Riset

Ikhtiar Menulis Sejarah Pendekatan Budaya

6 Mins read

Menulis (fakta) sejarah dengan pendekatan politik (kekuasaan) sudah lazim dipakai di kalangan sejarawan. Tengok saja karya-karya klasik para sejarawan muslim abad pertengahan, sebagian besar kitab-kitab Tarikh ditulis pakai pendekatan ini. Rangkaian peristiwa sejarah di masa lampau selalu dilihat berdasarkan perspektif kekuasaan (jadilah “sejarah kekuasaan”).

Tapi kalau dipikir-pikir, sejarah itu sendiri merupakan hasil dialog jiwa dan pikiran manusia dengan realitas kehidupannya yang berlangsung secara dinamis dan kreatif. Hasilnya bukan sekedar “periodisasi kekuasaan” atau tinggalan artefak yang berkaitan dengan kekuasaan suatu rezim.

Di dalam fakta sejarah itu ada peran “para aktor,” kemudian peristiwa sejarah yang “meruang dan mewaktu,” dan yang paling penting adalah “ruh” atau “ide besar” di balik peristiwa besar itu. 

Alasan kenapa kita perlu menulis sejarah menggunakan pendekatan budaya karena di balik “lorong-lorong gelap sejarah” (minimnya data-data sejarah) terlalu banyak sekuel atau babakan historis yang terputus. Seolah-olah suatu fakta historis muncul dengan sendirinya atau narasi yang dihadirkan seakan-akan “nongol dari ruang kosong.”

Di sini, saya kembali ingat pesan teoritis Buya Syafii Maarif, bahwa “sejarah tidak pernah lompat dari ruang kosong.” Selalu ada mata rantai yang menghubungkan antara masa lalu dengan masa sekarang. Dan masa sekarang inilah yang akan menentukan masa depan. 

Kenyataan bahwa penulisan sejarah berdasarkan perspektif kekuasaan hanya mempersempit sudut pandang dalam mengungkap fakta-fakta historis di masa lampau sudah terbukti. Pendekatan kekuasaan dalam penulisan sejarah juga kerap mengaburkan fakta-fakta historis yang cenderung dimaknai secara politis. Sedangkan penulisan sejarah pendekatan budaya memungkinkan untuk menghadirkan narasi baru dengan kekuatan data empiris yang digali dari sumber-sumber alternatif lainnya.   

Mendefinisikan Sejarah

Sebenarnya, saya sendiri malas untuk berteori muluk-muluk. Tapi untuk memperjelas dan mempertegas jalannya narasi sejarah peradaban Islam berkemajuan ini, maka terpaksalah disuguhkan beberapa teori yang disajikan secara sederhana di sini. Nah, secara sederhana, sejarah dipahami sebagai pengetahuan tentang masa lampau.

Menurut sejarawan Baverley Southgate (1996), pengertian sejarah dapat didefinisikan sebagai “studi tentang peristiwa di masa lampau.” Dengan demikian, sejarah merupakan peristiwa faktual di masa lampau, bukan kisah fiktif apalagi rekayasa.

Definisi menurut Baverley Southgate merupakan pemahaman paling sederhana bahwa sejarah merupakan pengetahuan peristiwa-peristiwa faktual (bukan fiksi atau rekayasa) yang terjadi di masa lampau. Memahami pengertian sejarah menurut Baverley Southgate menghendaki pemahaman objektif terhadap fakta-fakta historis. Metode penulisannya menggunakan narasi historis dan tidak dibenarkan secara analitis (analisis sejarah).

Alasan mengapa sejarah ditulis secara naratif adalah karena fakta-fakta historis merupakan kebenaran objektif yang tidak boleh dimasuki unsur-unsur opini oleh penulisanya (subjektif). Sejarah yang ditulis secara subjektif jelas dianggap menyesatkan. Sebab, antara fakta dan opini sudah bercampur-aduk menjadi satu sehingga objektivitasnya diragukan. 

Baca Juga  JIB Luncurkan Buku Islam, Masyarakat Sipil, dan Demokratisasi karya Pramono Tanthowi

Nah, itu tadi tata cara penulisan sejarah yang katanya dianggap objektif. Tapi tunggu dulu. Menurut Edward Said, sejarah naratif juga tidak steril dari kepentingan. Tak ada pengetahuan tanpa kekuasaan. Atau sebaliknya, tak ada kekuasaan yang tidak menghegemoni—meminjam istilah Antonio Gramschi.

Di sini, Edward Said mengritik “struktur ideologi” yang bersembunyi di balik penampilan akademis berupa catatan kaki dan sikap pura-pura di balik fakta-fakta historis (Shella Walia, 2003: 22).

Kritik Edward Said dalam percaturan intelektual posmodernisme membuka peluang bagi wacana penulisan sejarah analitis. Sebab, fakta-fakta historis tidak lagi berbicara untuk dirinya sendiri. Bukti-bukti arkeologis tetap membisu sehingga butuh upaya mengungkap kebenaran di balik fakta-fakta sejarah.

Teori-teori ilmu pengetahuan menjadi alat untuk proses rekonstruksi sejarah. Tetapi, rekonstruksi sejarah tidak pernah permanen, karena amat bergantung pada tafsir (teori) yang digunakan. 

Pemikiran Edward Said ini sejalan Jurgen Habermas. Bagi filosof Mazhab Frankfrut ini, instrumental knowledge bertujuan untuk mengontrol, memprediksi, mengeksploitasi, bahkan memanipulasi, terhadap objek-objek ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, wacana objektivitas dalam ilmu pengetahuan menjadi semakin kabur. Teori-teori posmodernisme berhasil mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya senantiasa sarat kepentingan.

Kepentingan Sejarah Pendekatan Budaya

Secara filosofis, sejarah tidak cukup didefinisikan secara sederhana seperti teori Baverley Southgate. Penulisan sejarah bukan sekedar mengungkap peristiwa-peristiwa di masa lampau. Tetapi merupakan sebuah proses memahami secara utuh pola interaksi manusia dengan segenap potensi yang dimilikinya dalam ruang dan waktu tertentu.

Menurut H. Wildon Carr (1917), sejarah merupakan proses interaksi berkelanjutan antara sejarawan dan fakta-faktanya. Suatu dialog yang tanpa henti antara masa sekarang dan masa lampau. 

Bagi Benedetto Croce (1951), sejarah didefinisikan sebagai rekaman kreasi jiwa manusia di semua bidang, baik teoritikal maupun praktikal. Kreasi spiritual ini, menurut Croce, senantiasa lahir dalam hati dan pikiran manusia jenius, budayawan, pemikir, manusia yang mengutamakan tindakan, pembaru moral atau pembaru agama.

Sementara Buya Syafi’i Ma’arif berusaha menjembatani keruwetan teori dua filosof di atas dengan mengajukan definisi bahwa sejarah adalah “hasil rekaman interaksi dan dialog jiwa dan pikiran sejarawan dengan realitas kehidupan manusia yang berlangsung secara dinamis dan kreatif dalam ruang dan waktu tertentu” (Syafi’i Ma’arif, 2003: 34).

Dengan mendefinisikan sejarah perspektif filosofis semakin membuka cakrawala pemahaman bahwa baru rangkaian peristiwa di masa lampau tidak cukup dipahami lewat pendekatan politik. Sebab, peristiwa sejarah merupakan proses dialog yang melibatkan jiwa dan pikiran manusia dalam ruang dan waktu tertentu.

Baca Juga  Penyebab Kemunduran Umat Islam Menurut Al-Afghani dan Abduh

Menempatkan manusia sebagai aktor (subjek) sejarah menjadi sebuah tema tersendiri dalam studi sejarah (antropologi). Pola interaksi antarmanusia juga menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam studi sejarah (sosiologi). Sementara eksistensi manusia di dunia membuka ruang dialog interaktif yang melibatkan segenap potensinya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam studi sejarah (budaya).  

Saya kira kita semua masih ingat teori dari filosof Plato (427-347 SM) yang mendefinisikan manusia sebagai “hewan berpikir” (animal rational). Manusia sebagai aktor dalam pangggung sejarah dengan potensi akal dan jiwanya memungkinkan untuk berdialog dengan realitas kehidupan yang ia hadapi. Manusia yang berpikir tidak bisa terlepas secara independen dari realitas tempat ia menetap dan bertahan hidup.

Proses dialog interaktif yang melibatkan segenap potensi manusia di dunia ini tidak dalam ruang steril, melainkan menempati ruang kebudayaan tertentu. Sementara eksistensi kebudayaan suatu bangsa memiliki hubungan erat dengan sistem kekuasaan yang ada.

Nah, dalam konteks penulisan sejarah pendekatan budaya, paling tidak kita bisa menengarai lima unsur yang masing-masing saling terkait. Pertama, dimensi ruang dan waktu. Sejarah merupakan peristiwa faktual. Oleh karena itu, unsur ruang dan waktu menjadi wajib. Sebab, fakta hanya terjadi dalam dimensi profan.

Dalam konteks penulisan sejarah perspektif budaya, maka di mana dan kapan suatu peristiwa tersebut terjadi harus jelas dan tegas. Pengandaian atau penyebutan secara samar jelas bakal mengaburkan fakta sejarah.

Kasus semacam ini paling sering muncul dalam teks-teks sastra yang diyakini dapat menjadi rujukan studi sejarah. Sekalipun karya sastra memiliki latarbelakang historis dan faktual, tetapi penulisan fiksi justru mengaburkan fakta.      

Kedua, konsep manusia sebagai animal rational dan latarbelakang sejarahnya. Menempatkan manusia sebagai aktor sejarah yang memiliki kemampuan berpikir merupakan cikal-bakal munculnya ide-ide kreatif. Ide-ide kreatif muncul dalam proses dialog interaktif manusia dengan realitas yang ia hadapi.

Dari sinilah akar kebudayaan manusia. Sementara eksistensi setiap bangsa tidak dapat dipahami secara genetik. Teori “Ras” yang menjadi pemicu lahirnya paham Rasisme berawal dari pandangan seorang antropolog Swedia, Carolus Linnaeus, pada tahun 1758.

Tetapi, penelitian Steven Olson berhasil menepis asumsi tak berdasar ini. Menurutnya, Teori Ras bukan merupakan konstruksi genetik, melainkan  konstruksi etnik (Steven Olson, 2002: 89).

Ketiga, setiap bangsa mendiami kawasan tertentu dan memiliki pola pikir, sistem sosial serta budaya yang mereka warisi dari para pendahulu. Sebagai contoh: bangsa Persia yang mendiami kawasan Barat Daya Iran merupakan bangsa pendatang.

Baca Juga  Empat Keistimewaan Semut yang Patut Kita Contoh

Mereka berasal dari keturunan suku-suku Arab yang menetap di kawasan tepi Laut Tengah. Sebagian dari mereka juga merupakan keturunan para imigran dari pulau Kreta pada tahun 1200 SM (Ahmad Syalabi, 2006: 3). Dengan demikian, mereka ini terdiri dari berbagai latarbelakang etnis (multikultural) yang telah bersatu dalam sistem sosial dan kebudayaan yang boleh dikata amat longgar.

Begitu juga dengan bangsa Indonesia yang merupakan keturunan bangsa nomaden (Proto-Melayu pada zaman Neolitikum). Sebelum mendiami kepulauan Nusantara ini, mereka sudah memiliki tata nilai, sistem sosial, dan kepercayaan yang kuat. Tata nilai yang dijadikan sebagai pegangan hidup mereka adalah “budi pekerti luhur.”

Keempat, pola hubungan antara budaya dan kekuasaan. Edward Said banyak mengkaji pola hubungan ini. Setiap kebudayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa jika tanpa ditopang oleh kekuasaan politik tertentu tidak akan bertahan lama. Sistem politik yang berlaku pun memiliki kaitan erat dengan budaya yang dimiliki oleh bangsa tersebut.

Misalnya, bangsa Persia memiliki tradisi kekuasaan berdasarkan silsilah klan (dinasti). Raja-raja yang pernah berkuasa merupakan representasi dari klan-klan tertentu (Achameneid, Arcasid, Sassanids). Bangsa Romawi memiliki tradisi politik berbentuk Republik yang diwarisi dari tradisi nenek moyang mereka, bangsa Yunani (Hellenik).

Di Indonesia, sebelum masa kemerdekaan, juga menganut sistem politik kedinastian. Sistem politik tersebut merupakan warisan dari nenek moyang (Proto-Melayu). Setiap rezim kekuasaan selalu merepresentasikan kebudayaan tertentu.

Kelima, bentuk kebudayaan dan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Setiap kebudayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa memiliki pertalian erat dengan kebudayaan lain yang mempengaruhinya. Seperti tradisi paganisme di Timur Tengah pada Abad Kelima Masehi merupakan bentuk pengaruh kebudayaan Persia dan Romawi (Byzantium).

Pada abad tersebut, Persia dan Romawi merupakan kekuatan politik adidaya yang mewarnai dunia. Timur Tengah berada dalam pengaruh dua kekuatan politik yang sekaligus memiliki sistem kebudayaan tertentu.

Contohnya, mata uang dinar (emas) yang dipakai oleh bangsa Arab merupakan pengaruh budaya Romawi. Atau, mata uang dirham (perak) yang juga dipakai oleh bangsa Arab merupakan pengaruh budaya Persia.

Nah, kelima unsur tersebut di atas merupakan perangkat pokok dalam mengkaji sejarah pendekatan budaya. Penulisan sejarah pendekatan budaya menggunakan metode analitis kritis ketimbang pendekatan politik yang menggunakan metode naratif. Di samping itu, pendekatan budaya lebih menjamin bebas intervensi politik kekuasaan tertentu. (Bersambung)

*) Tulisan ini merupakan seri pertama dari serial Fikih Peradaban Islam Berkemajuan yang ditulis oleh sejarawan Muhammadiyah, Muarif.

Editor: Yusuf

Avatar
157 posts

About author
Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *