Oleh: Ali Muhtarom*
Diskursus mengenai gerakan Salafisme sebagai sebuah terminologi yang pada saat ini dikaji oleh para sarjana, baik yang berasal dari non-Muslim atau Barat maupun dari kelompok sarjana Muslim memiliki hubungan yang erat dengan Wahhabisme. Kemunculan Salafisme pada era kontemporer saat ini tidak bisa dipisahkan dari persentuhan antara ideologi Islam politik, terutama Ikhwanul Muslimin dengan ideologi Wahhabi.
Persentuhan antara ideologi Ikhwanul Muslimin dengan Wahhabisme mengalami puncak keharmonisan sejak era Raja Faisal memimpin kerajaan Arab Saudi. Raja Faisal pada saat itu sangat berjasa bagi kelompok Ikhwanul Muslimin karena telah memberikan tempat bagi mereka ketika dikejar oleh rezim Gamal Abdul Nasser di Mesir. Tidak hanya dimusuhi rezim Nasser, beberapa anggota Ikhwanul Muslimim juga dimusuhi oleh partai Ba’ats di wilayah lain.
Dari kebaikan hati Raja Faisal inilah terjadi persemaian antara ideologi Salafi dengan Ikhwanul Muslimin yang, di samping puritan, juga mengambil bentuk gerakan Islam politik yang sedikit banyak tidak bisa dipisahkan dari peran Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rashid Ridha, dan kemudian dilanjutkan oleh generasi seetelahnya, yaitu Hasan Al-Banna, yang semuanya bisa dikatakan memiliki semangat pembaharuan dan kebangkitan Islam (Pan-Islamisme).
Pada sisi lain, Salafisme juga bukan pemahaman keislaman yang identik dengan bentuk keislaman kultural Indonesia, sebagaimana kata tersebut sering digunakan untuk menyebut institusi pesantren dengan istilah Salafiyyah yang diidentikan dengan berbagai pesantren yang berafiliasi pada NU di Indonesia (pondok pesantren salafiyah).
Salafisme di sini adalah bentuk keagamaan yang memiliki karakteristik tersendiri, yaitu pemahan keislaman yang sangat ketat di dalam mencontoh praktik puritanisme dengan menyandarkan seluruh praktik ibadah pada dalil Alquran dan Hadis, menolak bid’ah, dan mengikuti al-Salafus al-Salih.
Kecondongan untuk mengembalikan segala bentuk praktik ibadah pada generasi awal Islam, masa Nabi, Sahabat (al-Khulafa’ al-Rasyidun), dan Tabi’in inilah yang mengakibatkan karakterisrik Salafisme memiliki persamaan dengan Wahhabisme, di mana secara umum Salafisme kemudian dipahami dalam diskursus kajian-kajian keislaman sebagai bagian dari gerakan fundamentalisme Islam.
Akan tetapi, apakah kemudian Salafisme sama dengan Wahhabisme? Terhadap pertanyaan ini, kamudian muncul ketumpang tindihan jawaban dari berbagai sarjana keislaman, baik yang berasal dari Barat, maupun dari Indonesia. Para sarjana tersebut, seperti Thomas Heghammer dan Stephane Lacroix yang mengklasifikasikan Salafisme kepada Salafi reformis, rejeksionis, dan Jihadis. Quintan Wiktorowicz membaginya sebagai Salafi Puritan, politik, dan Jihadis. Dan Din Wahid juga mengklasifikasikannya pada Salafi Puritanis, Harakis, dan Jihadis.
Pengklasifikasian atau pengkategorisasian terhadap Salafi tersebut, jika pertanyaan yang muncul adalah mengenai perbedaan Salafisme dan Wahhabisme belum bisa tuntas untuk dipahami karena mengandung bias pemaknaan. Hal ini karena adanya kesamaan bentuk ideologi antara Salafi dan Wahhabi.
Selain Salafi dan Wahhabi merupakan bentuk ideologi yang semula menjadi identitas dari Arab Saudi, baik Salafisme maupun Wahhabisme juga sama dalam upaya untuk mengembalikan seluruh urusan keagamaan ke era zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in, menolak penafsiran terhadap dalil agama, dan menolak keras praktik keagamaan yang dianggap menyimpang dengan tuduhan bid’ah kepada kelompok yang dianggap berbeda. Dari sini tidak ada peebedaan antara Salafi dan Wahhabi.
Dengan melihat kategorisasi yang dilakukan oleh beberapa Sarjana di atas, saya memiliki pandangan lain bahwa antara Salafi dengan Wahhabi secara doktrin keagamaannya memang memiliki kesamaan, yaitu keduanya memiliki doktrin puritanisme dan ingin mengembalikan segala bentuk urusan keagamaan pada al-Salaf al-Salih. Namun, diantara Salafisme dan Wahhabisme memiliki perbedaan. Wahhabisme lebih terlihat sebagai bentuk doktrin pemurnian ajaran Islam sebagaimana telah dijelaskan. Sedangkan Salafisme merupakan bentuk dari gerakan penyebaran ideologi Wahhabi itu sendiri yang pada saat ini berhasil melintasi berbagai wilayah negara di dunia.
Hal inilah yang oleh Roel Meijer dikatakan sebagai Salafisme Global (Global Salafisme), di mana Salafisme dianggap sebagai fenomena ideologi keagamaan Islam yang berkembang dengan cepat melintas batas ke seluruh belahan dunia. Dengan demikian Salafisme, dalam tulisan ini lebih terlihat sebagai gerakan yang melibatkan banyak aspek di dalamnya, baik aspek persentuhannya dengan semangat kebangkitan Islam dari pemikiran Afghani, Abduh dan Rashid Ridha yang diteruskan oleh Hasan Al-Banna dengan format gerakan Ikhwanul Muslimin, sebagaimana telah disinggung di atas.
Pada sisi lain, Salafisme juga mengalami persentuhannya dengan Nashiruddin Al Albani. Bentuk Salafisme yang semula berasal dari pinggiran Arab Saudi ini kemudian mampu merebut otoritas Salafisme dengan mendirikan gerakan al-Jama’ah al-Islamiyah al-salafiyah. Karakteristik Salafisme ini lebih condong pada upaya untuk mendasarkan segala bentuk urusan keagamaan dan sosial yang dihadapi masyarakat kepada Hadis Nabi, bahkan gerakan Salafisme Al-Albani ini, meskipun pada akhirnya menyatu-padu dengan gerakan Wahhabisme, kelompok al-Jama’ah al-Islamiyah al-salafiyah sempat membuat heboh kalangan Wahhabisme karena keberanian AlBani mengkritik kelompok Wahhabisme yang terlalu bertaklid kepada mazhab Hambali, terutama perbedaan pandangan Albani setelah ia menerbitkan buku yang berjudul jilbab mar’ah muslimah.
Di dalam buku tersebut Albani mengemukakan pendapatnya secara tegas bahwa wanita muslimah tidak dituntut untuk menutup wajahnya dengan cadar. Sepontanitas pendapat Albani tersebut mendapat reaksi keras dari otoritas mazhab keagamaan Arab Saudi yang mewajibkan wanita memakai cadar.
Pada saat yang lain juga, Salafisme mengalami persentuhannya dengan doktrin Wahhabi itu sendiri yang sangat puritanis. Berbagai persentuhan tersebut pada dasarnya mengarah pada bentuk ideologi yang sama. Dan pada saat ini gerakan penyebarannya dilakukan dengan mengambil bentuk dakwah politik daripada dakwah a-politik. Gerakan Salafisme dengan demikian bisa dipahami di sini sebagai ideologi gerakan penyebaran doktrin Wahhabi atau dakwah Wahhabi yang mengambil bentuk aktivitas gerakannya melalui gerakan dakwah politik, baik gerakan tersebut terkait langsung dengan politik identitas dengan mendompleng pada partai tertentu, maupun tidak terkait langsung dengan politik identitas seperti bentuk konfrontasinya yang berlebihan dengan bentuk keislaman yang dianggap berbeda, seperti bentuk tuduhan bid’ah dan tuduhan kesesatan lain seperti tasyrik, takfir, atau tardid di ranah publik yang dilakukan oleh sebagian dari para pendakwahnya.
Dikatakan di sini sebagai dakwah politik, walaupun juga tidak masuk pada politik praktis, karena terjadi kontestasi untuk mendapatkan pengakuan dengan memberikan stigma buruk pada kelompok lain yang berbeda. Dan tidak menutup kemungkinan juga hal tersebut akan menimbulkan respon negatif dari kelompok lain yang merasa dirugikan.
Perlu menjadi catatan di sini, bahwa gerakan dakwah Salafisme, terutama di Indonesia saat ini mengalami bentuk baru, di mana orientasi gerakan dakwahnya lebih mengarah pada penguatan identitas perjuangan Islam politik. Apabila dalam sejarah gerakan keislaman di Timur Tengah diantara berbagai gerakan keislaman mengalami fragmentasi yang disebabkan oleh perbedaan doktrin dan strategi gerakan masing-masing kelompok, di Indonesia berbagai gerakan tersebut terlihat bersatu padu dalam misi pembaharuan dan kebangkitan Islam.
Dalam sejarah gerakan keislaman Timur Tengah, antara Hizbut Tahrir dengan Ikhwanul Muslimin tidak ketemu karena perbedaan manhjaj berpikir. Gerakan Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir sebenarnya berasal dari sumber doktrin yang sama, yaitu ingin mendirikan sebuah pemerintahan Islam. Kedua gerakan tersebut juga memiliki jalur atau Sanad dari ideolog yang sama, kedua ideologi tersebut dikonsep dari serangkaian diskusi antara Hasan Al-Banna dengan Taqiyuddin An-Nabhani, di mana keduanya merupakan teman dekat, ketika Hasan Al-Banna dan An-Nabhani, keduanya sama-sama mendirikan Ikhwanul Muslimin. Perbedaan antara Ikhwanul Muslimin dengan Hizbut Tahrir terletak pada prinsip respon penerimaannya terhadap demokrasi.
Bagi Hizbut Tahrir, menerima demokrasi tidak dibenarkan karena dianggap mengakui konsep ideologi Barat yang dianggap keluar dari ajaran Islam. Sedangkan Ikhwanul Muslimin, walaupun oleh sebagian kelompok sarjana dianggap kosong dari ruh demokrasi yang sebenarnya, namun, Ikhwanul Muslimin berusaha untuk beradaptasi dengan demokrasi.
Kemudian gerakan Salafi yang di dalamnya juga terpecah kepada puritanisme, haraki, dan jihadis, juga tidak ketemu dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Jamaah Tabligh. Akan tetapi, di Indonesia seluruh gerakan keislaman tersebut dapat ketemu dan membentuk gerakan bersama dalam misi kebangkitan Islam, yang mana kebersamaan tersebut bisa mengarah pada munculnya bentuk baru gerakan Salafisme Indonesia. (Akh).