Kau boleh memilih bersama orang yang pandai agama, asalkan dia baik. Jika hanya pandai agama tapi tidak baik khawatir dia menyakitimu dengan dalih agama. Kira-kira begitulah yang disampaikan Bu Nur Rofiah, seorang pegiat kajian keadilan gender dalam Islam yang cukup vokal di berbagai media.
Dari pernyataan tersebut, mengingatkan saya pada kisah pengalaman seorang teman, sebut saja Siti (bukan nama sebenarnya) yang sedang mengikat hubungan dengan seorang santri (untuk selanjutnya kita sebut Ojet) yang pandai baca Arab gundul atau orang-orang menyebutnya kitab kuning. Intinya menurut Siti, dia pintar dalam hal agama. Hal ini bukan sekedar omong kosong belaka, namun dibuktikan melalui berbagai macam rupa postingan yang kerap menghiasi dinding portal media sosialnya yang dipenuhi kalam hikmah ulama baik berupa bahasa Arab maupun petuah-petuah berbahasa Indonesia yang sangat ciamik, ceramah-ceramah keagamaan dan sebagainya. Bahkan turut sering menjadi pengisi acara dalam beberapa halaqah-halaqah keagamaan sebagai ustaz.
Saya tidak begitu mengetahui bagaimana proses PDKT-an antara Siti dan Ojet berlangsung, dan bukan ini poin yang ingin disampaikan. Mereka belum pernah bertemu secara fisik, kecuali hanya perjumpaan maya yang mengikat mereka. Sama-sama sebagai mahasiswa di kampusnya masing-masing. Siti sebagai mahasiswi di kampus Islam Negeri nun jauh di sana, sementara si Ojet di kampus Swasta yang kebetulan tinggal di Pesantren sambil lalu mengajar santri-santrinya.
Sebelum menuju pada inti kisah, sebaiknya kita mengenal siapa dan bagaimana karakter si Siti ini agar tidak kehilangan teks dan konteksnya sekaligus. Siti merupakan seorang yang aktif dan giat mengikuti kegiatan-kegiatan intra dan ekstra kampus. Biasanya orang seperti Siti familiar dengan sebutan aktivis. Hingga akhirnya, Siti memilih untuk menceritakan semua kisah kasih hubungannya dengan si Ojet kepada saya.
***
Singkat cerita, si Ojet ini sering menge-share poster-poster dan ceramah-ceramah yang berkaitan erat dengan bagaimana menjadi sosok wanita idaman dalam Islam atau istri shalehah. Hingga akhirnya lahir pernyataan dari si Ojet yang terejawantah dalam larangan-larangan yang yang mengekang Siti dengan segala aktivitas-aktivitasnya yang dianggapnya kurang ideal dan dalam hal ini kurang shalehah dalam kacamata Ojet.
Contohnya seperti kamu kan perempuan, mengapa kamu sering pulang malam, terlebih di situ terjadi ikhtilath (bercampur) dengan para laki-laki? Padahal sudah jelas dalam firman-Nya dilarang dan diharamkan!” Bahkan yang paling tidak wajar adalah saat Siti hendak berkunjung ke Pantai dengan teman-temannya yang sudah disepakati di hari tanggal yang telah ditentukan dan telah siap berangkat. Namun saat Siti mengabarkan ke Ojet bahwa dia hendak ke pantai. Dan si Ojet melarangnya, lagi-lagi disajikan dengan ayat-ayat beserta hadistnya.
Di satu sisi, Siti begitu sayang kepada Ojet, dan di sisi lainnya Ojet selalu memberikan jeruji yang tidak memberikan kebebasan gerak dengan argumen teologis yang menurutnya tidak sesuai dengan rel kesalehan. Padahal Siti bukanlah orang yang neko-neko yang hendak berbuat tindakan yang tidak senonoh, tapi karena memang sejak awal dia aktif di berbagai kegiatan entah itu rapat atau kegiatan kampusnya. Tujuannya mantai dengan teman-temannya sekadar liburan untuk melepas penat dari rutinitas kegiatannya yang melelahkan sebagai self-reward untuk dirinya.
Semakin hari dan semakin lama Ojet berupaya untuk mengubah Siti sesuai parameter kesalehan yang dipahaminya. Lagi-lagi dibuhuhi argumen-argumen teologis, dengan diiringi ayat-ayat dan dihiasi dengan nukilan hadits-hadits untuk meyakinkan Siti agar menyambutnya dengan baik segala bentuk ajakan yang kedoknya meraih indikator wanita salehah yang diidentik dengan tidak boleh banyak beraktivitas di luar karena dianggap tidak baik dan penuh fitnah.
***
Sehingga dari fenomena tersebut, dengan tandas saya memberikan suatu pernyataan yang menghindari segala bentuk penghakiman; Seseorang yang mencintai mu tidak akan pernah mengubah mu menjadi seperti orang lain yang benar-benar bukan dirimu. Baik dengan dalih apapun, termasuk mencatut dalil-dalil teologis itu sendiri. Orang yang mencintai mu, tentu akan mendukung segala pilihan yang kamu cintai, bukan malah merenggut setiap kebebasan yang diinginkan. Dengan kata lain, dia hanya mencintai apa yang ada dalam dirinya yang mewujud menjadi standar yang dimilikinya bukan menerima setiap apa yang ada pada mu”.
Terkadang ini yang sering kali terjadi menimpa siapa saja, berupaya mengubah seseorang dengan dalih ajaran agama menuju jalan kesalehan menurut versinya dan sesuai standar pemahaman keagamaannya. Jika dilihat dengan hati-hati, segala bentuk cara yang digunakan tersebut merupakan salah satu perbuatan kekerasan yang dibalut agama, yang berupaya merenggut kebebasan untuk melakukan yang diinginkannya. Apapun dalihnya, jika hal tersebut merupakan kekerasan atau suatu tindakan yang merugikan orang lain tidak dapat dibenarkan. Dan saya merasa Islam tidak sebegitu menyeramkan dalam mengatur perempuan hingga muncul anggapan umum yang menjadikan perempuan indah dan salihah bila hanya berdiam di rumah terus-menerus. Perempuan yang keluar rumah sudah pasti keluar dari jalur kesalihan.
Jika misal tolok ukur kesalihan perempuan dilihat dari seberapa sering mereka di dalam rumah, tentu akan banyak perempuan-perempuan yang di luar sana dinyatakan tidak salihah. Hal semacam ini juga dabatable (dapat diperdebatkan) yang telah dirumuskan oleh para ulama dan menuai jawaban pro dan kontra. Terlalu egois rasanya bila segala kegiatan dalam ranah publik dikerjakan oleh laki-laki semua. Padahal para perempuan juga dibekali potensi yang sama dan sama-sama memiliki kemampuan menuju kehidupan yang lebih baik ke depannya.
***
Fenomena seperti ini, terdapat sebuah pemahaman yang salah dalam memahami orang yang paham agama. Sehingga orang yang dianggap paham agama lebih cenderung tersemat pada mereka yang lihai mengutip ayat ini dan hadis itu. Akibatnya malah memakai dalil-dalil untuk meligitimasi kekerasan dalam pacaran dengan dalil-dalil teologisnya.
Padahal jikalau kita mau menelaah lebih jauh, seharusnya orang yang dianggap memahami agama Islam adalah mereka yang benar-benar mengeruk nilai esensial dan buah manis dari agama itu sendiri, yakni akhlak. Cakap memainkan ayat-ayat hanyalah kulit permukaan yang belum menyentuh aspek-aspek esensial. Jika saja parameter kecakapan dalam memahami Islam yang kaffah ditinjau dari seberapa banyak ayat hadis yang dinukil, tentu saja para teroris yang memekik takbir Allahu Akbar menemukan pijakan dalilnya yang menurutnya akan beroleh surga dan titah suci yang diberikan Allah.
Dengan demikian, parameter kesalihan dan kecakapan seseorang dalam memahami Islam bukan hanya dilihat dari bagaimana ia memainkan ayat-ayat dan hadits nabi. Namun, dapat dilihat dari bagaimana ia memperlakukan segenap pilihan yang dipilih, menghargai dan mendukung seluruh pilihan kita sejauh itu memberikan kebermanfaatan bagi kita dan orang lain. Ini bukan tentang menyalahkan dalil, tapi agar tidak terjadi lagi ayat-ayat yang digunakan untuk melegitimasi kekerasan atau pun menyakiti kita dengan dalih agama.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Editor: Yahya FR