Sepertinya para pemegang otoritas kekuasaan memang gemar membuat rakyat geram dan terheran-heran. Sifat asli para pemegang kekuasaan itu terlihat ketika berhadapan dengan krisis.
Kata orang bijak, sifat asli seseorang akan terlihat ketika menghadapai hal-hal yang tidak mampu dihadapi, atau ditakutkan. Sepertinya ungkapan itu benar adanya.
Saat ini, publik menghadapi lebih dari pada sekadar pandemik. Publik dihadapkan juga pada sikap dan tindakan pemangku kekuasaan yang selalu mengejutkan. Mulai dari candaan dan kebijakan terkait Corona, perbedaan makna antara “mudik” dan “pulang kampung”, hingga saat ini mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP).
Norma Fundamental Negara
Ketika pertama kali mendengar kabar tentang RUU HIP, saya jadi teringat soal hierarki norma hukum negara oleh Hans Nawiasky. Hans Nawiasky mengelompokkan norma hukum negara menjadi empat kelompok besar yaitu: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara), Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara), Formell Gesetz (Undang-Undnag Formal), Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonom).
Ke-empat kelompok besar tersebut merupakan satu kesatuan hierarki. dengan Staatsfundamentalnorm di paling atas, sampai Autonome Satzung di urutan paling dasar. Dan, masing-masing dibentuk berdasar norma hukum di atasnya, dimana yang paling puncak ialah Staatsfundamentalnorm. A. Hamid S. Attamimi menyebut istilah Staatsfundamentalnorm ini dengan “Norma Fundamental Negara”.
Maria Farida dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Perundang-Undangan 1” menyebutkan, bahwa Norma Fundamental Negara merupakan norma tertinggi dalam suatu negara. Norma ini tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, karena jika norma yang tertingi dibentuk oleh norma yang lebih tinggi, maka ia bukan norma yang tertinggi. Oleh karena itu, ia bersifat “pre-supposed” atau “ditetapkan terlebih dahulu”.
Sehingga, adanya RUU-HIP tentu membuat kita mengernyitkan dahi. Apa bisa Pancasila yang merupakan Staatsfundamentalnorm diatur lewat Undang-Undang, yang merupakan norma hukum dua tingkat di bawahnya?. Sementara UUD NRI Tahun 1945 yang hierarkinya tepat di bahwa Pancasila saja, hanya memuat gari besar dan aturan pokok saja, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Angka IV UUD NRI Tahun 1945. Dengan dibuatnya RUU HIP, entah apa efek sampingnya dalam sistem ketatanegaraan kita.
Pemasalahan RUU-HIP
Banyak yang mempersoalkan tidak dimasukkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dalam konsiderans RUU-HIP. Tentu saja persoalannya lebih dari itu. Jauh lebih dalam dari itu. RUU-HIP juga bermasalah pada “Trisila” dan “Ekasila”, konsep “manusia Pancasila” dan, mengenai penyelenggara tertinggi RUU- HIP, yakni Presiden.
Presiden membawahi organisasi yang mengurus segala hal soal Pancasila. Entah itu memperkuat Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), atau mungkin bakal muncul organisasi Pancasila yang baru. Satu hal yang pasti: kedudukannya tetap berada di bawah Presiden.
Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam pembinaan HIP. Ketentuan tersebut ada pada Pasal 44. Apa arti dari semua ini? artinya Presiden memiliki potensi menggunakan kekuasaannya untuk menafsirkan Pancasila sesuai pemahamannya. Dengan adanya ketentuan yang demikian, kita dapat menyimpulkan hal yang sederhana: Penguasa akan memegang tafsir tunggal atas Pancasila.
Apa yang kemudian akan terjadi? melihat beberapa waktu kebelakang lewat eratnya penguasa dengan klaim tafsir atas Pancasila, maka tidak menutup kemungkinan Pancasila kembali dijadikan alat politik. Kita harus ingat sejarah. Apa yang terjadi pada Pancasila dan Orba dengan asas-tunggalnya tidak boleh terjadi lagi.
Ketika Pancasila dijadikan alat politik penguasa, maka segala kekerasan, kebiadaban, pelanggaran konstitusional akan dinormalisasi atasnya. Besar kemungkian juga buku Pancasila yang serupa dengan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) akan diluncurkan di era ini.
Alhasil, alih-alih bernama ‘Haluan Ideologi Pancasila’, RUU ini lebih cocok disebut ‘Habisi Ideologi Pancasila’.
Pancasila dan Kekuasaan
Tentu, keputusan mengenai RUU HIP ini bukan sesuatu yang mengada-ada, juga bukan sesuatu yang diputuskan secara sembarang. Keputusan mengenai RUU-HIP tentu telah dipersiapkan dan telah dipikirkan dengan terencana dan matang.
Pancasila pernah menjadi alat kekuasaan pada era Orde Baru (Orba), dan mungkin juga pada era Orde Lama (Orla). Orba menjadikan Pancasila sebagai alat kekuasaannya lewat asas tunggal. Indoktrinasi dan politisasi Pancasila secara massif terjadi di era ini. Alasannya: membersihkan bangsa Indonesia dari paham extreme kiri dan extreme kanan.
Di era ini, partai politik dan organisasi kemasyarakatan tidak boleh tidak memakai asas selain Pancasila. Indoktrinasi makin massif ketika buku PMP diluncurkan, dan dibentuknya Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan Pancasila (BP7).
Bebagai upaya menjadikan Pancasila sebagai alat kekuasaan dan ditafsirkan seenaknya mestinya berakhir pasca reformasi. Sekarang, kita disuguhkan kembali serentetan peristiwa yang lebih kurang mirip dengan era Orba dan Orla; dimana Pancasila ditafsirkan oleh elite kekuasaan.
Semua berawal ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpidato pada hari lahir Pancasila 2017 lalu. Dalam pidato tersebut, Presiden menyoalkan adanya usaha untuk mengganti ideologi Pancasila dan bahaya radikalisme serta konflik sosial. Pidato tersebut diakhiri dengan jargon “Saya Indonesia, Saya Pancasila!”.
Setelahnya, serentetan peristiwa terjadi susul-menyusul dalam waktu yang tidak lama: kampanye “Saya Indonesia, Saya Pancasila!”, penetapan hari lahir Pancasila sebagai hari libur nasional, pembubaran Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) karena pertentangannya dengan Pancasila, pembentukan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), hingga pembentukan RUU-HIP.
Kampanye “Saya Indonesia, Saya Pancasila!” membuat orang mudah menempatkan Pancasila di bibir, tapi belum tentu di hati. Apa urgensi ditetapkannya tanggal 1 Juni sebagai hari libur nasional? Apakah Perppu Ormas benar-benar telah memenuhi syarat “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana syarat sahnya suatu Perppu? Apa fungsi BPIP dan, untuk apa banyaknya dana yang diberi? Apa dan mengapa RUU-HIP dibentuk?
***
Kalau kita perhatikan, elite kekuasaan sekarang sangat erat dengan Pancasila. Erat, tentu tidak dipahami dengan betapa Pancasilaisnya elite kekuasaan. Apa yang saya maksud dengan erat, ialah erat kaitannya dengan klaim sepihak tafsir Pancasila. Walaupun, kelihatannya tafsir Pancasila oleh elite kekuasaan hanya sebatas ritual dan retorika belaka, ketimbang muatan dan pengamalannya.
Imbasnya, masyarakat seolah-olah terbelah menjadi dua kelas: Pancasilais dan anti-Pancasila. Orang-orang banyak mengikuti kampanye Presiden. Tidak salah memang. Namun, sebagian kemudian menggunakan kampanye Presiden untuk menggebuk lawan-lawannya dengan menuduh yang lain “anti-Pancasila” sembari mengaku “Saya Pancasila’.
Rupanya Pancasila masih dimitoskan oleh banyak kalangan. Menurut Kuntowijoyo, Pancasila yang dimitoskan hanya efektif secara politis, tapi tidak yang lain. Dan oleh karena hanya efektif secara politis, maka Pancasila juga bisa dipolitisasi.
Pancasila itu pemersatu, bukan alat pemecah.
Editor: Dhima Wahyu Sejati