Ketika mendengar kata “gubernur” apa yang anda pikirkan? Sandang mewah, makan enak, tempat tinggal kelas ekslusif, atau hal-hal istimewa lainnya? Di mata masyarakat, seorang gubernur atau kepala daerah identik dengan kemewahan. Kendati demikian, ada sebagian dari mereka yang bersahaja. Dengan berbagai fasilitas mewah tersebut, tak heran jika sebagian besar orang terdorong ingin menjadi seorang pemimpin..
Pada hakikatnya kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari jabatan kepemimpinan. Perbedaannya terletak pada kedudukan semata. Dengan demikian, setiap orang adalah pemimpin, paling tidak bagi diri sendiri dan keluarga.
Kisah-kisah muslim inspiratif dan bersahaja sudah banyak tersebar di berbagai media. Mayoritas diantara mereka adalah para pemimpin. Baik itu pemimpin negara, daerah, desa ataupun organisasi masyarakat. Akan tetapi, sebagian pemimpin justru selalu mendapat stempel negatif dari masyarakat, terutama jika dinilai dari segi taraf kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.
Adalah sebuah keharusan bagi setiap orang terutama pemimpin agar belajar dari sejarah tokoh-tokoh dan pemimpin hebat sepanjang masa, terutama Rasulullah Saw. dan para sahabat-sahabatnya. Kenapa harus mereka? Fakta sejarah peradaban telah menuliskan, bahwa warisan peradaban besar sebagiannya berkat kontribusi mereka terutama Nabi Muhammad, the leader of the prophets and messengers.
Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahy
Apakah anda tahu sahabat Nabi yang satu ini? Ia merupakan salah satu sahabat Rasulullah yang terkenal di kalangan sejarawan akan kesahajaannya, tatkala dilantik untuk menjadi gubernur di Himsh (Homs, Suriah saat ini).
Ketika muda ia sempat menyaksikan hukuman mati terhadap salah seorang sahabat Nabi, yaitu Khubaib bin ‘Adi. Kala itu, para pemimpin Quraisy ikut menyaksikan siksaan tersebut antara lain Abu Sufyan bin Harb dan Shafwan bin Umayyah (sebelum mereka masuk Islam). Khubaib diikat pada tiang salib yang kemudian diserang berkali-kali oleh algojo dengan sabetan pedang, tusukan panah, dan tombak hingga ia syahid menemui ajalnya di tiang tersebut.
Kaum kafir Quraisy kembali ke Mekkah dan meninggalkan jasad Khubaib di tiang salib. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa saat itu. Sa’id yang ketika itu baru beranjak usia remaja tidak dapat melupakan peristiwa mengerikan tersebut. Ia terbayang sosok Khubaib yang sedang shalat dengan khusyu’ dan terdengar rintihannya yang mendo’akan kaum kafir Quraisy. Ia khawatir dan ketakutan kalau-kalau doanya dikabulkan oleh Sang Pencipta.
Peristiwa tersebut mengajarkan Sa’id beberapa hal. Pertama, hidup yang sebenarnya ialah hidup berakidah dan beriman serta berjuang mempertahankannya hingga ajal tiba. Kedua, iman yang telah terhunjam kuat di dalam dada akan menimbulkan hal-hal luar biasa dan memberikan kekuatan yang hebat.
Ketiga, orang yang paling dicintai Khubaib adalah Rasulullah. Ia tidak rela Nabi tersakiti sedangkan dirinya hidup enak, hal itu membuatnya rela berkorban. Atas perenungan itulah, Allah memberikan cahaya hidayah ke dalam hati Sa’id hingga ia masuk Islam.
Penasihat Dua Khalifah
Sepak terjang Sa’id dalam menegakkan Islam terbukti ketika ia ikut berjuang bersama Rasulullah. Setelah Nabi wafat, kesetiaannya pada Islam ia abdikan dalam ketaatan kepada dua khalifah, yaitu Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Mereka paham bahwa nasihat-nasihat Sa’id bin ‘Amir sangat berbobot dan ketakwaannya sangat tinggi. Pada masa awal pemerintahan Khalifah Umar, ia datang kepadanya seraya memberikan sebuah nasihat:
“Wahai Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah manusia. Jangan takut pada manusia dalam menegakkan agama Allah. Karena sebaik-baik perkataan ialah yang dibuktikan dengan perbuatan. Wahai Umar! Tujukanlah perhatian anda kepada urusan kaum muslimin, yang jauh ataupun dekat. Berikan kepada mereka apa yang anda dan keluarga sukai. Jauhkan mereka dari apa yang anda dan keluarga anda tidak sukai. Arahkan semua karunia Allah kepada yang baik dan jangan hiraukan cacian orang-orang yang suka mencaci.”
Ia meyakinkan bahwa sang khalifah mampu menjalankan roda pemerintahan umat dengan baik dan menyatakan bahwa Umar telah diamanati Allah untuk memimpin umat. Karena kepribadiannya itulah, khalifah Umar memberinya jabatan untuk menjadi Gubernur di wilayah Himsh. Awalnya Sa’id menolak, namun atas desakan khalifah ia pun menurutinya.
Kesederhanaan Sang Gubernur
Abdurrahman Ra’fat Basya menceritakan dalam bukunya Shuwar min Hayati as-Shahabah (Potret Kehidupan Para Sahabat). Ketika Umar kedatangan delegasi dari Himsh, beliau terharu akan salah satu nama dari daftar fakir miskin untuk diberikan santunan. Dalam daftar tersebut, tercatat nama Sa’id. Lantas khalifah bertanya, apakah itu gubernurnya? Delegasi membenarkan sehingga membuat khalifah menangis dan mengirimkan seribu dinar untuk Gubernur Sa’id.
Ia kaget ketika menerima uang tersebut hingga mengucapkan kalimat istirja’. Kemudian Sa’id membagikannya kepada fakir miskin dengan bantuan istrinya. Di lain hari, Khalifah Umar berkunjung ke Syria untuk melakukan inspeksi pemerintahan disana. Khalifah juga menyempatkan dirinya berkunjung ke Himsh dan disambut dengat baik oleh para penduduk.
Kepada khalifah, rakyat Himsh mengeluhkan beberapa kelemahan gubernurnya. Kemudian Umar mempertemukan sang gubernur dengan rakyatnya seraya berdoa, “Semoga husnudzon-ku selama ini pada Sa’id bin ‘Amir tidak salah.” Di antara keluhan tersebut ialah sang gubernur selalu tiba di tempat tugas setelah matahari meninggi dan tidak masuk kantor (bertugas) sehari penuh dalam sebulan. Umar kemudian bertanya, “Bagaimana tanggapan anda wahai Sa’id.”
Sang gubernur terdiam sejenak, ia berkata, “sesungguhnya saya keberatan menanggapinya, tetapi apa boleh buat. Keluarga saya tidak memiliki pembantu. Karena itu, tiap pagi saya terpaksa turun tangan membuat adonan roti lebih dahulu untuk mereka. Sesudah adonan itu siap untuk dimasak, barulah saya buat roti. Kemudian saya berwudhu, setelah itu barulah saya berangkat ke tempat tugas untuk melayani masyarakat.”
Ketika ditanya perihal keluhan yang kedua, Sa’id menjawab, “Sebagaimana yang telah saya terangkan tadi, saya tidak memiliki pembantu rumah tangga. Di samping itu saya hanya memiliki sepasang pakaian yang melekat di badanku ini. Saya mencucinya sekali sebulan. Bila saya mencucinya, saya terpaksa menunggu hingga kering sesudah itu baru saya dapat melayani masyarakat.”
Khalifah memuji Allah atas keterangan itu semua. Setibanya di Madinah, khalifah mengirimkan seribu dinar dan lagi-lagi, uang tersebut didepositokan kepada Allah dengan dibagi-bagikan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Editor: Nirwansyah