Riset

Evolusi Kebudayaan: Tidak Ada Bangsa Pilihan

4 Mins read

Ada pola hubungan saling mempengaruhi dalam proses pembentukan budaya suatu bangsa. Ini sejalan dengan diktum sejarah, bahwa “sejarah tidak pernah lompat dari ruang kosong”, maka demikian pula budaya, ia tidak mungkin ada dengan sendirinya.

Lewat interaksi intensif antar aktor dalam sejarah yang berbeda latar belakang budaya, maka terbentuklah proses gesekan (akulturasi) maupun peleburan (asimilasi) antar budaya. Maka terjadilah apa yang disebut “evolusi kebudayaan.” Menariknya, jalan ke arah ini dilakukan dengan cara damai maupun kekerasan. Mari kita lihat bagaimana babakan historis ini berjalan dalam beberapa kasus sejarah peradaban besar dunia, seperti Persia dan Romawi.

***

Mari kita sejenak menerawang jauh ke belakang, membaca kisah bangsa-bangsa terdahulu memiliki tradisi unik, yaitu berekspansi. Tradisi nan unik ini sebenarnya mengingatkan kita pada pesan Al-Quran surat Al-‘Ankabut ayat 56 bahwa bumi Allah SWT itu luas sehingga meniscayakan aktivitas hijrah, menjelajahi berbagai belahan dunia—dalam rangka untuk bisa bertahan hidup.

Suatu bangsa melakukan pengembaraan panjang melewati berbagai belahan dunia disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, krisis pangan. Pada awal Millennium Ketiga Sebelum Masehi, suku-suku di Arab Utara mengalami krisis paceklik sehingga mendorong mereka untuk berekspansi ke tepi Laut Tengah. Setelah menetap di tepi Laut Tengah, mereka beradaptasi dengan baik dengan kebudayaan Sumeria.

Bangsa Sumeria sudah mencapai taraf hidup makmur dan peradaban mereka cukup maju. Suku-suku Arab yang berhasil beradaptasi dengan baik di kawasan ini membentuk sistem sosial tersendiri sekalipun pengaruh kebudayaan Sumeria cukup besar. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai bangsa Akkad.

Kedua, faktor populasi yang tak terkendali. Kawasan tepi Laut Tengah merupakan wilayah yang amat sempit. Populasi penduduk dari berbagai macam etnis mulai tak terkendali. Sebagian penduduk memilih untuk melakukan ekspansi menjamah Daratan Elam (Azerbaijan). Sebagian dari mereka terus melakukan pengembaraan panjang mencapai Yunani, Italia, Skandinavia, dan Jerman. 

Baca Juga  Salafisme dan Etno-Religion yang Gaduh di Balkan

Ketiga, faktor kalah bersaing secara politik dengan bangsa lain. Pada menjelang Abad Ketigabelas Sebelum Masehi, orang-orang Yunani-Mycenaean telah kehilangan simbol peradaban mereka. Kerajaan Mycenaean diserbu oleh orang-orang laut dari Kreta dan Anatolia. Setelah kehancuran simbol kejayaan peradaban Mycenaean, hampir seluruh penduduknya menjadi bangsa pengembara yang tidak memiliki tempat tinggal.

Keempat, kalah bersaing secara kebudayaan dengan bangsa lain. Pada sekitar tahun 814 SM, orang-orang Yunani-Mycenaean berhasil bekerjasama dengan baik bersama orang-orang Fenisia. Bukti keberhasilan kerjasama dua etnik ini ketika membangun peradaban Kartago di pantai Utara Afrika.

Pada akhir Zaman Aksial (800-200 SM), orang-orang Yunani-Mycenaean yang kalah dari segi kebudayaannya dengan bangsa Kanaan membangun sebuah kota di Semenanjung Italia. Inilah yang kemudian disebut kota Roma. Mereka yang menetap di kota ini merupakan generasi penerus peradaban Yunani-Mycenaean (peradaban Hellenisme).

***

Setiap bangsa memiliki tradisi tersendiri yang biasanya diwarisi dari nenek moyang mereka. Seperti bangsa Persia dan Romawi yang pada Zaman Aksial menjadi kekuatan peradaban dunia. Mereka memiliki kebudayaan yang telah dianggap mapan, yang sesungguhnya memiliki hubungan etnik-kultural dengan nenek moyang masing-masing.

Peradaban Persia merupakan kelanjutan dari peradaban bangsa Arya yang menetap di sepanjang tepian sungai Kaukasia. Proses evolusi kebudayaan bangsa Arya terus berlanjut seiring dengan berkembangnya populasi manusia dan ditemukannya kawasan-kawasan baru.

Begitu juga bangsa Romawi merupakan kelanjutan dari peradaban Yunani kuno pasca runtuhnya kerajaan Yunani-Mycenaean. Proses evolusi kebudayaan Yunani kuno berlangsung seiring dengan kekalahan bangsa ini, secara politik dan kebudayaan, dengan bangsa Fenisia.   

Lahirnya komunitas sosial baru di kawasan tertentu menginspirasi orang-orang tersebut untuk menciptakan norma-norma baru dengan prinsip menyelaraskan diri dengan alam di sekitarnya. Lambat laun komunitas tersebut memiliki sistem sosial dan kebudayaan yang makin menjauh dari induk semangnya. Mereka membangun sistem sosial dan kebudayaan secara mandiri, sekalipun sesungguhnya masih memiliki keterkaitan sosiologis-kultural dengan kebudayaan nenek moyang pendahulunya. 

Baca Juga  Benarkah Memahami Hadis Secara Tekstual Bisa Jadi Radikal?

Bangsa Arya yang memilih untuk tetap tinggal di kawasan kawasan stepa di Kaukasia, secara perlahan-lahan, terpisah menjadi dua kelompok utama yang memiliki corak dan sistem kebudayaan tersendiri. Pertama, mereka yang tetap menggunakan bahasa Pahlevi—Karen Amstrong (2007) menyebut bahasa Avesta (Persia kuno). Kedua, mereka yang menggunakan dialek awal Sansekerta (India kuno). 

Untuk dialek yang pertama berkembang menjadi bahasa resmi yang dipakai oleh bangsa Persia pada masa berikutnya. Adapun untuk dialek yang disebutkan terakhir kemudian berkembang di kawasan lembah Hindustan (India). Orang-orang yang membangun peradaban di lembah Hindustan adalah bangsa Dravida.

Secara historis dan kultural, bangsa Dravida dan Arya memiliki tradisi dan silsilah nenek moyang yang sama. Apalagi berdasarkan penelitian para Ahli Bahasa, jenis bahasa Pahlevi dan Sansekreta, termasuk dalam kategori bahasa Proto-Indo-Eropa. Faktor kesamaan sejarah dan jenis bahasa ini menjadi indikasi bahwa pada dasarnya setiap bangsa memiliki keterkaitan erat dengan bangsa lain dari silsilah nenek moyangnya

***

Nah, kita pun bisa memahami bagaimana proses evolusi kebudayaan bangsa Romawi. Sebagaimana tradisi bangsa-bangsa lain dalam membangun sebuah peradaban, di kota Roma mereka memusatkan kekuasaan dengan membangun sistem pemerintahan berbasis aristokrat. Orang-orang Romawi memiliki karakter militeristik. Mereka adalah bangsa penakluk, persis seperti bangsa Assyur (Babilonia). 

Karakter orang-orang Romawi, yang mungkin juga merupakan perpaduan etnik Mycenaean dan Fenisia, sangat militeristik sehingga mereka mampu mengorganisasi kekuatan politik yang tangguh. Pada akhirnya, orang-orang Romawi berbalik menaklukkan kekuasaan bangsa Fenesia. Bahkan, peradaban Kartago di utara Afrika menjadi musuh utama imperium Romawi.

Menurut sejarawan dan filosof Niccolo Machiavelli dalam Diskursus-nya, peradaban Romawi merupakan kelanjutan dari peradaban Dinasti Assyur di Mesopotamia. Peradaban Assyur diteruskan oleh Suku Media (Persia), dan terakhir dikembangkan oleh bangsa Romawi. Dengan demikian, menurut Machiavelli, peradaban umat manusia merupakan mata rantai yang tidak pernah terputus sekalipun berpindah-pindah tempat dan berganti pelaku sejarahnya.

Baca Juga  Pengaruh Kebudayaan Romawi di Timur Tengah

Dengan demikian, kebudayaan bangsa-bangsa yang beraneka ragam (multikultural) masih tetap memiliki mata rantai historis-kultural. Hubungan historis-kultural ini memungkinkan bangsa-bangsa yang memiliki kebudayaan berbeda untuk saling menghargai dan menghormati.

Dengan memahami latarbelakang historis masing-masing, setiap bangsa tidak memiliki alasan yang kuat untuk menuduh kebudayaan lain lebih rendah atau sebaliknya, tidak ada alasan yang kuat untuk mengklaim suatu kebudayaan lebih unggul (dalam istilah kitab suci disebut “bangsa pilihan”/the choosen people) dibanding yang lain. (Bersambung)

***

*)Tulisan ini merupakan seri keenam dari serial Fikih Peradaban Islam Berkemajuan yang ditulis oleh sejarawan Muhammadiyah, Muarif.

Seri 1 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ikhtiar Menulis Sejarah Pendekatan Budaya

Seri 2 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Alquran, Wahyu yang Menyejarah

Seri 3 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Kisah dalam Alquran: Tujuan dan Ragam Qashash

Seri 4 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Khalifatullah fil Ardh: Manusia sebagai Aktor Peradaban

Seri 5 Fikih Peradaban Islam Berkemajuan: Ras Merupakan Kekeliruan Besar: Sanggahan Atas Teori Ras

Editor: Yusuf

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *