Tafsir

Rupa Ragam Hujatan ke Tafsir Zamakhshari

3 Mins read

Apakah Anda pernah dituduh “sesat” oleh orang yang tidak setuju dengan pendapat Anda? Dalam dunia medsos, tuduhan semacam itu mudah sekali ditemukan.

Bahkan di kalangan ulama pun, tuduhan “sesat” kerapkali dilemparkan kepada lawan mereka, terutama dalam pertikaian yang bersifat polemik. Itu memang cara ampuh untuk memobilisasi dukungan massa.

Sebagai reaksi terhadap karya kontroversial Mahdawi, penulis Mesir Sayyid b. Husain al-‘Affani menggunakan berbagai tuduhan, misalnya “dajjal”, “sesat” (dhal), “idiot” (ma’fun), dan seterusnnya.

‘Affani menghimpun sejumlah pemikir Muslim, dari ‘Abduh hingga Mahdawi, dan menggolongkan mereka ke dalam “mazhab rasionalis” (madrasah ‘aqliyah), yang dia kutuk. Dua penulis Mesir, Dzahabi dan ‘Abdurrahman al-Rumi, menyebut Abu Zayd sebagai “ateis.”

Seperti disebutkan dalam status sebelumnya, tuduhan terhadap Abu Zayd dan Mahdawi itu dikarenakan keduanya tidak menggunakan hadis dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tentu, tuduhan semacam ini bukan fenomena baru.

Tafsir Zamakhshari yang Menyulut Kemarahan

Walaupun, bahasa orang modern memang lebih kasar ketika berdebat. Saya akan mencontohkan tafsir Zamakhshari yang sejak dulu hingga sekarang menyulut kemarahan ulama tradisional.

Kita tahu, Zamakhshari merupakan seorang mufasir Mu’talizah yang karyanya relatif diterima di kalangan kaum Muslim Sunni. Tafsirnya terhadap sebagian ayat yang dianggap berbeda dari pandangan ortodoksi Sunni menjadikannya rentan terhadap berbagai tuduhan.

Di kalangan mufasir Sunni, ayat 82 surat al-An’am (“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”), kata “kezaliman” diartikan “syirik.” Dalam Al-Qur’an terjemahan bahasa Indonesia yang saya punya, setelah kata “kezaliman” ditambah “syirik” dalam kurung.

Para mufassir Sunni meyakini, pemaknaan “kezaliman” dengan “syirik” itu diajarkan oleh Nabi sendiri, yakni dirujukkan pada ayat 13 surat Luqman. Inilah mengapa pentingnya membaca Al-Qur’an dengan referensi silang.

Baca Juga  Fenomena Dua Laut yang Tidak Menyatu Perspektif Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dan Fisika Modern

Rupanya ada beberapa contoh di mana Nabi mengartikan ayat Al-Qur’an dengan referensi silang pada ayat lain. Hal inilah yang sedang saya lakukan sekarang dan akan segera terbit (Karya terbaru berjudul Al-Qur’an with Corss Reference).

Menariknya, Zamakhshari tidak mengartikan “kezaliman” dengan “syirik”, melainkan “kemaksiatan.” Alasannya adalah adanya kata “mencampuradukkan.”

Sebagaimana pada gambar di atas, argumen mufasir abad ke-12 ini memang tidak begitu jelas. Mungkin penjabarannya begini: iman tidak bisa dicampuradukkan dengan syirik, tapi bisa dicampuradukkan dengan kemaksiatan.

Maksud “dicampuradukkan”, seseorang tidak bisa menjadi Muslim sekaligus berbuat syirik, tapi bisa tetap Muslim walaupun melakukan kemaksiatan. Sebab, siapa yg tak pernah melakukan maksiat dalam hidupnya?

Pemaknaan seperti ini sejalan dengan paham Mu’tazilah yang dianutnya: Seseorang yang melakukan dosa besar (seperti syirik) tidak lagi berstatus Muslim (walaupun juga bukan kafir). Ia berada di antara dua posisi. Itu doktrin penting Mu’tazilah.

Dikusi antara Razi dan Zamakhshari

Kenyataan bahwa Zamakhshari tidak memahami ayat tersebut sesuai hadis Nabi menyulut reaksi dari berbagai mufassir Sunni. Satu abad setelah Zamakhshari hidup, Razi menyorot tajam tafsir Zamakhshari karena mengabaikan hadis Nabi. Diskusi Razi sangat detil dan cukup “terpelajar”.

Dia membela mazhab Sunni, bahwa seorang Muslim yang melakukan dosa besar tetaplah berstatus Muslim. (Maka, kalau ada orang sekarang gampang mempertanyakan identitas ke-Muslim-an orang lain yg berbeda pendapat, perlu dipertanyakan dia masih Sunni atau bukan hehe.)

Beberapa Kritik dan Tuduhan Lain kepada Tafsir Zamakhshari

Adalah Abu Hayyan dari Andalusia yang mempersoalkan tafsir Zamakhshari karena dianggapnya berbasis sektarian.

Di masa modern, reaksi terhadap Zamakhshari lebih menekankan keterbatasan akal untuk memahami teks Al-Qur’an. Pada abad ke-19, Syaukani dari Yaman mengkritik Zamakhshari dengan argumen bahwa akal tak bisa menyangkal penjelasan Nabi.

Baca Juga  Benarkah Akal Perempuan Lebih Rendah Daripada Laki-Laki?

Dari awal abad ke-20, bahasa yang digunakan mulai berubah. Qasimi dari Suriah, misalnya, menuduh Zamakhshari berhalusinasi (hadzaya) dengan tafsirnya itu.

Dia mengatakan dalil ulama-ulama Sunni itu bersifat qath’i dan tak bisa ditolak. Dia bahkan menganggap setiap upaya menolak dalil tafsir Sunni sebagai “fitnah yang sadis” (buhtan ‘adhim).

Yang Bisa Dipetik dari Kasus Tafsir Zamakhshari

Dua hal bisa digaribawahi dari kasus Zamakhshari ini. Pertama, betapa sensitifnya soal otoritas Nabi, terutama di mata ulama tradisional. Ini bisa menjelaskan reaksi keras ulama konservatif terhadap Abu Zayd dan Mahdawi, yang juga tidak merujuk kepada hadis.

Kedua, penggunaan bahasa dalam berdebat. Walaupun berdebat keras, Razi tidak pernah menyebut nama Zamakhshari. Dia mengarahkan kritiknya kepada Mu’tazilah sebagai sekte teologis.

Bahkan Syaukani yg mulai menggunakan bahasa kasar, dia tak menyebut nama Zamakhshari melainkan “shahib al-Kasysyaf” (penulis kitab al-Kasysyaf). Baru dari awal abad ke-20, bahasa perdebatan mulai vulgar, seperti terlihat dalam tafsir Qasimi.

Bahasa lebih vulgar lagi terlihat dalam karya-karya penulis modern di Mesir, seperti Dzahabi, Rumi, dan ‘Affani, yang menggambarkan mufasir Qur’anis dengan deskripsi yang sangat buruk.

Misalnya, ateis atau dajjal. Jadi, menuduh seseorang sebagai “rasionalis” saja mulai dirasa tidak cukup. Atau, bagi mereka, jangan-jangan ateisme dan rasionalisme itu sama saja?

Saya sendiri lebih menikmati membaca reaksi keras ulama-ulama Sunni dulu, seperti Razi dan Abu Hayyan, dibandingkan membaca karya-karya Dzahabi atau Rumi, apalagi ‘Affani.

Kritik mereka yang disebut belakangan ini hanya keras dari segi bahasa, tapi lemah dari sisi argumentasi, jika tak boleh dikatakan memang tak ada argumennya.

Tulisan ini pernah diunggah di laman Facebook Mun’im Sirry dan mendapat persetujuan untuk disunting dan diterbitkan kembali di website IBTimes.ID

Editor: Yahya FR

Mun'im Sirry
4 posts

About author
Mun’im Sirry is assistant professor of theology at Notre Dame University with additional responsibilities for the Contending Modernities research project. He earned his Ph.D. from the University of Chicago Divinity School (2012).
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds