Oleh: Erik Tauvani*
Beberapa waktu yang lalu pada Kamis, 25 Juli 2019, seorang sahabat memberi kabar bahwa Buya Syafii Maarif sedang dirawat inap di rumah sakit PKU Muhammadiyah Gamping sejak sehari sebelumnya.
Saya yang saat itu sedang berada di Tulungagung mengontak Buya secara langsung. Ingin memastikan keadaan. Namun Buya tetaplah Buya yang tidak mau merepotkan orang.
Saya: “Buya, saat ini Buya sedang di PKU, kah? Bagaimana keadaan Buya?”
“Anda tidak perlu khawatir,” jawab Buya.
“Siapa yang antar Buya ke PKU? Saya sedang di Tulungagung, Buya.”
“Banyak sahabat di muka bumi,” jawabnya lagi.
“Sekarang yang menemani Buya di PKU siapa?”
“Istri.”
Buya melanjutkan: “Rik, jangan beri tahu siapapun.
“Baik, Buya, saya berdoa agar Buya lekas sembuh. Buya harus tetap sehat dan kuat.”
Beberapa saat kemudian, tak lama berselang, kabar tentang Buya disertai foto menyebar begitu cepat di grup-grup WA.
Saya tidak tahu dari mana asalnya. Dalam hitungan menit, pesan WA dan telfon berjubun masuk ke HP saya. Saya berusaha merespon dengan jawaban yang diketahui, tidak kurang dan tidak lebih.
Namun, karena beberapa alasan, akhirnya HP harus dinonaktifkan dalam waktu dua hari dua malam.
Pada hari Ahad, 28 Juli 2019, sekitar pukul 10.00, saya berada di ruang tempat Buya dirawat. Kami hanya berdua dalam waktu yang cukup lama. Di sini, Buya bercerita banyak bagaimana ia ditembak di ginjal memakai gelombang kejut sebanyak 3569 kali selama sekitar satu jam di RS AU Ardjo Lugito. “Rasanya seperti digigit semut angkrang, tapi saya bisa tahan,” kata Buya. Tiga batu yang bersarang di ginjal bisa dihancurkan dan mengalir bersama urine, tanpa harus operasi bedah.
Setiap hari tamu berdatangan. Kata Buya “Tadi malam sahabat saya datang sendirian. Seperti biasa, kami berdebat. Kadang-kadang suara saya naik juga. Istri sampai takut hahaha. Dari dulu kami seperti ini. Tidak pernah berubah sejak sama-sama di Chicago dulu.”
Buya melanjutkan: “Saya tetap hormat dengan dia. Dia banyak berjasa dalam hidup saya. Tau nggak, Rik, dia bilang apa ke saya tadi malam? Dia bilang “I love you hehehe”
Sambil bercerita tentang pengalamannya selama dirawat di sini, Buya juga memberi nasihat-nasihat kehidupan. Ia terkenang dengan perjalanan hidupnya yang berkelok-kelok, hidup dalam damai dan perang, yang pada akhirnya ia terdampar ke tepian semata-mata karena belas kasihan ombak. “Rik, walaupun berliku, jalan hidup anda masih jauh lebih baik dari pada saya. Itu harus anda syukuri.”
Saya meminta maaf kepada Buya karena berita tentang dirawatnya Buya di PKU telah tersebar demikian cepat melalui medsos. Buya sangat memahami bahwa di era medsos orang hampir tidak mungkin mampu membendung sebuah informasi yang telah tersebar.
Ada hikmahnya. Ternyata banyak sekali orang yang perhatian, meskipun ada sebagian yang justru senang melihat Buya sakit dan mendoakan yang tidak baik. Kepada mereka, Buya tetap membuka pintu maaf.
“Bagaimana perasaan Buya selama lima hari dirawat di rumah sakit?” tanyaku
“Saya kangen makan tengkleng, hehehe” jawab Buya
Dokter mangatakan bahwa Buya pulih dengan sangat cepat. Alhamdulillah. Pada Senin, 29 Juli 2019, pukul 09.30, Buya meninggalkan rumah sakit. Pukul 10.00 WIB, Buya telah sampai di rumah. Tamu-tamu masih terus berdatangan. Pada Selasa, 30 Juli 2019, setelah sebuah rombongan tamu selesai dari membesuk Buya, saya bertanya kepada Buya:
“Buya, setelah ini, Buya masih harus banyak istirahat, kan? Kan nggak mungkin Buya ke Jakarta seperti biasanya.”
“Saya mau pit-pitan keliling kampung,” jawab Buya, sambil menunjukkan gaya orang bersepeda.
Semoga Buya sehat selalu.
*Dosen LPSI UAD, Guru Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta