Perspektif

RUU HIP, Pancasila, dan Munculnya Interpretasi Baru

3 Mins read

Di tengah kesibukan bangsa ini menghadapi bencana pandemi, berbagai hal yang menghebohkan mencuat ke permukaan publik. Salah satunya adalah ikhwal RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). RUU ini merupakan salah satu dari sekian banyak RUU yang terpaksa harus “diintervensi” oleh pemilik kedaulatan tertinggi dalam demokrasi kita, rakyat Indonesia. Yang dalam hal ini dipelopori oleh tiga organisasi keagamaan terbesar yaitu Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

RUU HIP dan Pancasila

Jauh sebelum RUU HIP muncul ke permukaan, Pancasila melalui perjalanan dalam sejarah yang cukup berliku.

Pancasila bermula dari 1 Juni 1945. Diawali oleh pidato Ir. Soekarno, yang kemudian dikenal dengan dasar negara yang pada waktu itu belum disempurnakan. Yang mana urutannya yaitu kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri-kemanusiaan, persatuan dan kesatuan, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang Maha Esa. Kemudian pada tanggal 22 Juni 1945 kembali dirumuskan oleh panitia Sembilan (Panitia kecil BPUPKI) yang saat itu dirumuskan di kediaman Bung Karno.

Tim kecil ini berisi sembilan tokoh yang dianggap mewakili dua kelompok penting , yakni nasionalis sekuler dan nasionalis agama. Mereka adalah Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, dan Mr. Muhammad Yamin.

Kemudian hasilnya berbeda dari pidato 1 Juni versi Bung Karno. Hal ini dapat dilihat dengan adanya penambahan tujuh kata pada sila pertama. Yakni  Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Lalu kesepakatan ini dikenal dengan Piagam Jakarta.

Namun kemudian pada tangal 18 Agustus 1945, kembali diubah menjadi Pancasila. Perubahan ini berkat saran dari Hatta kepada kelompok Islam. Hal ini didasarkan atas usulan perwakilan dari Indonesia Timur yang non-Muslim.

Baca Juga  Kyai dan Pesantren dalam Dinamika Politik di Indonesia

Konsep khilafah tidak akan diurai dalam tulisan ini. Pemahaman khilafah dengan bentuk pemerintahan imperium telah tereduksi dengan bentuk negara Republik yang kemudian dipilih. Adapun pemikiran kalangan islamis-nasionalis mayoritas waktu itu memiliki pemahaman berbeda akan konsep khilafah ala Turki. Sehingga perjuangan kalangan Islamismis-nasionalis hanya difokuskan pada pencantuman paham keagamaan di sila pertama saja dengan perubahannya.

Hasil Kompromi

Dalam perubahan sila pertama ini kemudian menjadikan Pancasila akhirnya memiliki unsur “sekularis” , yang berarti Indonesia tidak dipimpin oleh otoritas kegamaan atau pemimpin agama/ulama (Rahardjo, 1993). Akan tetapi negara memberikan kebebasan kepada warga negaranya untuk memeluk agama dan kepercayaannya serta menjamin, memelihara, dan melindungi pelaksanaan ibadah terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Diterimanya Pancasila merupakan bentuk toleransi dan kompromi yang tinggi dari kalangan islamis-nasionalis pada masa itu. Walaupun akhirnya mereduksi keyakinan beragama yang tinggi dengan cita-cita menjadikan Islam sebagai “perisai” utama dari paham-paham barat yang melenceng.

Untuk memahami ini, umat Islam Indonesia berpendapat bahwa sila pertama merupakan dasar dari semua sendi kehidupan. Hamka dalam Bukunya Urat Tunggang Pancasila menyebutkan perjuangan umat Islam didasarkan kepada tauhid, itulah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan keyakinan bahwa kekuasaan Tuhan adalah mutlak di atas kekuasaan manusia. Sehingga, dengan dasar tauhid ini umat Islam menerima keempat sila lainnya.

Dalam merumuskan Pancasila ini Bung Karno banyak dipengaruhi oleh ideologi Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Jauh sebelum Pancasila dirumuskan, Soekarno telah berdebat dengan M. Natsir mengenai bagaimana dasar negara ini. Mengenai khilafah dimana Bung Karno yang menganut paham Islamisme secara jelas menolak Khilafah .

Munculnya Interpretasi Baru

Atas dasar apa kemudian Bung Karno menolak khilafah? Dalam buku berjudul Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kemal  karya Abdullah Shodiq, di dalamnya memuat paham sekularisme yang dianut oleh Bung Karno. Dimana ia banyak terpengaruh oleh pemikiran Mustafa Kemal

Baca Juga  Covid-19 Adalah Cermin Kita

Negara Pancasila ditegakkan atas falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam dan dapat diaktualisasikan menuju kehidupan yang dicita-citakan umat Islam. Negara Pancasila merupakan konsensus nasional menuju kehidupan yang adil, makmur, dan berdaulat dalam naungan Allah Swt. Pancasila memang bukan agama, namun di dalamnya sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh sebab itu, umat Islam akan sangat terluka apabila Pancasila diubah hingga mengubah makna dan filosofi yang terkandung di dalamnya.

Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, RUU HIP bukan hanya menafikan kesepakatan para pendiri bangsa ini pada tanggal 18 Agustus 1945.Akan tetapi berpotensi membuka sebuah pemahaman baru. Alih-alih memperkokoh pemahaman akan Pancasila, justru malah membuka kembali diskusi-diskusi tentang adanya pengaruh sekularisme di dalam Pancasila. Sehingga kekhawatiran akan kembalinya paham komunis, marxisme/leninisme bahkan khilafah menjadi lebih terang.

Kembalinya pemikiran Trisila dan Ekasila menimbulkan interpretasi baru. Bahwa paham sekularisme mulai masuk ke dalam paham negara yang tentu lawan dari itu adalah konsep khilafah. Oleh karena itu, perlulah RUU HIP ini ditinjau kembali bahkan ditolak. Sehingga tidak akan menimbulkan keresahan di masyarakat dan persepsi negatif akan munculnya paham-paham baru yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

Editor: Nirwansyah/Nabhan

Avatar
6 posts

About author
Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan Ketua Asosiasi Futsal Indonesia Bolaang Mongondow Selatan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds