Pernahkah kita berpikir bagaimana para narapidana memenuhi kebutuhan biologis mereka? Padahal kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar manusia. Kalau tidak percaya, silahkan baca teori hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow, yang memasukan seks sebagai kebutuhan fisiologis manusia.
Kebutuhan Seks Narapidana
Setelah kita tahu bahwa seks merupakan salah satu kebutuhan manusia. Maka, jika kebutuhan seks tidak terpenuhi pasti akan berpotensi menimbulkan efek lain. Mungkin stres, gangguan psikologis, bahkan penyimpangan perilaku.
Padahal, di dalam standar minimal perlakuan terhadap narapidana atau dikenal dengan istilah Mandela Rules dijelaskan bahwa dalam sistem penjara tidak diperkenankan untuk memperburuk penderitaan narapidana.
Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia harus tetap diberikan kepada narapidana. Mandela Rules juga memasukan kebutuhan seksualitas sebagai Hak Asasi Manusia yang harus di perhatikan.
Bisa dibayangkan, bagaimana narapidana yang sudah berkeluarga, selama bertahun-tahun hidup dalam penjara tanpa bisa menyalurkan hasrat seksual. Tentu ini adalah derita tersendiri bagi mereka.
Praktik Homoseksual Narapidana
Mereka yang tak kuasa menahan hasrat seks akan melakukan pelampiasan. Cerita-cerita tentang homoseksual dan lesbian di dalam lapas bukanlah hal yang baru lagi. Hal ini juga pernah diakui salah satu pejabat Kementerian Hukum dan HAM, Liberti Sitinjak, yang menyebutkan adanya disorientasi seksual para napi dikarenakan over kapasitas lapas.
Lebih lanjut, Sitinjak menjelaskan pola interaksi di dalam lapas seperti kondisi kamar yang memaksa narapidana tidur berdesak-desakan dan kamar mandi yang terbuka menjadi pemicu timbulnya hasrat seksual sesama jenis.
Pendapat tersebut dibantah oleh Dede, pendiri aliansi Gaya Nusantara. Dede menilai bahwa homoseskusal bukan karena over kapasitas. Fenomena tersebut lebih dipengaruhi faktor penyaluran hasrat seksual yang memang menjadi kebutuhan dasar manusia. Jika mereka kembali ke keluarga, maka orientasi seksual mereka akan kembali normal seperti semula.
Hal ini senada dengan dr. Nugraha selaku seksolog yang berpendapat bahwa homoseksual di dalam penjara adalah keadaan homoseksual yang situasional. Mereka tidak ada pilihan lain untuk menyalurkan hasrat seksual. Istilahnya, tidak ada rotan akarpun jadi.
Lebih jauh lagi dijelaskan bahwa perilaku penyimpangan seksual terjadi karena mereka sama-sama butuh. Salah satu pihak membutuhkan penyaluran hasrat seks, sedangkan pihak yang satu biasanya mebutuhkan imbalan berupa uang. Perlu diketahui, di dalam lapas uang sangat berharga. Segala sesuatu di dalam lapas butuh uang, misalnya untuk membeli makanan yang layak dan kebutuhan pribadi lainnya.
Negara Sudah Terlambat
Negara, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM bisa dibilang terlambat dalam memperhatikan pemenuhan kebutuhan seksual para narapidana. Negara telah mengabaikan hal penting dalam kehidupan manusia. Secara tidak langsung negara ikut bersalah, telah membuat orientasi seksual narapidana menyimpang.
Lapas seharusnya menjadi tempat pembinaan narapidana. Membentuk sikap dan perilaku yang bisa diterima sesuai norma masyarakat. Masalah orientasi seksual seharusnya menjadi perhatian pembinaan di dalam lapas. Percuma saja, narapidana diberikan banyak keterampilan, namun di sisi lain ada perilaku menyimpang seksual yang tumbuh subur
Selain permasalahan disorientasi seksual, oknum-oknum lapas yang tidak bertanggungjawab akan memanfaatkan situasi untuk mencari untung. Munculnya bilik-bilik asmara ilegal yang diperjual belikan telah menyalahi aturan dan semakin menambah masalah.
Bayangkan saja, hanya dengan membayar 650 ribu rupiah untuk sewa bilik asmara, seseorang bebas melakukan hubungan seksual dengan siapa saja. Jika dibiarkan demikian, maka lapas bisa berubah menjadi sarang prostitusi
Kebijakan Conjugal Visit
Madela Rules secara jelas juga telah mengatur adanya kunjungan intim legal secara berkala untuk memenuhi kebutuhan seksual narapidana yang disebut dengan conjugal visit. Pak Yasonna selaku Menkumham, sekiranya bisa belajar dari kebijakan negara-negara lain yang sudah menerapkan conjugal visit ini.
Di Turki misalnya, conjugal visit ini diberikan kepada narapidana yang mempunyai perilaku baik dan tidak memiliki catatan pelanggaran selama di dalam lapas. Sedangkan di Singapura, conjugal visit dilaksanakan dengan batasan waktu tertentu dan diberikan pada hari kerja.
Conjugal visit ini menjadi bagian dari program rehabilitasi untuk para narapidana. Tujuan utamanya agar narapidana bisa menyalurkan kebutuhan seksualnya. Sehingga mengurangi potensi penyimpangan seksual narapidana.
Kini sudah saatnya pemerintah memperhatikan kebutuhan seksual narapidana. Membuat kebijakan conjugal visit yang disesuaikan dengan nilai-nilai adat budaya timur. Menyediakan bilik asmara secara legal dengan ketentuan yang jelas misalnya. Agar apa yang menjadi kebutuhan dasar narapidana tetap terjaga. Sehingga tidak ada lagi kisah asmara dua pria di dalam penjara.
Editor: Rifqy N.A./Nabhan