“Selama rakyat masih menderita, tidak ada kata istirahat.”
-Said Tuhuleley
Kehadiran Said Tuhuleley menambah panjang daftar nama pejuang kemanusiaan. Dilihat dari moto hidupnya saja, ia adalah seorang yang sangat gigih memperjuangkan kehidupan rakyat kecil. Aksi kemanusiaannya untuk para duafa juga dibuktikan dalam perjalanan panjang dalam hidupnya selama berkhidmad di Muhammadiyah.
Nama Said diberikan oleh orang tuanya tidak serta merta tanpa makna. Said, merupakan nama seorang tokoh besar yang kelak melahirkan tokoh-tokoh nasional, yaitu Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto. Orang tua Said Tuhuleley berharap agar anaknya mampu meneladani kehebatan tokoh yang memiliki julukan “Raja Jawa Tanpa Mahkota” tersebut. Dan benar saja, sosok H.O.S Tjokroaminoto muncul dalam diri Said sebagai sosok santri intelek yang cakap dan piawai dalam memimpin.
Aksi Kemanusiaan Menurut Said Tuhuleley
Kuntowijoyo, dalam teori Ilmu Sosial Profetiknya menyebutkan bahwa salah satu orientasi dari keilmuan profetik yaitu humanisasi. Humanisasi diartikannya sebagai upaya untuk ‘memanusiakan manusia’, di mana kita memberi ruang bagi manusia agar dapat berpikir dan menggunakan akal yang dimiliki, agar dapat turut berpartisipasi untuk mengubah dunianya.
Jika banyak yang mengimplementasikan istilah humanisasi ini ke dalam aksi kemanusiaan berbentuk pemberian bantuan material kepada rakyat kecil, berbeda dengan Pak Said. Dalam buku yang berjudul Jejak Langkah Said Tuhuleley yang disunting oleh Agung Prihantoro, dijelaskan bahwa Pak Said merangkum sebuah filosofi yang sederhana namun begitu tegas dalam merepresentasikan semangatnya, yakni: “Mengembangkan kecebong yang hanya mampu hidup di dalam kolam kecil menjadi katak yang dapat melompat ke mana-mana.”
Filosofi tersebut menggambarkan semangat kemandirian dan independensi dalam kehidupan, tidak bergantung pada orang lain. Pak Said mengartikannya dengan tidak hanya memberikan bantuan material, namun juga melakukan pemberdayaan, terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat untuk memberdayakan ekonomi mereka.
Perjuangan di Muhammadiyah
Pak Said bukan hanya menjadi seorang pejuang kemanusiaan, melainkan pejuang di berbagai aspek kehidupan. Setidaknya ada tiga ranah perjuangannya yang dirangkum dalam buku Jejak Langkah Said Tuhuleley, yakni dakwah, pendidikan, dan pemberdayaan.
Pertama, dalam ranah dakwah, jejak dan semangat perjuangannya sangat terasa ketika beliau menjadi anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dam Ketua Dewan Direktur Laboratorium Dakwah Yayasan Shalahuddin Yogyakarta. Pak Said dikenal sebagai kontributor penting mengenai gagasan tentang peta dakwah yang dijadikan basis awal untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan dakwah bagi umat.
Kedua, ranah pendidikan juga menjadi perhatian Pak Said. Kontribusinya terhadap bidang pendidikan tak dapat diragukan lagi, meskipun secara struktural beliau tidak terlibat langsung dengan kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah. Beberapa kontribusinya yang monumental antara lain penerbitan majalah Gerbang, majalah yang fokus terhadap pendidikan.
Meski tidak bersentuhan langsung dengan Majelis Dikdasmen, namun di sisi lain beliau mendapat amanah menjadi sekretaris di Majelis Pendidikan Tinggi (Dikti) PP Muhammadiyah yang bertugas untuk mengoordinasikan pengelolaan hampir 200 perguruan tinggi Muhammadiyah. Bahkan beliau juga menjadi anggota Badan Pendidikan Kader PP Muhammadiyah.
Ketiga, ranah pemberdayaan. Setelah berturut-turut berjuang di Muhammadiyah, mulai dari Majelis Tabligh, Majelis Dikti, hingga kemudian Badan Pendidikan Kader, Pak Said mencapai kesempurnaan dalam berjuang di Persyarikatan dengan menjabat sebagai ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) selama dua periode.
Aksi Kemanusiaan untuk Para Duafa Melalui MPM
Dalam rentang waktu sekitar sepuluh tahun, yakni tahun 2005 – 2015, Pak Said mendapat tugas untuk menakhodai roda kepemimpinan di MPM. Beliau menjadikan MPM sebagai lahan juang sepenuhnya. Majelis ini memberdayakan kaum duafa seperti petani, buruh, nelayan, tukang becak, dan kaum marjinal. Pak Said melebur ke dalam dunia mereka.
Seluruh program kegiatan pemberdayaan yang dilakukan Pak Said didasarkan pada ilmu pengetahuan yang secara konseptual memadai, sehingga selalu memiliki nilai-nilai strategis yang tinggi, terutama jika diletakkan pada konteks kerja pemberdayaan masyarakat dan kerja-kerja kemanusiaan.
***
Pak Said mengemukakan bahwa 60% penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan. Namun, pemandangan tersebut justru ironi terhadap keadaan masyarakatnya yang sebagian besar tetap miskin. Hal tersebut disampaikan beliau dalam kegiatan seminar dan lokakarya MPM dan LPM (Lembaga Pengabdian Masyarakat) Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Menurutnya, kebijakan pemberdayaan masyarakat haruslah menyasar pada dua aspek, yakni masifikasi program pemberdayaan masyarakat dan memberi perhatian pada advokasi kebijakan publik. Adapun untuk mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan dan ketidakberdayaan, perlu upaya dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Memberdayakan sektor informal juga tak kalah penting dalam kerangka upaya penguatan ekonomi kemasyarakatan.
Dalam meningkatkan pendapatan masyarakat miskin, Pak Said melalui MPM memfokuskan pada sektor pertanian, peternakan, dan perikanan. MPM telah menemukan program untuk merealisasikan rencana dan cita-citanya tersebut, yaitu melalui model pertanian terpadu. Model ini dikembangkan secara sederhana dan memanfaatkan teknologi tepat guna, sehingga mudah dikerjakan dengan biaya yang murah, misalnya pembuatan pupuk dan pakan ternak yang memanfaatkan siklus hidup antara pertanian dan peternakan. MPM juga tidak hanya terfokus pada peningkatkan hasil produksi pertanian, peternakan, dan perikanan, namun juga melatih petani untuk mengolah hasil produksi menjadi produk olahan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Untuk rakyat miskin di kota, MPM memilih dua komunitas, yaitu tukang becak dan pedagang asongan. Mereka dilatih dan dibina. Misalnya, pembinaan terhadap pedagang asongan dalam menyediakan makanan yang sehat, dengan melakukan kerjasama dengan Dinas Kesehatan.
Selama kepemimpinan Pak Said, rakyat miskin di berbagai daerah di Indonesia sudah dapat menikmati hasil dampingannya. Bahkan, usaha beliau dinilai sudah berhasil oleh Buya Ahmad Syafii Maarif. Sehingga, Buya mengusulkan apa yang sudah dilakukan oleh MPM tersebut, yakni pendampingan terhadap rakyat miskin di bidang pertanian, peternakan, dan perikanan sebagai pilar ketiga Muhammadiyah setelah pilar pendidikan dan kesehatan. Itu artinya akan dibutuhkan banyak Said Tuhuleley di ranting-ranting Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Sehingga pemberdayaan bisa menjangkau seluruh pelosok tanah air.
Editor : Rizki Feby Wulandari