Momen maulid nabi menjadi hari yang dinantikan sebagian masyarakat Indonesia. Tak jarang perayaan itu berkaitan erat dengan melestarikan budaya lokal Nusantara yang beragam. Setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi perayaan maulid ini. KH. Hasyim Asy’ari selaku pendiri Nahdlatul Ulama sangat mendukung peringatan kelahiran Nabi Saw dengan batasan-batasan tertentu.
Namun kebanyakan praktik-praktik yang mengaku budaya dari warga NU yang beredar sekarang ternyata berbanding terbalik dengan pandangan pendiri ormas terbesar di Indonesia itu.
Menariknya lagi, pandangan Hasyim Asy’ari justru beriringan dengan Muhammadiyah dalam menyikapi perayaan maulid nabi. Di mana letak kritik Hasyim Asy’ari terhadap maulid dan kesamaannya dengan Muhammadiyah? Yuk mari kita bahas!
Menyikapi persoalan maulid, KH. Hasyim Asy’ari memiliki kitab khusus yang berjudul al-Tanbihat al-Wajibat Li Man Yashna’u al-Maulid Bi al-Munkarat. Kitab ini berisi sekitar 63 halaman, sehingga arah pembahasannya jelas. Dalam mukadimahnya, Hasyim Asy’ari melihat fenomena perayaan maulid di masyarakat begitu banyak maksiat dan hal-hal yang sia-sia terletak di sana.
Di antara bentuk maksiatnya adalah adanya saling pukul dan tangkis yang mereka sebut dengan pencak silat yang diiringi rebana (bahasa Jawa: terbang). Semua itu mereka lakukan di hadapan wanita-wanita ajnabiyyah (bukan mahram).
Lalu terdapat saterik (sandiwara kuno), musik, bahkan judi. Ikhtilat antara pria dan wanita pun tidak terelakkan. Parahnya, mereka berjoget bersama dalam canda tawa, mengeraskan suara, dan berteriak-teriak di masjid seakan-akan tidak memiliki adab di dalam masjid. Praktik-praktik seperti inilah yang ditentang keras oleh Hasyim Asy’ari (al Asy’ari 1996, 7–10).
Kemaksiatan-kemaksiatan itu tidak hanya terdapat pada masanya, tetapi di era kekinian pun banyak terjadi terutama di daerah pedesaan yang kerap kali ditemukan adanya percampuran praktik keagamaan dengan budaya setempat.
Bukannya menolak budaya, Hasyim Asy’ari justru begitu mencintai budaya sebagaimana pakaian khas yang sering ia pakai. Akan tetapi ketika budaya dan nafsu itu didahulukan ketimbang nilai-nilai agama, maka kritik itu dikeluarkan oleh Hasyim Asy’ari.
Syekh Ibnu al-Hajj al-Faiy dalam kitab Hasyiyah-nya yaitu Mayyarah mengatakan “sesungguhnya menggunakan sesuatu untuk mengagungkan bukan pada tempatnya adalah haram”. Hasyim Asy’ari menyimpulkan hal tersebut berlaku untuk keharaman dan dosanya pada kegiatan dan benda-benda yang digunakan untuk menyakiti atau menghina Nabi Saw.
Muhammadiyah dalam pendiriannya tentang maulid tidak langsung menghukumi sesat secara keseluruhan. Pendirian/sikap yang ditunjukkan Muhammadiyah ini tidak terlepas dari tokoh reformis seperti Rasyid Ridha dan temannya, Thahir Jalaluddin. Keduanya memiliki karya besar, yaitu jurnal al-Manar milik Rasyid Ridha dan jurnal al-Imam milik Thahir Jalaluddin.
Dua jurnal tersebut telah tersebar luas di Indonesia terutama sebagai alat kritik terhadap fenomena maulid yang nyeleneh. Singkat cerita, Thahir Jalaluddin mengajak tiga muridnya untuk mengimplementasikan al-Imam di Sumatera Barat. Mereka adalah Syekh Djamil Jambek (w. 1947), Abdul Karim Amrullah / Haji Rasul (w. 1945), dan Abdullah Ahmad (w. 1933).
Dalam al-Imam disebutkan bahwa hukum membaca kitab maulid termasuk bid’ah dan haram untuk mempraktekkannya (As’ad 2017, 582–583). Buah-buah pemikiran ulama-ulama di Sumatera inilah yang kemudian diadopsi dan menginspirasi Muhammadiyah dalam menyikapi maulid.
Pada tahun 1921 Muhammadiyah dalam Majalah Suara Muhammadiyah membolehkan dengan syarat bahwa pelaksanaan tersebut menjadikan umat muslim menjadi lebih baik. Pendapat ini masih membolehkan adanya pembacaan kitab Barzanji.
Kemudian memasuki abad ke-21 dalam majalahnya, kritik Muhammadiyah mulai muncul terhadap maulid yang di dalamnya terdapat pembacaan salawat-salawat yang tidak ada dasarnya. Sehingga banyak para penulis yang mengarang salawatnya sendiri, termasuk di dalamnya adalah kitab Barzanji (As’ad 2017, 587).
Secara tidak langsung Muhammadiyah membolehkan perayaan maulid nabi, bahkan pada hari tersebut sering dijadikan momen untuk perlombaan, tabligh akbar, dan lain-lain.
Persamaan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dengan Muhammadiyah terlihat dalam memaknai maulid sebagai ijtihad dan perkara muamalah duniawiyah dengan membatasi peringatan maulid hanya boleh pada hal-hal yang dipahami sebagai ungkapan rasa syukur dengan melakukan amal-amal saleh seperti membaca al-Qur’an, bersedekah, memberi makan orang lain, mendendangkan syair, membacakan sirah-sirah nabawiyyah, mengadakan tausiyah, mengadakan perlombaan islami dan lainnya yang dapat menggerakkan hati untuk melakukan amalan baik (al Asy’ari 1996, 21).
Dengan demikian Hasyim Asy’ari dan Muhammadiyah tidak melarang secara peringatan, tetapi keduanya menilai dari tata cara memperingatinya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lamu bi al-Showab.
Editor: Soleh