Kaunia

Sains: Perantara untuk Mengenal Allah Lebih Dekat

4 Mins read

Tidak ada yang bisa memungkiri kehebatan ulama terdahulu dalam sains dan teknologi. Karya-karya mereka tersebar di seluruh dunia, di buru untuk dikoleksi banyak perpustakaan kampus internasional karena senantiasa relevan menjadi rujukan.

Ibnu Rushd, misalnya, adalah satu dari sekian banyak fisikawan, dokter sekaligus pakar logika yang berpengaruh bagi Barat. Bisa kita sebut Kitab Al-Kulliyah fit-Thibb di bidang kedokteran dan belasan syarah Ibnu Rushd (komentar dan pengembangan) atas karya-karya Aristoteles di bidang filsafat alam dan mantiq.

Selain itu juga ada Haytham yang mengembangkan ilmu optik. Dialah yang pertama kali menemukan bahwa bukan mata yang memproduksi cahaya, namun mata sekedar menangkap pantulan cahaya dari suatu objek. Tidak berhenti disitu, temuannya merevolusi pandangan mengenai cara kerja mata manusia.

Intinya kontribusi mereka begitu penting karena menjadi pondasi bagi konsep, teori dan penemuan-penemukan sains berikutnya. Tanpa, mereka kemajuan teknologi yang membantu segala keperluan kehidupan kita saat ini akan mustahil terjadi.

Sayangnya, kebanyakan umat muslim bereuforia dalam rasa bangga mengenai prestasi ulama-ulama, namun buta akan karya-karya ilmuwan itu. Kebanyakan sangat gemar menunjuk ke nama-nama besar itu, tapi sedikit sekali–jika tidak mengatakan sama sekali–yang sungguh memahami buah karya pemikiran mereka.

Pun, sampai sekarang upaya rekonsiliasi hubungan sains dan agama belum juga dapat terjadi. Nampaknya, penyebab utama dari hal ini adalah umat Muslim yang gagal melihat sains dari sudut pandang teologi. Akibatnya, mereka kerap menganggap bahwa ilmu sains tidak sepenting ilmu-ilmu keagamaan.

Paling banter ilmu-ilmu sains itu dihukumi fardhu kifayah. Artinya cukup satu atau dua yang telah mempelajari, maka gugur tanggungjawab Muslim yang lain. Jika demikian minimnya penguasaan sains, bagaimana Muslim bisa mengambil alih kembali puncak peradaban?

Baca Juga  Benarkah Saintisme Menentang Keyakinan Agama?

Perintah Menginvestigasi Hukum Alam Semesta

Sebagai Muslim sudah pasti para ilmuwan itu menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan. Akan tetapi yang berbeda bahwa Muslim itu juga menjadikan firman-firman Tuhan sebagai inspirasi untuk pertanyaan penelitian yang akan diungkap melalui penyelidikan terpisah.

Disinilah Al-Qur’an tidak diposisikan sekedar sebagai sebuah garis finish dimana segala rincian mengenai rahasia alam dapat diambil, namun Al-Qur’an berfungsi sebagai sebuah garis start bagi usaha ilmiah berikutnya. Beberapa kutipan dari Al-Qur’an yang mengisyaratkan hal ini dapat kita rujuk sebagai berikut;

“Maka tidakkah mereka memerhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan gunung, bagaimana ditegakkan? Dan bumi bagaimana dihamparkan?” (Q.S. Al-Gasyiyah [88], 17-21)

Pada ke lima ayat tersebut kita patut merenungi perintah Tuhan yang berulangkali disebutkan. Perintah itu adalah ‘memerhatikan’. Tentu yang dimaksud pada saat memerhatikan itu adalah kala kita mengarahkan akal pikiran kita untuk mengungkap objek yang sedang kita perhatikan.

Pada ayat ini dan sebagaimana kebanyakan ayat lain di Al-Quran, Tuhan tidak menjelaskan mekanisme yang detail terkait penciptaan unta, peninggian langit pun juga penegakan langit dan bumi. Alih-alih menjawabnya sendiri, kitalah yang diminta untuk ‘memerhatikan’ dan menemukan sendiri bagaimana Tuhan menjadikan makhluk-makhluk ciptaan-Nya itu menjadi ada.

Ulama muslim terdahulu memahami betul pesan ini, dan kemudian bergegas melakukan investigasi yang komprehensif kepada alam semesta.

Maka sejatinya pula kita sudah memiliki landasan teologis bagi ilmu-ilmu sains. Pada perintah memerhatikan penciptaan unta, dapat dikembangkan ilmu-ilmu biologi dan kedokteran. Ini tentu juga ditambahkan dengan semangat mengenai sedikit isyarat dari Tuhan mengenai proses penciptaan manusia (Q.S. Al-Mu’minun [23], 12-14).

Usaha untuk menyelidiki alam semesta merupakan usaha untuk mengenali Tuhan. Namun, bukan dengan langsung mengenali Tuhan yang maha besar, karena hal itu mustahil oleh keterbatasan indra kita. Pengenalan Tuhan itu hanya dapat dilakukan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya, yang beberapa tanda itu adalah makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Senada dengan firman di atas, Tuhan juga bertitah;

Baca Juga  Menag Yaqut: Hukum Penista Agama Apapun di Indonesia!

“Sungguh pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang mukmin. Dan pada penciptaan dirimu dan pada makhluk yang bergerak yang bernyawa yang bertebaran (di bumi) terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) untuk kaum yang meyakini.” (Q.S. Al-Jasiyah [45], 3-4).

Pendidikan Sains adalah Pendidikan Tauhid

Ayat-ayat di atas menjadi dasar kuat bagi kita untuk memformat ulang keyakinan mengenai hierarki ilmu. Sebabnya, jelas tidak lagi benar jika memandang bahwa ilmu sains dan ilmu keislaman sebagai dua hal yang berbeda. Seolah, belajar yang pertama hanya belajar dunia, dan hanya melalui yang kedua kita bisa mengenal Sang Pencipta.

Justru, mempelajari dan mengembangkan sains merupakan tuntutan Tuhan juga agar kita semakin dekat kepada dzat-Nya. Mempelajari sains akan membantu kita untuk menyadari kemegahan alam semesta dan bahwa ia tidak mungkin terjadi begitu saja. Pastilah ada arsitek Maha Agung yang merancang dan membangun galaksi seisinya.

Dengan demikian, sains membantu kita untuk memahami ‘ayat terbentang’ dan melengkapi pemahaman yang kita dapatkan dari ‘ayat tertulis’. Keimanan kita akan semakin kuat karena dapat merasakan bahwa kita semakin tahu secara pasti keniscayaan dzat Tuhan sebagai pemelihara kesinambungan alam semesta.

Dengan mempelajari sains kita akan tahu bahwa bumi dan planet-planet lain tunduk patuh melintasi orbit yang Tuhan gariskan. Tidak sekali-kali mereka keluar dari ketentuan itu, kecuali kelak ketika waktu kiamat yang Tuhan janjikan telah tiba. Maka, bergegaslah Muslim itu beribadah memenuhi panggilan-Nya.

Pengembangan Sains adalah Pembuktian Tauhid

Ulama-ulama terdahulu memahami lebih jauh pesan-pesan di atas. Bahwa, kita diperintahkan bukan sekedar mengamati dan mempelajari, namun juga mengembangkan sains. Hikmah ini mereka tarik dari lanjutan ayat ke tiga dan ke empat Q.S. Al-Jasiyah, dan secara khusus pada ayat ke tiga Q.S. Ar’-Rad [3];

Baca Juga  Pemberian ASI dalam Perspektif Al-Quran dan Ilmu Kedokteran

“Dan Dia yang menghamparkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai di atasnya. Dan padanya Dia menjadikan semua buah-buahan berpasang-pasangan; Dia menutupkan malam kepada siang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir.”

Disinilah terdapat perintah untuk kita ‘berpikir’ (yatafakkarun). Memikirkan atau ber-tafakkur tentu tidak sama dengan sekedar ‘memerhatikan’. Ia melampaui memperhatikan karena memikirkan meliputi proses pengamatan, analisa dan penyimpulan secara teliti.

Aktivitas ‘tafakkur’ para ulama itu pada puncaknya sampai melahirkan cabang-cabang ilmu yang kini dikenal. Pada penciptaan unta dan manusia, hadirlah ilmu-ilmu biologi dan kedokteran. Pada perenungan keluasan langit dan planet-planet dikembangkan astronomi. Dan, pada penghamparan bumi, gunung, dan sungai dihasilkan geologi.

Merenungi uraian di atas, barangkali tulisan ini perlu menutup dengan kesimpulan yang agak berani. Bahwa mempelajari dan mengembangkan sains alam bersifat fardhu ain, wajib bagi setiap Muslim. Bahkan mungkin sains harus menjadi salah satu rukun iman. Jika takdir, kiamat dan malaikat yang ghaib dan merupakan ciptaan Tuhan itu harus diimani, mengapa tidak dengan alam semesta?

Editor: Yahya FR

Avatar
31 posts

About author
Dosen Fakultas Psikologi UMM dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Articles
Related posts
Kaunia

Ru'yat Ta'abbudi dan Penyatuan Kalender Islam

2 Mins read
Perkembangan pemikiran tentang kalender Islam di kalangan ormas Islam mengalami kemajuan baik dari segi pemikiran maupun instrumentasi astronomi yang dimiliki. Hal ini…
Kaunia

Menaksir Berat Sapi Secara Cepat

1 Mins read
Kaunia

Moderasi dalam Sidang Isbat

3 Mins read
Di Indonesia kehadiran sidang Isbat sudah lama diperdebatkan keberadaannya. Di satu sisi dianggap sebagai jembatan untuk mempertemukan perbedaan pandangan antara pendukung hisab…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds