelaku hisab dibekali dengan ilmu atau diserahkan kepada para ahli hisab yang kejujurannya terukur, bisa dilihat langsung, berbeda dengan rukyat yang prosesnya berbelit, mulai dari menetapkan tenaga rukyat, lokasi rukyat, alat yang digunakan, biaya dan sebagainya.

Kelima, mendatangkan keleluasaan. Penetapan ‘Idain (misalnya) dengan metode hisab, memberi keleluasaan semua pihak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan ‘Idain. Ya, sebab metode ini menginformasikan datangnya hari dan tanggal ’idain jauh-jauh hari se-belumnya.

Berbeda dengan metode rukyat, yang baru diketahui setelah ada sidang isbath, yang biasanya baru selesai sekitar pukul 20.00. Dii mana, umat penganut metode ini dibingungkan apakah takbiran atau shalat tarwih seperti biasa.Keenam, menenangkan hati.

Metode hisab hakiki yang berorientasi wujudul-hilal, dapat menenangkan hati, menghilangkan keraguan dalam menetapkan awal dan akhir Ramadhan (hari raya). Berbeda dengan metode rukyat, yang seharusnya usai buka puasa bertakbiran, masih menunggu pengumuman resmi, yang terkadang sampai waktu Isya’ tiba belum juga diumumkan. Akibatnya, umat Islam pun dalam kebimbangan, shalat tarwikh atau takbiran.

Jadi itulah, kalau kita cermati, jelas, bahwa metode hisab hakiki wujudul hilal menurut Muhammadiyah dan banyak ulama modern (muta’akhkhirin) lebih layak untuk diprioritaskan, dipilih sebagai metode tunggal dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan.

Metode rukyat dengan demikian bukannya tidak dipakai, tetapi bisa juga digunakan sekedar untuk menambah kebenaran metode hisab. Atau, boleh dipakai tetapi rukyatulhilal-nya bukan dengan mata telanjang melainkan dengan futurologi, dengan mata jugam yaitu mata pelajaran atau mata kuliah.

Editor: Yahya FR
Avatar
13 posts

About author
Noor Chozin Agham, dosen UHAMKA dan UMT Indonesia, Penulis Buku : ISLAM BERKEMAJUAN gaya MUHAMMADIYAH - Telaah terhadap Akidah, Akhlak, Ibadah, dan Mu'amalah Duniawiyah - UHAMKA Press, 2015
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds