Rumah, dalam tradisi jawa memiliki pengertian yang dalam. Ia lebih dari sebuah bangunan, orang Jawa memaknainya sebagai rahim sekaligus tempat berpulang. Dalam lagu “Tanah Airku”, Tuan dan Puan tentu sudah tak asing. Meski kita digambarkan terpesona dan terpana oleh banyak negeri, tapi rumah tetaplah lebih berkesan di hati. Sebagai ruang pergumulan, pelan tapi pasti rumah kemudian berubah seiring kemajuan zaman.
Kini, rumah menjadi ruang yang tidak lagi intim. Orang lebih menjadikan rumah sebagai nostalgia setelah bekerja, maupun kuliah. Ia lebih berfungsi sebagai penginapan ketimbang ruang untuk memendar segala penat dan aneka kesuntukan. Orang kini lebih memilih menyembuhkan diri melalui handphone. Ibu dan bapak bukan lagi tempat mengadu aneka perasaan yang campur aduk di hati. Orang lebih memilih pesan pribadi melalui layar ponsel mereka.
Rumah dan Corona
Suasana belajar di rumah pun kian menghilang. Bila dulu Ayah, Ibu dan anggota keluarga bisa belajar banyak hal. Kini, seiring dengan berjalannya waktu, orangtua kita lebih memilih pondok atau asrama sebagai tempat belajar anak. Anak belajar di sekolah atau perguruan tinggi, tapi tidak ketika di rumah. Rumah kian ditinggalkan sebagai ruang belajar.
Saat wabah Corona melanda negeri kita, muncul seruan dari Kemendikbud untuk belajar di rumah. Banyak sekolah mulai berinisiatif untuk mendekatkan kembali belajar di rumah. Sekolah telah lama mengambil kebebasan anak untuk belajar. Ruang dan kosmologi belajar di sekolah pada kenyataannya lebih dekat dengan formalitas dan aspek kognitif semata. Sekolah yang kreatif kini mendesain belajar dengan mendekatkan antar anggota keluarga.
Zakiah Daradjat (1987) menuliskan bahwa terdapat tiga lingkungan yang bertanggungjawab dalam mendidik anak. Ketiga lingkungan tersebut adalah keluarga, sekolah dan masyarakat. Sampai saat ini, realitas pendidikan di sekolah seperti menunjukkan ketidakberdayaannya saat wabah Corona menyerang negeri kita.
Sekolah seolah tak berdaya dan tidak ada kekuatan dalam bergerak bersama melawan Corona. Pendidikan empati, ketangkasan dalam mengatasi bencana, serta pendidikan sosial untuk bergerak menyelesaikan masalah terasa belum bisa diterapkan. Murid-murid di sekolah-sekolah hanya diberikan tumpukan tugas tanpa diajak untuk bergerak mengatasi wabah ini. Lebih parah lagi, saat mereka tidak dibekali literasi digital. Akhirnya murid-murid menjadi penyebar hoax paling masif di kala bencana.
Widji Thukul pernah menulis puisi yang amat membekas tentang bagaimana borok dari pendidikan di sekolah. Di puisi berjudul kenangan anak-anak seragam ia menulis : pada masa kanak-kanakku/setiap jam tujuh pagi/ aku harus seragam/ bawa buku harus mbayar ke sekolah/ katanya aku bodoh/ kalau tidak bisa menjawab pertanyaan guru/ yang diatur kurikulum. Libur di masa pandemi Corona seolah membuat murid kembali menekuri rumah. Kembali mengakrabi rumah yang lama tidak mereka tengok.
Belajar di rumah adalah jalan untuk menghidupkan kembali pendidikan keluarga. Pendidikan keluarga adalah fondasi dari pendidikan di sekolah dan masyarakat. Bila pendidikan di keluarga kita baik, anak-anak akan siap menghadapi pendidikan di sekolah maupun di lingkungan masyarakatnya. Jikalau pendidikan di keluarga rusak, tentu anak akan kesulitan menghadapi pendidikan di sekolah maupun masyarakat.
Pada pendidikan keluarga, kita bisa mendekatkan kembali relasi antara ibu, ayah, dan anak. Mereka bisa belajar bernyanyi bersama, belajar membuat prakarya bersama, atau saling berbagi bersama tentang pelajaran di rumah. Di rumah tentu anak-anak tidak terbebani oleh beban kognitif dan akademik. Anak-anak bisa belajar dengan bebas tanpa harus memikirkan mereka akan diberi nilai apa. Pada pendidikan keluarga itulah, proses pendidikan menjadi amat berarti.
Memaknai Belajar
Belajar di rumah adalah cara kita untuk kembali menghidupkan pendidikan karakter dalam keluarga. Kita pun bisa menerapkan beragam metode pembelajaran dengan keluarga. Amirullah Syarbini (2013) menuliskan ada 7 metode pendidikan karakter dalam keluarga.
Metode tersebut diantaranya adalah internalisasi, keteladanan, pembiasaan, bermain, bercerita, nasihat, penghargaan dan hukuman. Metode itu tentu amat berbeda sekali saat anak-anak belajar di sekolah. Ada perbedaan psikologis saat anak merasakan pendidikan di keluarga dan di sekolah.
Bila merujuk sejarah lahirnya pendidikan nasional kita, sebenarnya konsep Taman Siswa adalah konsep pendidikan keluarga dalam lingkup nasional. Munculnya bapak guru dan ibu guru adalah contoh dari penerapan pendidikan keluarga di Taman Siswa. Konsep pendidikan keluarga inia kemudian direduksi oleh Orde Baru sebagai konsep kekeluargaan dalam bernegara. Karena itulah, Soeharto kala itu disebut sebagai bapak pembangunan.
Kita berharap program belajar dari rumah atau belajar di rumah mengefektifkan kembali peranan orangtua dalam mendidik anak mereka. Kita juga berharap sekolah tidak terlalu membebani anak didiknya dengan tugas yang terlampau menumpuk. Biarlah kita memberi rehat pada pikiran anak yang bising.
Ada kalanya bukan hanya aktivitas kita yang sejenak berhenti kita beri jeda. Tetapi pikiran raga dan fisik anak-anak kita beri waktu untuk lebih bebas saat mereka di rumah. Saya percaya anak-anak pun akan belajar banyak hal saat mereka di rumah ketimbang di sekolah.
Kita bersyukur pandemi Corona telah menggugah kesadaran bersama bahwa rumah adalah rahim pendidikan kita. Di rumahlah sebenarnya pendidikan yang sejati bisa dimulai dari sana.
Editor: Nabhan