Alkisah di Australia, perusahaan-perusahaan media makin semaput. Banyak yang gulung tikar bahkan bangkrut. Bagaimana tidak, orang sudah enggan membaca koran, apatah lagi membayar untuk berlangganan.
Perusahaan pengiklan (advertiser) pun mulai menjauhi media massa yang pernah dibesarkannya. Alhasil, pemasukan media makin mengecil. Banyak yang kini sekadar bisa bertahan dalam bentuk digital. Tapi itupun kian terancam.
Adalah platform digital raksasa yang kini menyapu bersih segalanya: pembaca, sumber berita, pengiklan, dan juga pemupuk big data. Google dan Facebook menjadi tersangka utama. Karena merekalah bisnis media nasional terancam.
Undang-Undang Media & Platform Digital
Perusahaan media pun berpakat dengan anggota Dewan legislatif negeri Kanguru. Dan pada Juli 2020, palu legislatif diketok untuk memulai pembahasan RUU baru yang berlaku bagi penyedia platform digital, khususnya Google dan Facebook. Dalam bahasa aslinya, undang-undang itu bernama “Treasury Laws Amendment (News Media and Digital Platforms Mandatory Bargaining Code) Act 2021.” Undang-undang ini telah disahkan oleh parlemen Australia pada 26 Februari 2021, dua hari yang lalu. Komisi Kompetisi dan Konsumen Australia menjadi ujung tombak eksekusi.
Menurut UU ini, media digital seperti Facebook dan Google akan diwajibkan membayar sejumlah kompensasi kepada perusahaan media nasional jika ingin mempublikasikan berita yang ditambang dari media nasional Australia. Jika tidak ada kesepakatan, maka pihak berwenang melalui badan arbitrase nasionalnya akan mengenakan kewajiban kompensasi finansial itu.
Dua Mata Pisau
Di satu sisi, peraturan ini akan menguatkan posisi tawar perusahaan media Australia dan memberikan nafas baru untuk survival mereka. Di sisi lain, peraturan ini menambah daftar panjang pertelagahan antara platform swasta dan unsur negara dalam blantika pengaturan ruang siber.
Menurut saya yang terpenting adalah wujudnya peran pembelaan dan keberpihakan negara terhadap industri lokal. Tak ayal, laksana Robin Hood yang ingin mengembalikan ekonomi kerakyatan. Kita di Indonesia merindui keberpihakan seperti ini, padahal kita punya aset yang mereka ingini: 270 juta manusia yang 60 persennya sudah melek Internet dan media sosial dan aktif bertransaksi digital.
Meskipun memang bukan tanpa risiko dan perlawanan!
Di Australia, Facebook memboikot pemberitaan dari media Australia untuk beberapa hari, sehingga menginterupsi komunikasi, transaksi dan bahkan diplomasi digital negara benua itu. Menarik memang melihat bule perang lawan bule. Walakin, perlawanan ini tidak kekal lama, karena Facebook menyadari langkah itu bisa jadi bumerang bagi mereka sendiri. Akhirnya mereka bersiap menuju meja perundingan.
Asa Negara Robin Hood
Belakangan ini, beberapa perusahaan media veteran di Indonesia seperti Bernas, Tabloid Bola, Tabloid Cek & Ricek, Koran Tempo, Indo Pos, dan terakhir, koran Suara Pembaruan, yang dulu selalu menyapa rumah kami setiap sore, menghentikan penerbitan hard-copynya setelah puluhan tahun berkhidmat. Mereka bermigrasi ke versi digital, dan sebagian malah masih menggunakan metode langganan online berbayar. Entah sampai kapan bisa bertahan. Yang jadi persoalan, hatta dalam dunia digital, mereka masih harus bersaing dengan berbagai saluran informasi yang gencar menyebarkan berbagai paket berita.
Sementara masyarakat kita makin percaya pada media sosial atau pesan ringkas yang serba cepat tanpa sekat, mengalir tanpa etika jurnalisme sehingga membuka lebar-lebar pintu misinformasi dan disinformasi. Demi kesehatan informasi publik, kita perlu media dan pemberita yang bertanggungjawab, yang memegang kode etik jurnalistik dan transparan.
Akankah negara Robin Hood menawarkan secercah harapan?
Editor: Ulin