Salafi Bukan Mazhab Monolitik
IBTImes.ID, Jakarta – Ketua PP Muhammadiyah Syafiq Mughni merespons pernyataan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, yang menyebut ajaran Wahabi dan Salafi sebagai pintu masuk terorisme. Syafiq menegaskan terorisme bisa masuk melalui berbagai pintu.
Dilancir dari detik.com, lewat pesan singkat Rabu (31/3/2021) Syafiq Mughni berkata, “Salafi itu bukan mazhab yang monolitik. Ada banyak varian di dalamnya. Kalau ada teroris yang berpaham Salafi, tidak berati salafiyah identik dengan terorisme. Jika ada teroris yang beragama Islam, tidak berarti Islam mendorong terorisme. Jika ada teroris berbangsa Indonesia, tidak berarti bangsa Indonesia itu teroris. Terorisme bisa masuk melalui pintu agama, ideologi, politik, etnisitas, ekonomi, dan lain-lain. Berwacana memerlukan logika, tidak sekedar retorika,”.
Sebelumnya, Said Aqil berbicara mengenai strategi untuk menghabisi jaringan terorisme. Said Aqil menyebut pemberantasan jaringan terorisme dilakukan harus dari benihnya atau pintu masuknya ajaran ekstremisme, yaitu ajaran Wahabi.
“Ini artinya, kalau kita benar-benar sepakat, benar-benar kita satu barisan ingin menghabisi jaringan terorisme, benihnya dong yang harus dihadapi. Benihnya, pintu masuknya yang harus kita habisi. Apa? Wahabi, ajaran Wahabi itu adalah pintu masuk terorisme,” kata Said Aqil dalam webinar ‘Mencegah Radikalisme dan Terorisme untuk Melahirkan Keharmonisan Sosial’ yang disiarkan di YouTube TVNU Televisi Nahdlatul Ulama, Selasa (30/3).
Salafi Wahabi, Pintu Masuk Terorisme?
Said Aqil menegaskan ajaran Wahabi bukan terorisme, tetapi pintu masuk terorisme. Sebab, ajarannya dianggap ajaran ekstremisme.
“Ajaran Wahabi bukan terorisme, bukan, Wahabi bukan terorisme, tapi pintu masuk. Kalau udah Wahabi ‘ini musyrik, ini bid’ah, ini sesat, ini nggak boleh, ini kafir, itu langsung satu langkah lagi, satu step lagi sudah halal darahnya boleh dibunuh’. Jadi benih pintu masuk terorisme adalah Wahabi dan Salafi. Wahabi dan Salafi adalah ajaran ekstrem,” ujarnya.
Kemudian Said Aqil juga meminta agar ajaran agama di perguruan tinggi bagi jurusan selain agama Islam mengutamakan pembahasan terkait akidah, syariat, dan akhlak. Serta diperbanyak penjelasan terkait akhlakul karimah, misalnya menolong sesama, menghormati orang tua, membantu orang lagi susah, silaturahmi, menghormati tamu dan tetangga, menengok orang sakit, menengok orang sedang berduka karena kematian, tidak boleh dengki, tak boleh hasut, tidak boleh adu domba, hoax.
“Jadi, kalau pelajaran agama disampaikan di fakultas yang bukan (jurusan) agama kemudian terulang-ulang ‘neraka, surga, kafir, sesat, musyrik, bid’ah, neraka surga’. Wah, radikal semua itu, itu bagian fakultas yang memperdalam akidah, yang memperdalam syariah,” ujarnya.
“Kalau di fakultas umum cukup hanya mengenal hanya mengajak meyakini itu yang ditekankan adalah akhlakul karimah, menghindari radikalisme yang tumbuh di perguruan tinggi jurusan teknik atau yang bukan jurusan agama. Ini yang saya lihat kurikulum yang harus dijalankan di perkuliahan mata kuliah agama di perguruan tinggi yang bukan jurusan agama Islam,” imbuhnya.